webnovel

Saya Tidak Peduli

B.

[Kamu di mana? Saya cari kamu daritadi, Tar!]

[Saya ada urusan sama kamu! Cepet pulang!]

Lama ponsel itu tak dibukanya, belasan missed calls menyeruak masuk ke ponselnya. Semua tidak lain dari seorang Bian. Ditambah satu lagi. Bian belum menyerah untuk memaksanya pulang ke rumah.

Declined.

Di kolom putih itu ..., Tarana bahkan tak bisa memikirkan satu balasan pun untuk menenangkan Bian. Ia tahu Bian marah, tapi dirinya ... entahlah. Apa yang sedang ia pikirkan?

B.

[Jangan beraninya declined telepon dari saya lagi, Tarana. Saya serius.]

Lagi-lagi ponselnya berbunyi tanpa henti. Inilah kenapa ia tidak ingin menyalakan ponselnya. Tapi ia lebih takut jika menerima kabar yang tidak-tidak saat ia mematikan signalnya.

Itu mengerikan.

Tarana.

[Saya tidak ke mana-mana, Bian.]

B.

[Kalau begitu angkat telepon saya. Dua jam saya telepon kamu lalu kamu menghilang.]

Tarana mendengus kecil. Seisi kepalanya bertambah penuh lagi. Berdesakan.

Tarana.

[Saya akan mengangkatnya, tapi jangan berbicara apa pun.]

Tak perlu menunggu Bian untuk meneleponnya kembali. Tombol dial itu sudah ditekannya duluan. Menepi ke tempat penyimpanan banyaknya stock makanan. Satu-satunya tempat tersembunyi yang tidak terjamah orang lain selain pekerjanya.

Tampaknya juga ..., Bian merupakan pria yang bisa menepati janjinya. Sambungannya sudah menyala beberapa detik yang lalu, tapi pria itu mengunci rapat mulutnya.

"Saya akan pulang, jam delapan tepat nanti, sesuai notes yang saya kasih ke kamu," kata Tarana tenang. Tangannya bergerak gelisah menyisir rambut ke belakang. "Saya menepati janji saya. Hanya itu yang mau saya sampaikan."

"Dan ...," lanjut Tarana terpisah. "Kalau urusannya tidak terlalu penting, mungkin bisa diundur besok."

Tut!

Tombol daya ditekannya lama. Pilihan 'power off' dipandangnya untuk sesaat.

'Tap again to turn off your phone.'

Klik!

Semoga saja Bian mengerti kalau Tarana ... tidak membutuhkan orang lain selain berdiri dengan kakinya sendiri.

***

Dinginnya udara ini masih kalah dengan bekunya raut Tarana sedari tadi. Hari ini seolah ia memajang ekspresi yang ... sama sekali bukan Tarana. Tidak memperlihatkan semringahnya, cemberutnya, atau mencak-mencak.

Terakhir, saat bersama Rallan dan Claire. Sisanya tidak ada lagi.

Ia bukan seperti Diana yang bisa tersenyum saat keadaannya tidak baik. Masih menenangkan orang lain walaupun jauh di lubuk hatinya itu hancur.

Dan Tarana yang paling tahu akibatnya akan sefatal apa memiliki sifat seperti itu. Tahu-tahu pergi, meninggalkan Tarana dengan jutaan kabar buruknya.

Heh!

Selapis transparan menggenang di pelupuk matanya. Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak bisa menangis, bukan?

Iya, orang itu Tarana. Terlebih ia tidak bisa menangis bukan karena menahannya, tapi karena memang tidak bisa saja. Air matanya setiap kali seolah tertahan di ujung, tak mampu dikeluarkannya leluasa. "Pusing banget .... Capek ...."

Lengannya bertengger nyaman di atas stang motor. Menjadikannya tempat ternyaman untuk Tarana bersandar. Peningnya bukan pening bercanda. Keningnya sungguh berkerut dan berdenyut. Efek kelelahan ... atau efek banyak pikiran?

Saking banyaknya yang berkelebat di kepalanya, ia bahkan tak menyadari kalau ada tangan lain yang bergabung dengan kepelikannya. Sampai tangan itu bergerak, memberikan gerakan usap lembut, barulah Tarana menyadari itu bukan khayalan.

Walaupun tak ada lagi tenaga menampik, masih mampu dirinya mendelik tidak senang pada pria bermanik gelap itu. "Ngapain?"

"Yang pasti saya gak mukul kamu," jawab Bian perlahan. "Physical touch saya gak termasuk kekerasan. Kamu bisa tenang."

"Tapi saya gak tenang kalau kamu ada di sini," balas Tarana mencebikkan bibirnya. "Saya akan masuk. Harus kamu ke sini mencegah saya kabur-kaburan lagi?"

Merasa Tarana sudah kembali ke sifat awalnya, juluran tangan Bian ditarik ke tempat awalnya. Terlancar mulus ke dalam saku celana pendeknya, lantas mengangkat bahunya. "Saya tidak pernah bilang begitu."

"Tapi kamu berbicara, bergerak, dan bergelagat seperti itu."

"Saya tidak pernah bermaksud." Selalu menjadi tantangan tersendiri untuknya menghadapi Tarana. Namun, entah kenapa, ia memiliki keberanian lebih untuk menjelaskan daripada sebelumnya. Daripada dahulu hanya membiarkan apa pun berlalu. "Saya melalukannya tanpa maksud, Tarana."

Kekehan sinis dihadiahi Tarana. Kunci motornya sudah tersimpan di sakunya rapi. "Terima kasih atas kejujurannya, Bian Pramoko."

Bodoh namanya kalau ia tidak tahu yang dilontarkan Tarana adalah sebuah sindiran. Cukup peka, tapi bagaimana mengatasinya? "Tarana, saya dan Gladys tidak ada hubungan apa-apa. Saya tidak bermain di belakang kamu."

"Lucunya, saya sama sekali tidak peduli, Bian." Tidak apa kalau ia yang menggantikan sakitnya Diana. Ia rela, melakukan apa pun. Dan syukurlah, kakaknya lebih tenang di sana dibanding berjuang di sini. Menghadapi hal yang lebih rumit lagi. "Saya tidak peduli. Jadi, jangan coba jelaskan pada saya."

"Lalu kamu marah akan apa, Tar?" Seakan belum menyerah, Bian membuntuti Tarana tanpa tarikan. "Kamu marah, 'kan?"

Marah karena hari ini datang juga. Hari di mana dirinya bertambah umur, tapi seseorang yang menjadi orang berharga di hidupnya tidak bertambah. Sakitnya merambah ke mana-mana karena Bian bertanya. Semua ini salahnya. Salah Bian.

"Saran saya, jangan masuk dulu kalau masalah kita belum selesai."

Namun, tak sedikit pun ada usaha dari Bian untuk mencegah Tarana masuk. Mengapa?

Klak!

"Tarana! Happy birthday, Sayang!"

Cantika tergesa mendekat, mencium bergantian pipi kiri dan kanan Tarana. Diikuti dengan Kyla yang ikut memeriahi sembari menggendong Nataya di lengan sebelahnya. "Tahun ini dua puluh enam, ya?"

Terpaksa senyuman tipis diulas mungil olehnya. "Iya, Mama Kyla. Kalian kapan datengnya? Udah lama nungguin Tarana? Sorry banget Tarana lupa kalau ada acara hari ini."

Lupa? Bian mengangkat salah satu alisnya. Tarana melindunginya, atau ia malas berdebat dengan dirinya?

Kyla mengibaskan tangannya ringan, mengatakan bukan masalah besar untuk mereka. "Namanya juga surprise, Tar. Belum begitu lama, kok. Makanan pesenannya juga baru dateng. Udah makan belum, Tar? Ada kue, tuh. Mama beliin."

"Oh ...." Tarana bergumam tanpa minat. Tak lagi memiliki energi untul bercipika-cipiki dengan ibu-ibu heboh ini. "Masih agak kenyang, sih, Ma. Terus hari ini aku juga agak sibuk, jadinya agak capek-"

"Sebentar aja, Tar." Cantika sudah melotot tegas. Mencium bau tak menyenangkan bahwa penolakan sudah ada di ujung lidah Tarana. "Papa kamu juga luangin waktunya buat kamu, loh. Kita semua juga. Cuman sebentar aja, deh. Makan dikit aja. Nataya juga belum makan, temenin ya, Sayang?"

"Nataya belom makan?" Tarana menoleh cepat pada Bian. Tapi pria itu sudah mendahuluinya membuka boks-boks makanan pesanan. "Bian?"

"Nungguin kamu," balas Bian tanpa perasaan. "Aku udah chat kamu. Kamu gak baca, ya?"

Beberapa detik kelopak mata Tarana melebar. Oh, ini balasannya? "Ngapain nungguin orang yang jelas-jelas pulang telat, Bian? Gak baca, ya, notes-nya?"

"Makan dulu." Di pertengahan, Manuel memotong tegas. "Duduk, terus nanti baru dilanjutin."