webnovel

Jangan Setengah-Setengah

"Tante!"

Niat Tarana untuk pergi lagi dari rumah ini terhalang karena panggilan nyaring dari ruang tamu itu. Tarana juga bukan orang yang bisa semudah itu mengabaikan anak kecil.

Walaupun dalam hati Tarana terbakar, ia sama sekali tidak bisa melampiaskannya pada Nataya. Sama sekali, tidak bisa.

Biar saja. Akan ia lampiaskan pada Bian nantinya. Biar saja pria itu yang menanggungnya. Persetan. Tarana tidak mau lagi mempercayai ucapan Bian.

Bruk!

Kaki Tarana dipeluk Nataya erat. Wajahnya memelas pada Tarana yang mau tak mau menunduk. Serasa ingin menangis. "Tante mau pergi lagi?"

Di belakang Nataya, Bian mengekori tegap. Anehnya, tidak ada kilatan merasa bersalah di sana.

Oh, Tarana mengerti. Ia yang salah karena sudah berharap. Begitu, bukan? "Nataya main sama Papa dulu, ya. Tante lagi ada kerjaan di luar."

"Tar."

Kedua tangan Tarana ditempatkan di ketiak Nataya guna mengangkatnya mudah untuk dipeluknya. "Nanti malam Tante temenin Ataya. Tapi Ataya harus nurut dulu sama Papa, oke?"

"Tarana," panggil Bian lebih jelas lagi. "Maksud kamu apa?"

"Saya ada kerjaan, Bian," ujar Tarana lantang. Namun, kedua manik cerahnya hanya tertuju seorang pada Nataya. Anak gemas yang pipinya disentuh lucu oleh Tarana. Tak pernah tahan untuk tidak menyentuh gumpalan lunak itu. "Nataya sama Papa dulu mau?"

"Mau!"

"Denger, 'kan?" tanya Tarana terarah kini pada Bian. "Ya udah. Nataya baik-baik sama Papa, ya. Tante pergi duluan."

"Tar." Bian menggelapkan suasana ceria tadi.

Sementara, Tarana berlagak semua hal baik-baik saja. Menoleh dengan pengangkatan alis kirinya santai nan ringan. Terkesan tak peduli dan tak acuh.

Karena ia memang sudah menguatkan tekadnya demikian. Persetan dengan yang lainnya. Tarana hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Sudah muak acuh dengan semua hal yang mengganjal di hatinya.

Benar-benar muak. "Apa?"

"Jangan begini, ya," ucap Bian menekankan satu per satu katanya. "Untuk apa saya suruh kamu pulang kalau akhirnya kamu pergi lagi?"

"Ya, untuk apa?" ulang Tarana menantang. "Nataya aja gak masalah kok. Malah kamu yang sewot, sih, Bian?"

"Saya jarang ada waktu buat ngumpul begini, Tar. Jadi sekalinya saya ada waktu, tolong jangan menyia-nyiakannya, Tar."

Apa pentingnya untuk Tarana? Bukan ia yang kesulitan mencari waktu, tapi Bian yang terlalu sibuk.

Salahnya di siapa? Kalimat berjuta makna itu sangat ingin dikeluarkan Tarana. Namun, mengingat adanya Nataya di sini, terpaksa kata-kata itu ditelan Tarana bertindak tak mendengar apa pun dari Bian. "Cium Tante dulu donk, Sayang."

"Tante gak mau ikut Nataya sama Papa?"

Tarana tersenyum kecil. Rupanya, ia menyampaikan pengharapan dari Bian. "Cium dulu."

Kerucut kecil di bibir Nataya menempel di pipi Tarana. "Udah, Tante."

"Hm, pinter Nataya." Tarana menoel hidung mancung Nataya. "Kapan-kapan ya, Sayang. Tante lagi ada urusan belakangan."

"Tar." Kesekian kalinya pengulangan nama Tarana tercetus dari mulutnya. Sayangnya, satu pun tidak ada yang bisa menggerakkan hati batu Tarana. "Tarana! Hey!"

"Saya sekarang boleh pergi, 'kan?" Tarana mengacuhkan kemurkaan dalam sorot mata tajam Bian. "Sepertinya kamu juga punya acara sendiri, Bian."

"Kesepakatan kita bukan seperti ini," bisik Bian mendekati Tarana. Sejujurnya, memukul Tarana mundur. Tapi, wanita itu malah sengaja mendongakkan wajahnya tak peduli. "Sekarang kamu tidak peduli saya akan melakukan apa?"

Lagipula Bian tidak akan melakukan hal yang macam-macam di depan Nataya. Jadi untuk apa Tarana perlu takut? "Tidak."

"Tar!"

"Jangan berteriak kalau itu tidak baik untuk Nataya!" balas Tarana sedikit mendesis di ujungnya. "Saya pamit."

"Saya tidak memberi izin!"

"Atau perlu saya perjelas bahwa saya tidak membutuhkan izin?"

Tak lagi merasa ada jawaban yang perlu ditanggapi oleh Tarana, wanita itu berlalu seringan kapas untuk mengawang ke pintu utama rumah ini.

"Papa?" tanya Nataya mendongak naik. Mencengkram celana pendek Bian untuk menarik-narik demi mendapat perhatian Bian. "Papa berantem?"

"Enggak, Sayang." Bian segera mengangkat Nataya untuk duduk lagi di ruang tengah.

Tidak ada gunanya mencemaskan Tarana kalau yang ia dilakukannya tidak pernah berkomunikasi. Komunikasi yang selalu ada hanyalah Bian yang mengalah, lalu Tarana yang suka mengajak ribut. "Tangannya mana?"

Kulit halus Nataya diusap Bian searah lagi. "Sakit, Sayang?"

Nataya menggeleng pelan. "Papa yang sakit."

"Sakit apa?" tanya Bian kebingungan.

Telunjuk Nataya menusuk pipi Bian yang tak lagi memamerkan senyumannya. "Papa gak senyum lagi."

***

"Lah? Balik lagi ke sini?" Claire masih menyeruput green tea latte-nya dengan kerutan yang jelas di kening. "Katanya disuruh balik sama nyokap? Emang bokap lo gak ngamuk kalau lo kabur begini lagi?"

Kabur? Entahlah apa kata itu bisa ditempatkan di situasinya kini. Kurang jelas. "Gak tahu, deh. Males banget mikirinnya."

"Males-males mereka juga orang tua lo, Tar," peringat Rallan agar Tarana tak perlu terlalu berlebihan. "Udah lo kabarin kalau lo keluar lagi? Nanti mereka nyariin lo."

"Kenapa jadi kalian berdua ngurusin orang tua gue, sih?" Tarana mulai menukikkan alisnya sebal. Tidakkah mereka bisa membaca kalau Tarana hanya menggunakan alasan kedua orang tuanya saja, padahal ia kabur dari suaminya sendiri?! "Males, ah."

Claire dan Rallan sama-sama terkekeh melihat wajah masam tak asing dari wajah Tarana. Keluar lagi setelah dua hari kemarin tak kelihatan. Tarana jauh lebih tenang dari yang pertama dikenal oleh mereka berdua.

Lumayan, lah. "Lo cuti ngapain aja, Tar?"

Nikah! "Urusin kafe ini. Menurut lo apalagi?"

"Yakin lo?" tanya Claire menilik cepat ke gerak-gerik sibuk Tarana di belakang konter.

Enggak! Tarana berbohong!

Mustahil bukan Tarana berbicara demikian? Untuk apa berbohong kalau untuk mengakui dengan sendirinya fakta akan kebohongan itu? "Bawel."

Pergerakan kilat Tarana tertangkap cepat di mata Rallan yang berkeliaran di kisarannya. Sibuk mengurus sana-sini, sibuk menerima buku tebal mingguan untuk dibawanya ke meja bar yang sebaris dengan teman-temannya yang lain.

Dan itu semua, selalu mengagumkan di matanya. Jujur saja.

Itulah yang membuat Rallan menyukai Tarana. Tabiatnya yang selalu mengeluh tapi semua pekerjaan selesai tepat waktu.

Bahkan, bagi Tarana yang sesibuk itu, masih ada waktu untuknya bersantai.

Sebelah alis Claire terangkat mendapati Rallan yang terbengong. Tak butuh waktu lama, siku Claire menyikut Rallan untuk mengedip. "Bengong mulu lo."

Rallan menarik sunggingannya sinis. "Capek banget jadi temen."

"Maunya lebih?" tanya Claire menunggui pendapat. "Sekalian aja lo tembak temen lo itu. Siapa tahu ngejauh."

"Sialan lo," umpat Rallan mencebik gemas. Menenggak cairan kafein mengaliri tenggorokannya, lantas, menaikkan gelasnya meneliti kopi yang tengah dibuat Tarana. "Gak bisa minum kopi tapi malah buat kopi."

"Ya setidaknya dia berusaha. Lo mana ada usaha."

"Gue usaha, cuman gak ditanggep aja," sahut Rallan santai.

"Beda topik." Tahu-tahu Tarana mencibir dari kursi kanan. "Ngode jangan setengah-setengah, Lan. Cupu."