webnovel

Terlihat Berbeda

"Akan lebih baik bagi Nataya dan bagi kita berdua kalau untuk sementara waktu Nataya tinggal bersama kakek neneknya, Tarana." Bian menyisir tepian wajah Nataya begitu lembut. Memandangi wajah bulat nan putih Nataya yang membuat hati siapa pun tergerak.

Begitu juga Bian yang teramat menyayangi Nataya. Ia rindu, ingin tinggal bersama dan mengurus Nataya seorang diri, tapi tidak akan mungkin untuk pria karir sepertinya. Nataya harus ia nafkahi. "Kita berdua baru menikah, Tarana."

"Sstt, sssttt! Stop." Tarana mengembus pelan. Mengabaikan emosi yang tak puas ia keluarkan karena keberadaan personil baru di antara mereka. "Jangan bilang bahwa membawa Nataya adalah sebuah kesalahan, Bian."

Cengkramannya pada roda mobil itu menguat. Buku-buku jarinya memutih padat. "Jadilah ayah yang baik untuknya, Bian. Kalaupun kamu menjadi seorang lelaki yang buruk, jangan pernah jadi ayah yang gagal."

"Nataya butuh kamu," lanjut Tarana menengadahkan kepalanya. Kaca dasbor mobil juga dipalingkannya agar tak bersisian pandang lagi. "Kamu gagal menjadi ayah sekali. Tebus kesalahan kamu dengan menjadi ayah yang baik untuk Nataya."

"Tar. Saya masih kesal sama kamu, loh."

"Saya benci sama kamu, Bian. Tapi saya tidak membenci anak yang tidak bersalah," kata Tarana melajukan lagi perjalanan yang terjeda. "Lalu, jangan bicara bahwa kamu kecewa pada saya. Saya lebih kecewa sama kamu. Jangan mengira empat tahun adalah waktu yang singkat, Bian."

"Saya tidak berbicara demikian," tutur Bian membalas. "Yang saya katakan kecewa adalah kamu yang membawa nama Nataya. Kalau kamu bilang bahwa kamu yang ingin kesetiaan saya, saya lebih menghargai itu."

"Ya, saya juga ingin. Tapi saya bisa bicara apa kepada orang yang menjadikan saya selingkuhannya dulu, Bian?" sindir Tarana tanpa filter. "Ya, oke. Saya tidak menoleransi hubungan lain selain ini, Bian. Kalau dulu kesetiaan kamu masih diobral, sekarang saya membelinya."

"Itu bukan perumpamaan yang pantas, tapi terserahlah," dengus Bian malas. Menyandarkan lagi kepala Nataya ke bahunya usai melepas peredam suara Nataya. "Bagaimana kamu bisa akrab dengan Nataya?"

Tarana mengembalikan kaca dasbor pada mode normalnya. "Saya pernah bekerja paruh waktu sebagai baby sitter."

"Kekurangan uang?" tebak Bian tanpa ekspresi memadai. "Tapi dari dulu keluarga kamu lumayan, Tar."

"Mengisi kebosanan," jawab Tarana ringkas. "Kakak saya selalu suka anak-anak, Bian. Saya sengaja bekerja untuk mendapatkan topik pembicaraan yang baik dengan kakak saya."

"Kakak kamu yang di luar negeri itu?"

Tarana mengangguk tanpa bersuara. Mengenang memori indahnya bervideo call, atau terkadang saling mengirim pesan, itu indah. "Sayang dia tidak bisa datang di pernikahan saya, Bian. Kalau ada, mungkin kamu tidak akan jadi menikah dengan saya."

"Jangan bercanda, Tarana," balas Bian cukup ketus. "Kamu yang dijodohkan untuk saya. Untuk apa saya menerima wanita lain?"

Buktinya, sekarang keduanya bersanding sama rata sebagai suami istri karena tak ingin kakaknya hanya menjadi memori yang kabur. Ia ingin Diana menjadi memori yang hidup, bahwa ia pernah menjejak, dan pernah tinggal di dunia ini sebelum kelelahan. "Kamu tidak akan bicara begitu kalau kamu bertemu kakak saya, Bian."

Sampai Bian saja yang ia lihat sebagai pria sejati saja, dapat tergoda oleh Diana Manuella. Wanita yang menuruni sifat mamanya, seratus persen. Sementara ia yang menuruni sifat papanya yang keras. "Empat tahun yang lalu, Bian. Apa yang menarik dari saya?"

"Saya saat itu hanya melihat wanita yang sedang menangis, Tarana." Sebenarnya, diajak berbicara ke masa lalu tak pernah menjadi hal yang baik untuk Bian.

Tapi apa daya? Mereka berdua dipertemukan empat tahun yang lalu. Empat tahun yang lalu jugalah yang memisahkan keduanya hingga bertemu sekarang. Apalagi, ia mengambil andil yang cukup besar dulu. "Saya mabuk, saya mendatanginya. Dia itu kamu, Tarana."

Bukan. Sama sekali bukan. Seberapa beratnya masalah Tarana, tak pernah Tarana menitikkan air matanya. Bisa terhitung jari betapa bajanya hatinya ini.

"Mengenai percakapan itu, saya tidak ingat karena mabuk-"

"Oh, saya rasa kamu harus ingat-ingat mengenai itu mulai sekarang, Bian," potong Tarana mengendalikan mobilnya ke halaman rumah lebar itu. "Segala hal tentang empat tahun itu tidak boleh kamu lupakan, Bian. Sama sekali tidak boleh."

***

"Tar, saya sudah merangkum jadwal saya dan Nataya nantinya. Jam delapan Nataya masuk sekolah, dia harus bangun jam tujuh untuk bersiap dan sarapan. Saya juga masuk jam delapan pagi ... Tar? Dengar saya enggak?"

"Hm?" Tarana baru menoleh tanpa merasa bersalah. "Oh, sorry. Saya baru selesai ngelap bingkai-bingkai ini. Saya pajang di ruang tamu gak bermasalah?"

Mau tak mau, kertas berisi salinan jadwal Bian ditepikan dulu sementara waktu. Tarana memang orang yang paling ahli menghancurkan usahanya dan mengalihkannya pada hal yang tidak berguna.

Contohnya, bingkai berisikan foto Tarana saja. Hanya Tarana, tanpa orang lain di sampingnya.

Sungguh? Kenapa tidak memasang foto pernikahan mereka saja, misalnya? Akan ada lebih banyak memori untuk dikenang ketimbang ini, 'kan?

Meski begitu, Bian sudah terlalu malas beradu mulut lagi. Memilih untuk mengangguk tanpa bersuara, kemudian menyodorkan rentetan yang sudah ditulisnya susah payah. "Ini, Tar. Kalau saya telat bangun, bangunkan saya. Saya berharap kamu mau bekerja sama dalam mengasuh Nataya, Tar."

"Hm," gumam Tarana tanpa suara. Menilik segala detail dalam bingkai kedua yang dibawanya spesial kemari. "Saya gak melihat ada bingkai foto di rumah kamu, Bian."

"Rumah saya mulai sekarang jadi rumah kita, Tar. Saya bertanggung jawab akan kamu."

"Tapi itu gak menjawab pertanyaan saya, 'kan?" Kertas putih bebercak tinta hitam pada bagian tengahnya diterima Tarana. Semua yang dikatakan Bian sudah mencakup isi kertas ini. Dilipatnya rapi, dimasukkan ke dalam kantungnya.

"Saya hanya tidak suka foto saja," jawab Bian singkat. Menunjuk bingkai kedua yang menarik perhatiannya. "Itu foto keluarga kamu, Tar? Cuman tiga orang?"

"Kakak saya jarang pulang. Waktu kelulusan juga, dia gak pulang." Kemudian, jari Tarana terpancing untuk menunjuk foto kedua orang tuanya yang tengah berbahagia penuh raut bangga itu. Cumlaude, lulusan universitas ternama. "Orang tua saya bahagia, 'kan?"

"Hm, bahagia." Namun, kata-kata itu ditujukan sembari menoleh serius pada Tarana. "Tapi tampaknya kamu tidak, Tar?"

"Eh?"

"Saya rasa kamu paham maksud saya, Tar." Kedua tangan Bian dimasukkan ke dalam saku. Sangat berbeda dengan empat tahun silam, ada magnet yang menahan Bian setiap ingin menyentuh Tarana.

Terasa tak tergapai, terasa begitu dingin. Entah itu hanya perasaannya saja, atau memang Tarana sekarang begini. "Omong-omong, kamu cantik saat di sana, Tar. Lebih cantik dibandingkan waktu kamu menangis di bar dulu."

"Memang seharusnya begitu-"

"Tapi kamu terlihat berbeda sekarang." Bian berlalu setelah membuat darah Tarana dipompa kencang.