"Tar?"
Bian melenguh pelan sehabis tidur panjangnya. Ranum makanan tak lagi terhirup dalam indra penciumannya. Padahal matahari sedang terik-teriknya. Seharusnya Tarana masih di sini mengingat kemarin Tarana memegang spatulanya kisaran jam segini juga.
Apa ia terlambat untuk bangun? "Tar? Tarana?"
Padahal ini baru pagi kedua setelah pernikahan, jumpa ke empat bila dihitung penuh. Akan tetapi, semua kejadian yang dilewati mereka untuk empat hari, terasa begitu menyesakkan. Sangat banyak, juga padat.
Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Bian yang bertanggung jawab memberikan kebahagiaan baru untuk Tarana, juga Tarana yang harus menyesuaikan diri karena dirinya seorang istri dan ibu. Mendapat dua pekerjaan sekaligus.
Agak tak adil bagi Tarana, karena semua ini baru untuknya. Sementara dirinya ... tidur, dipersiapkan ini itu. Entah apa dirinya pantas atau tidak. "Tarana?"
"Papa!"
Pintu terbentang meluas. Memunculkan anak cilik yang sudah sedia dengan pakaian rapinya. Berlari tahu-tahu menghambur mendamaikan ke pelukan Bian yang belum sadar sepenuhnya. "Papa bangun! Udah mau jam delapan, Pa!"
"Tante mana?" Bian tak dapat menjaga mulutnya dan mengendalikan hatinya dengan baik. Tercetus, mengabaikan guncangan dari lengan mungil itu. "Pamitan sama kamu gak, tadi?"
"Pamitan. Katanya aku boleh bangunin Papa pas jam tujuh," ujar Nataya mengutip kalimat asli Tarana.
Bian mengerut bingung. Tapi kemudian bangkit untuk mendudukan Nataya di pangkuannya sembari terkantuk-kantuk. Wajahnya yang diusap kasar tak berbuah banyak. Karena ada Nataya, ia jadi lebih mengantuk. "Mau peluk Papa, gak?"
"Ini lagi peluk Papa."
"Lebih erat lagi," bisik Bian pelan.
Tangan kecil Nataya bahkan tak bisa menggapai satu putaran penuh. Hanya separuh, itu pun dibantu oleh Bian yang melengkungkan badannya untuk merengkuh Nataya lagi. "Sekarang jam berapa, Nataya?"
"Jam tujuh." Nataya mengurai dirinya, menunjuk jam dinding di atas sana. "Nataya masuk, Papa lagi bobo."
Pipi lembut Nataya ditangkup Bian untuk diciumnya. "Anaknya Papa pinter. Nataya dibangunin jam berapa?"
"Enam tiga puluh," jawab Nataya lancar. Berganti ia yang berjengkit guna mencium pipi mulus Bian. "Oh, iya, Tante ada suruh Nataya olesin ini ke Papa."
Dari belakang tubuh gadis kecil itu, dikeluarkannya wadah bulat itu ke hadapan Bian. Lebih tepatnya, menyodorkannya. "Setelah Papa selesai mandi. Tante tadi juga bilang ... kalau ...."
Nataya tampak berpikir keras. Tiga kerutan di keningnya berjajar lurus. "Lengan kemeja Papa dilipet, terus jangan pakai jas dulu, terus-"
Belum selesai Nataya menuturkan, disela Bian dengan bahak yang tak tertahankan. Antara tertawa karena melihat kelucuan Nataya, atau malah gengsi berlebih dari seorang Tarana.
Tentu. Dia peduli, tapi malah memilih kabur dan menggunakan Nataya sebagai pengganti dirinya. Menyebalkan, namun sepertinya untuk keadaan yang tak baik seperti kemarin sudah lebih dari cukup.
Bagus juga Tarana berangkat lebih awal. Baik Bian atau Tarana tidak perlu berpura-pura akur di depan Nataya.
Keputusan yang baik, menurutnya.
"Papa ketawa," celetuk Nataya tersenyum tanpa dibuat-buat. "Seneng Papa ketawa lagi."
Apa karena Tarana? Atau karena Nataya mengusulkan-yang sebenarnya adalah memaksa membawa Nataya untuk tinggal bersama?
Yang mana pun, bolehkah Bian merasakan kebahagiaan sebesar ini? "Tunggu Papa mandi, ya, Nat. Nanti temenin Papa sarapan."
***
B.
[Mulai hari ini Nataya dititipkan di daycare yang kemarin kamu tunjukkan. Jarak dari sekolahnya ke sana seharusnya tidak terlalu jauh. Nanti lokasinya saya bagikan.]
[Tolong jemput dia nanti. Hati-hati.]
"Satu kerjaan belom selesai, dateng lagi kerjaan baru," sungut Tarana gemas. Mendecak sebal karena datangnya pesan Bian adalah hal yang paling tak diinginkannya.
Membuatnya terus-menerus kepikiran. Dan rupanya, itu bukan hal baik untuk keproduktifannya hari ini. "Kapan selesai ... pengen pulang, istirahat, terus tidur lagi ...."
"Baru setengah hari udah mau pulang, Tar?" Rallan datang lagi. Kali ini membawakan satu gelas berisikan cairan bening. "Minum, tuh, Tar. Lo keliatannya capek banget."
"Ya emang," balas Tarana mendelik sinis. Bisa gak lo jangan ke sini terus? Risi gue."
"Lah, daridulu gue juga udah begini. Baru kali ini aja lo komplain," cetus Rallan mengangkat separuh alisnya. "Lagi dateng bulan?"
"Enggak."
"Lagi mood swing?"
"Enggak!" hardik Tarana kecil. Layaknya tengah berbisik karena tak ingin memancing perhatian seperti kemarin. Sekali saja sudah cukup. Tidak lagi. "Ke Claire aja lo. Gue sibuk."
"Ya, gue maunya sama lo, Tar," ujar Rallan santai. "Gimana gue mau ke Claire?"
Masa bodoh. Urusannya sendiri sudah rumit. Memutar, dan terlalu banyak simpulnya yang terlilit di tempat yang tak sesuai. Untuk apa masih bertengkar tak jelas dengan Rallan? "Gue ada urusan. Nanti gue nyusul tiga puluh menit dari sekarang."
"Tapi waktu istirahat cuman sejam, Tar-"
"Ya terus kenapa?" tanya Tarana sewot. "Udah, deh. Berhenti kepo-kepo gak jelas sama urusan gue, Lan. Gue ngehargain lo yang berstatus sebagai teman, Lan. Claire aja gak segitunya sama gue."
"Karena dia gak ada di meja lo sekarang," balas Rallan tak mau mengalah. "Kalau ada dia juga sama kayak gue, Tar."
"Ya berlaku aja kalau gue gak ada di sini sekarang, Lan." Tas bahu Tarana sudah siap di sisi lain dari pundaknya. Masih melirik bengis pada Rallan yang tak mau juga menyingkir. "Gue beneran ada urusan. Minggir."
Gelas yang tersingkir di ujung meja ditunjuk oleh Rallan. "Minum dulu."
"Lan-"
"Gue minggir habis lo minum. Gue janji, dan lo tahu gue gak akan pernah mengingkari janji gue," ungkap Rallan cepat. "Lo kurang minum. Bibir lo pecah-pecah, Tar. Gak sehat."
Tak ingin terlalu banyak diocehi, rampasan minum itu bukan berasal dari gelas yang ditaruh oleh Rallan.
Melainkan gelas milik Rallan sendiri yang ia ambil untuk ditenggaknya cepat. Memperlihatkan leher jenjangnya yang mau tak mau membuat siapa pun terpana.
Mungkin kecuali orang yang berada di rumah itu. Terserahlah. Sampai kapan pun mungkin Tarana tak ingin menyerahkan dirinya. Biar saja Bian berpikir Tarana trauma. Pokoknya, ia tak mau dan tak bersedia.
Mulut gelas itu dibalik Tarana, sebagai tanda kalau ia sudah menghabiskannya. Pun, mengantarkannya lagi untuk digenggam Rallan. "Tuh, udah. Awas aja lo masih berisik. Gue cabut duluan, kasih tahu Claire, ya."
"Tar, di bibir lo-"
Terlambat. Tarana sudah bergerak menjauhi keluar dari ruangan menjauhi mejanya, juga sudah menghapus apa yang ada di bibirnya dengan punggung tangan. Mengabaikan apa yang ingin disampaikan Rallan. Lebih tepatnya, tak peduli.
Ah, padahal Rallan bisa melakukan itu juga, sedikit modus tentu. Sangat disayangkan, Tarana adalah wanita yang mandiri, dan selalu menghindar setiap diulurkan bantuan.
Meremat gelas bekas Tarana, meredam degupnya yang bertabuh kencang. "Gimana banyak yang gak suka lo, Tar. Lo aja gak peka begitu."