webnovel

Masih Terlalu Cepat

Holy shit!

Pinggangnya terasa remuk redam terkena benturan yang lumayan kencang tersebut. Ditimpa beban di atasnya pula. Berat badan Bian pasti tidak main-main. Dirasakan juga kala tangan Tarana mengalung di sana.

Merasakan kekekarannya dalam menjaga tubuh. Tapi merupakan kesialan karena bobot Bian ditambah otot-ototnya itu memberatkan Tarana!

Pun, tangan Bian yang melindungi punggungnya juga 'agak' tak berguna. Kenapa tidak sekalian merangkul pinggangnya saja?! Seakan niat melindunginya hanya separuh saja.

"Tar? Tarana?!"

Namun, urung dikeluarkannya kala mendengar jantung Bian berpacu lebih cepat dua kali lipat dalam jarak sedekat ini.

Bukan. Bukan karena kedekatan mereka justru. Bukan juga karena Bian terkejut. Sudah pasti bukan, melihat dari warna wajahnya yang juga berubah.

Rangkulan Tarana dilepasnya dari leher besar Bian. Membuat keputusan sederhana untuk mengabaikan rasa sakitnya sementara waktu. Ada yang berbeda dari Bian yang selama ini dikenalinya.

Masih mencari tahu lebih lanjut mengenai 'Bian yang dikenal kakaknya' juga 'Bian yang dinikahinya'. Kenapa dua nama itu seakan bertolak belakang sekarang? "Bian?"

"Hey! Apa ada yang sakit, Tar?" tanya Bian khawatir. Pucat pasi menghiasi rona paras tampannya. Matanya berkeliaran cepat menelusuri anggota badan Tarana yang lain, sekalipun Tarana melihat tangan Bian memerah.

Sudah pasti memerah. Bian menahan bobot tubuh dua orang yang gagal ditahan oleh tungkai kakinya. Semua beban ditahan oleh ... Bian. Tangan Bian.

Oh, sial. Kenapa harus ada kecelakaan yang mengharuskannya memperhatikan orang lain, sih? Tarana membenci, tapi juga tak bisa menampik rasa bersalah yang timbul ini. Sulit menjadi seorang manusia. "Bian, lepas dulu."

"Saya tanya apa ada yang sakit, Tar!" Bian berseru memekak. Menggelegar di gendang telinga Tarana, tampak mengamuk. "Bisa jawab, enggak?! Biar saya gak usah repot-repot khawatir!"

"Sadar diri, Bian," sahut Tarana bersungut. "Kamu masih memeluk saya. Minggir dulu. Kamu mau tidur di lantai saja hari ini, tidak perlu tidur di kamar?"

Dirinya juga mungkin bertindak berlebihan. Bian hanya khawatir, dalam kadar yang cukup ... membingungkan.

Namun, pria itu tetap menarik diri. Sekaligus membantu Tarana ikut duduk setelah posisinya sudah mantap. "Ada yang sakit, Tar?"

"Tangan kamu juga sakit, tuh." Ibu jari Bian ditarik agar memperlihatkan bagian bawah tangan berototnya. Sayangnya, warna kecoklatan dari kulitnya sekarang terhiasi merah. "Pasti bakal jadi lebam nanti."

Tangan Tarana dilepaskannya hati-hati. Lebih tepatnya, menyembunyikan bukti bekas pertolongannya pada Tarana. "Sekarang, bisa kita fokus pada diri kamu, Tar?"

"Saya enggak kenapa-napa, Bian-"

Tangan Bian teracung ke atas. Memotong ucapan Tarana setajam yang ia bisa. "Cukup bohongnya, akui. Sebelum saya marah, Tar. Ini terakhir kalinya saya bertanya pada kamu. Saya tidak bisa sesabar itu kalau kamu memang menyembunyikan sesuatu dari saya."

Gleg!

Aura hangat barusan itu sirna terbawa angin. Tak ada lagi tanda-tanda kebercandaan yang selalu dibawa Bian apa pun situasinya. Mencekam, lebih gelap dari malam hari tanpa bintang.

Tarana jadi mempertanyakan. Sekelam apa keadaannya nanti jika Bian membongkar semua yang berusaha disembunyikan Tarana nantinya?

Mungkin seperti ayahnya.

Dan itu memberikan Tarana nuansa sama gelapnya seperti Bian. Kalau Bian nanti menjadi seperti ayahnya ... ia akan sangat kecewa. "Bukan urusan kamu, Bian. Saya duluan."

"Tatap mata saya kalau begitu," perintah Bian tak ingin diganggu gugat. Mengoreksinya dengan sedikit sindiran diujungnya. "Kalau kamu berani."

Siapa yang tidak? Taruhan pun, Tarana berani. Memangnya apa yang ada di matanya, juga di balik mata gelap Bian?

Rupanya ada. Ada sesuatu yang tidak terungkap keluar dari manik berkilau mereka. Berkomunikasi dan saling berbicara dengan baik, tanpa membutuhkan kalimat menyakitkan.

Mulut boleh berbohong. Namun mata, hati, dan gerak tubuh jarang berbohong. Semua bisa terungkap hanya dengan mendalami mata satu sama lain.

Dan itu yang terjadi pada Tarana. Dapat ia baca bagaimana kalutnya Bian saat ini, begitu pun betapa marahnya Bian saat Tarana memberitahu bahwa itu bukan urusannya.

Tapi, mau bagaimana lagi, Tarana bukan orang yang mudah untuk terbuka. Baik untuk siapa pun. Hanya tingkah yang ingin ia tunjukkan saja yang dikeluarkan. Misalkan tengil, ceria, bahagia, juga jutek, kasar, dan sinis sesuai tempatnya.

Tak lama, Bian mendesah lega. Terkekeh hambar, seraya menggeleng. "Maaf saya berlebihan. Saya hanya memikirkan waktu kehilangan istri saya yang dahulu. Saya juga tidak ingin kehilangan orang yang bersanding dengan saya lagi. Dengan cara apa pun."

Pelipis kanan Bian diurut membentuk pola abstrak. Merasakan kepenatan yang berlebih sehabis bernostalgia dua kali untuk hari ini. "Boleh saya peluk kamu, Tar?"

"Boleh," jawab Tarana cepat. Karena memang itu yang ingin dilakukannya, hanya terlindungi gengsi. "Hanya pelukan, bukan yang lain-"

Grep!

"Saya memang hanya berniat pelukan, Tar. Jangan takut," bisik Bian sayup-sayup tertiup angin. Tak peduli keduanya yang masih duduk di lantai, sekalipun sofa jelas-jelas ada di depan sana. "Saya mungkin menciptakan trauma untuk kamu, tapi saya akan berusaha lebih baik, Tar."

"Saya bertanggung jawab atas apa yang sudah kita berdua lewati. Saya memang berniat begitu. Saya tidak akan kabur," bisik Bian, yang sebenarnya sebagai penenang untuk hatinya yang gundah. "Karena itu, tetaplah di sisi saya apa pun yang terjadi."

Bagaimana seseorang bisa bicara begitu setelah apa yang Tarana sudah lalui? Bian-lah yang menjadi penyebab dirinya menutup diri.

Apa Tarana bisa kembali ke masa lalu? Walaupun menukar seseorang yang tak pernah berada di dalam list harapan Tarana, yaitu Bian? Bisakah? "Lepas, Bian. Saya lelah. Saya mau istirahat."

"Tar?" Bian nampak lebih dari anak yang lepas dari induknya. "Tar? Kamu marah?"

"Enggak." Tarana menggeleng sayu. Antara menahan pinggangnya yang serasa, tulang-tulang ingin lepas dari tempatnya, atau malah hendak menutupi perasaannya yang mencuat.

Belum. Yang pasti, belum hari ini. Ini masih permulaan. Terlalu cepat jika sekarang. "Tapi terima kasih karena sudah menolong saya."

"Kamu bahkan tidak membalas dari sepanjang kata-kata saya, Tar."

"Kita baru mengenal sekian hari, masih terlalu cepat untuk mengatakan hal tersebut, Bian." Tarana menunduk. Berusaha menetralisir rasa sakitnya ini jauh-jauh. "Saya butuh waktu. Saya permisi."

Bian tengah mengekor membuntuti ke mana Tarana melangkah. Masih penasaran, meninggalkan tanda tanya besar. Sebegitu sulitnyakah Tarana memberikan balasan?

Atau Bian yang merasa bahwa ketakutannya ini terlalu cepat untuk disampaikan? Mengapa ia tidak merasa menyesal, namun justru merasa aksi ini adalah yang paling sesuai sekarang? "Tar? Ini bukan karena kamu mau ninggalin saya, 'kan?"

"Kita bicarakan itu setelah melihat sendiri bagaimana sifat masing-masing, Bian," ujar Tarana tak mengelak. "Bagaimana sifat kamu, bagaimana sifat saya. Bagaimana kita bertahan, Bian. Untuk pernikahan yang berumur jagung, masih terlalu cepat."