"Nah, Bian." Kunci mobil terampas mudah dari tangan tak bertenaga Bian. Tampaknya, pria itu cukup terkejut akan pergerakkan kilat Tarana. Tak menyangka bahwa Tarana bisa menyambar apa pun selagi menggendong Nataya. "Saya yang mengemudi."
"Saya tidak bisa mempercayakan mobil saya pada kamu, tahu?" Bian pun gesit hendak merampasnya kembali, tapi kala disembunyikan di belakang Tarana, Bian mengurungkan niatnya dengan kepalan geramnya. "Tidak, Tarana. Kembalikan."
"Saya punya SIM. Perlu saya tunjukkan?" tanya Tarana meledek. "Sejauh mana kepercayaan kamu pada istri sendiri?"
"Saya mempercayai kamu untuk hal lain, bukan mengemudi, Tarana."
"Nataya," panggil Tarana. Fokusnya tiba-tiba teralih pada anak pendiam yang sudah lancar berbicara itu. Mengusap pipi gempalnya, lantas bertanya, "Mau sama Papa enggak, Nataya?"
"Mau." Nataya mengintip malu-malu dari pelukan eratnya di leher Tarana. "Tapi takut ganggu Papa."
"Liat?" Sudut bibir berisikan kemenangan itu dipamerkan sempurna. "Kalau Papa Nataya udah libur begini masih sibuk juga, ya udah deh Nataya sama Tante dulu. Beneran, nih, Bian?"
Kenapa Tarana harus selalu membuat posisi dan pilihannya terpojokkan. Tarana memang pintar mencari celah. Itu sudah pasti.
Tak punya pilihan lain selain menurut, lengan Bian merentang malu-malu. Persis seperti kelakuan anaknya. Benar-benar seperti dibelah dua. "Nataya, sini ke Papa dulu. Biar Papa yang temenin kamu duduk di belakang."
"Hehe." Gigi-gigi mungil itu sukses terpancar menggemaskan. Tak seperti di Tarana tadi, bertengger nyaman di leher raksasa Bian. Cengar-cengir imut di ceruk leher Bian. "Papa."
Kebahagiaan itu turut juga terbagi pada orang yang tak bisa membiasakan diri akan kegemasan dan tingkah manja Nataya. Menyisir rambut-rambut yang tergerai halus itu ke belakang. "Dia suka bareng sama kamu, Bian."
Bian mengangguk tanpa membalas. Mengayunkan Nataya ke kanan dan ke kiri menikmati bau bayi yang menguar dari Nataya. "Nataya sama Tante baik-baik aja, 'kan? Tante jahilin kamu?"
"Tante baik," jawab Nataya cepat. "Tapi lebih sayang sama Papa."
Ketiganya sudah tampak seperti keluarga sempurna dari luar. Anak yang manja, ayah yang penyayang, juga ibu yang perhatian.
Tapi semua itu tidak langsung dipercayai oleh penglihatan dua orang yang mengkuliti habis luar dalam atas kemesraan itu. Apalagi Tarana dan Bian lebih terlihat seperti hubungan love-hate. Dengan kata lain, belum sungguhan.
"Bian? Bisa ke sini sebentar? Mama sama Papa belum pamitan sama Nataya."
Baik Tarana ataupun Bian serempak menengok ke halaman depan. Si pemanggil itu bersama orang lain di belakangnya. Liel yang berteman dengan ketegasan dan kedatarannya.
Cepat membaca situasi, alarm mobil sudah dibunyikan terdahulu oleh Tarana. Bergerak ke sisi kanannya cepat, mengatakan hal yang di luar dugaan Bian. "Saya masuk dulu. Kalau sudah, nanti menyusul saja."
***
"Bian."
"Hm?" Kepala yang nyaris berbentur dengan kaca mobil berhasil ditegapkannya lagi. Membetulkan posisi Nataya, sementara dirinya juga ikut merenggangkan tubuh. "Kenapa?"
"Nataya ... udah tidur? Saya gak keliatan dari kaca dasbor." Yang dipantulkan oleh kaca dasbor hanyalah pria yang memeluk putrinya saja. Nataya yang pemalu pun urung mengenyampingkan wajahnya.
"Hm, udah," jawab Bian serak. Membebaskan mulutnya menguap selebar mungkin. Mengantuk karena tidurnya tak lelap semalam. "Apa?"
"Orang tua kamu gak suka sama saya, tapi kenapa mereka setuju buat jodohin kamu sama saya?" Pertanyaan yang terganjal dalam hatinya akhirnya lepas juga. "Saya tidak bisa menahan diri untuk pura-pura tidak tahu. Saya sakit hati, kalau mau diceritakan."
Mata sayu itu berubah jadi runcing sekali kedip. Membelek keingintahuan Tarana tanpa suara. "... sejauh apa kamu dengernya, Tarana?"
"Kalian bicara cukup kenceng, sih." Tengkuk belakang diusapnya kala tusukan maut Bian sampai menancap di punggungnya. Ngeri. "Y-ya ... bukan salah saya, donk, ya? Saya, kan, bukan sengaja mau dengerin. Terus juga saya bukannya minta buat disukain juga, tapi-"
"Bicara yang jelas, Tar."
Oh, sial. Di saat mematikan begini Tarana malah ingin membangunkan Nataya supaya dirinya terbebas dari cengkraman kejam Bian.
Kenapa dia begitu ahli mengekspresikan kekejaman itu dari matanya, sih? Tarana jadi tidak fokus mau mengendarai mobil. "Saya jangan disalahkan."
Menarik napasnya naik, juga menekan pedal gas mobil. Laju konstan benda beroda empat ini kian dipercepatnya. "Saya tidak suka orang yang munafik, Bian. Kalau tidak suka pada saya, bicara yang jelas. Di depan wajah saya juga boleh, walaupun saya tidak bisa menjamin saya tidak tersulut."
"Saya juga bukan orang 'gila' yang mau mencelakai Nataya, Bian. Saya waras, dan saya suka anak-anak. Saya mungkin bukan orang yang paling baik, tapi saya akan memberikan yang terbaik untuk Nataya, Bian. Kamu paham maksud saya-"
"Kalau untuk saya, Tar?" tanya Bian memotong. Tadinya ia memperhatikan jeli dan betul-betul. Tapi lagi, selalu ada hal lain yang mengusiknya. "Kenapa saya merasa kalau kamu yang tidak menginginkan pernikahan ini, Tar? Apa saya salah?"
"Saya yang mendesak kamu, mana mungkin saya tidak mau pernikahan ini." Fokusnya tetap sama. Pada jalan raya lenggang, namun telinga dan mulutnya berkompromi lebih baik lagi. "Saya tidak mau banyak berdebat di depan Nataya. Kasihan dia dengar dan nyimpen ini semua."
"Yang selalu saya tekankan pada Nataya itu, berdebat adalah boleh, Tarana," cetus Bian bijak. "Berbeda pendapat boleh, tapi dalam penyampaian yang baik. Selama kamu dan saya tidak berteriak, tidak saling memaki, saya tidak mempermasalahkan hal itu."
Ah, terserahlah. Bapak tua itu sudah empat-hampir lima tahun menjadi seorang ayah. Kalau dirinya? Heh ... jangan ditanya lagi. Mengurus diri sendiri saja sulit, apalagi mau mengurus anak-anak? "Ya sudah. Terserah kamu."
"Pertanyaan saya masih sama ke kamu, Tarana." Hati Bian belum tenang kalau belum ada jawaban sesuai keinginannya. "Kamu memberikan yang terbaik untuk Nataya, saya pegang kalimat itu. Kalau untuk saya?"
"Kamu memangnya mau memberikan yang terbaik untuk saya, Bian?" Menjawabnya kembali dengan pertanyaan lanjutan tampaknya adalah hal terbaik. "Saya ingin mengatakan ini saat tidak ada Nataya, tapi saya gemas."
"Apa memangnya?" tagih Bian ikut tak sabar.
"Your Loyalty, Bian." Loyalty. Artinya adalah kesetiaan. Sengaja menggunakan kata-kata asing, yang pastinya mampu dipahami oleh pria separuh barat separuh asia itu. "Masa lalu adalah masa lalu. Tapi bila masa lalu itu terulang kedepannya, akan menjadi sebuah petaka bagi Nataya."
"Tepikan mobilnya," perintah Bian mutlak. Memincingkan lagi mata elang berbalut kegelapan. "Sekarang, tepikan. Saya benar-benar kecewa dengan kamu, Tarana."
Kecewa? Hei. Sepatutnya kata-kata itu dipakai oleh Tarana, tahu? Dan lagi, memang ada yang salah dari kalimatnya? "Sepertinya kamu salah ucap, Bian. Saya yang kecewa sama kamu."
"Cukup. Saya tidak mau berdebat dengan kondisi mobil jalan dan anak saya yang tidur," tutur Bian meredam emosinya sementara. "Ambilkan penutup kuping di sebelah kursi sana. Itu untuk Nataya."
Dan Bian benar-benar aneh sekarang ini.