Makan malam itu didominasi keheningan yang memekak. Terlebih dua orang asing yang berdampingan itu sangat tak acuh untuk memperhatikan satu sama lain. Pun, Tarana mengaduk makanannya tak bernafsu.
Ia berbohong tentang dirinya yang sudah mendapatkan asupan pencernaan, tapi ia juga tidak bernafsu menyantap makanan ini. Hanya sibuk membantu Nataya menyuapkan makanannya lahap.
"Nah." Cantika menyingkirkan piring kotornya ke wastafel. "Kerjaan kalian gimana, Tar, Bian?"
"Baik," jawab keduanya serempak. Menatap ke arah berhadapan, membuang wajah lagi. Bermusuhan.
"Kalian masih belum akur, ya?" tanya Kyla tak enak hati. Membaur setelah beberapa menit lamanya mengunyah datar. "Tapi Nataya ternyata seneng banget ada kamu, Tar. Mama gak nyangka banget."
Mulut berminyaknya terangkat pahit. Bukan nyinyir, tapi ia tidak begitu menyenangi Kyla walaupun wanita itu bertingkah wajar. Takut kalau Nataya diapa-apakan olehnya. "Papanya sibuk terus katanya. Jadi yang sering nemenin aku."
"Saya udah mengurangi jam kerja saya, Tar." Bian menyikut perut Tarana, menyadarkannya untuk merevisi kalimatnya tadi.
Tampikan Tarana lebih kencang lagi. Melotot sinis memerintah Bian untuk menjauhinya. "Ya, sisanya kan masih buat orang lain, bukan buat Nataya."
"Tarana." Manuel angkat bicara. Bergantian melakukan pemindaian seluruhnya pada dua orang yang mengerut gondok itu. "Jangan mulai."
"Mulai apa?" Terpancing, Tarana mengangkat wajah masamnya itu. "Papa yakin banget kalau Tarana yang mulai?"
"Karena pasti kamu." Manuel menenggak air putihnya menyegarkan lagi dahaganya. Jarinya menunjuk Bian kali ini. "Papa kenal sama Bian, dan Papa kenal sama kamu juga."
"Pa!" sentak Tarana.
Kondisi semakin muram adanya. Tak lagi Tarana menyembunyikan ketidaksukaannya demi kelancaran makan malam kedua mereka ini.
Semakin ia diam, semakin ia diinjak. Tapi walaupun ia bersuara, tidak ada yang mendengarkan. Semuanya memang ingin membuatnya gila.
Begitu juga dengan pria yang tak berkutik di sampingnya. Apa peranannya? Hanya sebagai pajangan yang tak bisa bergerak? Atau bergerak hanya ketika disuruh saja? "Ini makan malem berkedok penyindiran?"
"Sstt! Tar." Cantika menggeleng lembut. Meminta Tarana untuk tidak mengeluarkan uneg-unegnya sekarang. "Pa, udahlah. Itu juga urusan Tarana sama Bian. Kita gak berhak ikut campur lagi karena semuanya sekarang ada di tangan Bian."
Iya! Di sanalah letak kesialannya. Hidupnya berada di tangan lelaki brengsek yang membuat beberapa hari ini mood-nya kacau balau. Terlebih lagi datangnya hari yang tak pernah dinantinya. Semuanya memburuk sekali kedip.
"Kadang berantem karena aku juga. Tarana gak sepenuhnya salah." Bian tersenyum kecil, menenangkan beberapa orang tua yang mulai kalut akan hubungan pribadinya. "Tarana juga kayaknya capek, Ma, Pa. Biasanya pulang gak pernah malem."
Tak butuh Tarana mendengarkan semua ucapan palsu dari Bian untuk melindungi dirinya. Hanya ia yang terdengar makin buruk, makin kusut. Hatinya tak bisa berkompromi lebih lama lagi. Sudah sejauh ini saja, lalu Tarana menyerah.
"Tunggu bentar lagi." Tangan besar itu menahan laju perginya Tarana. Sedikit meremas dengkulnya. "Sebentar lagi aja. Saya temenin."
"Saya gak bisa jamin malam ini tanpa kata-kata buruk dari saya, Bian." Nada bicaranya makin ditipiskan. Memilih untuk fokus pada kursi tinggi Nataya. "Kenapa kamu gak kasih tahu saya hari ini, sih?"
"Lalu kamu tidak akan pulang?" Pertanyaan retorik yang ditimpali senyuman tipis dan gelengannya. "Tidak bisa. Ini rumah kamu, dan di sinilah kamu berada."
Tapi rasanya Tarana tidak pernah cocok di mana pun dirinya berada. Sebagai ibu dari Nataya, sebagai istri dari Bian, sebagai teman dari Claire dan Rallan, ia tidak cocok menyandang satu status pun.
"It's okay," bisik Bian lembut. Seakan melupakan masalah dan keributan mereka di halaman depan tadi. "Bantu saya beresin makanannya biar cepet selesai, Tar. Saya urus Nataya dibanding kamu dilihatin terus sama Mama."
Tarana tahu. Seberapa lekatnya Kyla memandanginya tanpa mengalihkan perhatiannya dari bagaimana cara Tarana mengasuh Nataya, atau menanggapi sama cerianya, walaupun letih nampak dari wajahnya.
Tapi, tidak ada raut kepuasan yang dicari Tarana dari Kyla. Apa wanita itu tetap tidak rela kalau Tarana mengurus cucunya?
Telak, hatinya merasakan remasan berlebihan. Sakit. Seperti yang sering dilontarkan keluarganya itu pada Diana, lalu beralih kepadanya.
Mungkin memang sudah saatnya Diana bebas. Orang sebaik Diana tidak pantas lagi berada di neraka ini. Pilihan Diana sudah benar.
Piring-piring dan boks-boks kotor sudah diboyong Tarana, dibantu juga campur tangan dari Cantika. Sudah pasti ada maksud tersendiri dari Cantika kalau sudah mendekat ke Tarana. Pada dasarnya, Cantika dan Manuel sama saja. Hanya kadar mengesalkannya yang berbeda.
Cantika masih bisa menakar sampai mana dia harus bicara, atau minta maaf jika dirasa keterlaluan. Lain halnya dengan Manuel. Menyalahkan, menuduh, dan menuding secara sembarangan. Tangannya bisa terangkat juga. Tarana pernah merasakannya.
"Tar," panggil Cantika menusuk. "Kenapa pasang foto Diana di meja?"
Tangan bersabunnya masih diguyur kucuran kencang air keran. Sempat berhenti, tapi tak berlangsung lama. "Emangnya kenapa?"
"Satu pun gak ada foto kamu, Tarana," bisik Cantika makin dalam. "Kamu sengaja? Atau gimana?"
"Yang jelas gak ada hubungannya sama Mama." Tarana menjelaskan ringan, walaupun sesak di hatinya tak kunjung menghilang. "Lagipula kita mirip. Bian gak sadar."
"Tarana!" desis Cantika kesal. "Mama ngerti kalau kamu kesel sama Mama, sama Papa, tapi caranya gak begini, Tarana! Kamu mau jelasin apa ke Bian kalau itu bukan foto-foto kamu?!"
"Asal Mama Papa tutup mulut, semuanya bakal jadi lebih mudah, Mama." Tarana melepaskan celemek basahnya. Menelisik bola mata penuh kasih sayang mamanya itu. Kali ini, ia tidak akan mengalah lagi.
Setelah mendapat kekalahan di rumahnya, ia tidak mau juga kalah di kandangnya sendiri. Bian mengatakan ini rumahnya, berarti ini haknya juga. "Diana berhak berada di situ, setelah disembunyikan sama Papa Mama beberapa tahun."
"Tarana!"
"Mama gak mau ngucapin selamat ulang tahun buat ... Ana?" Tarana tersenyum manis. Sekarang leluasa sekali menyebut nama Ana. Yang diambil dari Tarana, juga Diana. Gabungan nama mereka. "Buat aku dulu, Mama?"
Cantika masih termenung tidak percaya. Bahkan meratapi uluran tangan yang tak disambut olehnya. "Kamu benci sama kami, Tar? Sampai bertindak sejauh ini?"
Gelengan disodorkan Tarana. Ia mendekat, mendekap tubuh bergetar Cantika.
Kalau Tarana tidak bertindak sejauh ini, Diana tidak akan mendapatkan keadilan. "Aku dua puluh enam. Tapi semuanya gak pernah bergerak dari aku umur dua puluh satu, Mama. Empat tahun itu gak pernah berubah, dan selalu jadi petaka buat aku."
Pelukan Tarana terurai dalam kelaraan. "Tapi kalian gak pernah mengerti. Mama sadar setelah kehilangan Diana, Mama bisa aja kehilangan aku?"
Suaranya tercekat di ujung tenggorokan, namun mampu diluruskannya. "Separuh aku ada di Diana, Mama. Kapan Mama sadar hal itu?"