Perubahan suasana dapat terlihat jelas dari air wajah mengeras Manuel dan Cantika. Tapi Tarana tidak peduli. Ia hanya ingin menyelesaikan semuanya secepat mungkin, dan pergi dari sini. Kabur akan menjadi satu-satunya pilihan saat tak adda lagi yang terpikir di otaknya.
Selalu begitu. Tarana sang pengecut, Tarana yang kabur, Tarana yang ... terserahlah. Mungkin di kepala Cantika dan Manuel sudah tersemat begitu banyak panggilan untuknya. Memang si trouble maker.
"Ataya," panggil Tarana sedetik setelah pemikiran cerdiknya terlintas. "Mau tiup lilin sama Tante?"
Nataya yang berada di gendongan Bian langsung mengangguk antusias. Menjulurkan tangannya ke depan untuk diambil Tarana. "Mau!"
Tampaknya, Bian juga mulai tenang dengan inisiatif Tarana. "Hati-hati, Ataya. Jangan sampai kuenya ketendang."
"Kalau begitu kamu ke sana aja, Bian." Kyla tak bisa memungkiri kecemasannya yang hadir. "Gendongin Nataya juga. Takutnya Tarana gak kuat."
Seakan memahami perasaannya, Bian mengusap lembut bahu kanan Tarana. "It's okay. Tenang."
Kalau bukan tersisa ini acara terakhir, Tarana mungkin tak sudi mengikuti bujukan Bian. Di rumahnya sendiri, dicurigai pula. "Janji gak ajak yang lain ke sini lagi?"
Bian meniadakan jawabannya sendiri selain menghamburkan senyumnya secara sia-sia, karena tak berbalas. Ia membungkuk, membantu Nataya agar lebih dekat dengan sasaran yang menari-nari itu, tanpa melukai anaknya. "Mau tiup atau saya sama Nataya aja, nih?"
Bola mata jernih itu memutar malas. Ikut menunduk, berbarengan dengan instruksi Bian.
"Satu ... dua ... tiga!"
Lilin di atas kue itu padam. Memperjelas tulisan yang terukir di krim putih. Terang-terangan menuliskan namanya saja, bukan nama orang lain.
Tarana terkekeh sinis. Ia berharap apa? Bukankah dari dulu harapannya sudah pupus, sampai mengambil tindakan ekstrem begini?
'Happy Birthday, Tarana.'
Kenapa bukan Ana saja? Tarana akan lebih menghargai usaha dari ayah dan ibunya. Tapi rupanya, memang ia terlalu meninggikan ekspetasinya.
Tanpa sadar, pegangan Tarana mengendur dari meja panjang itu. Masih membisu, tapi sekelilingnya jadi bergoyang. Kakinya tak lagi sekokoh di awal. Napasnya menjadi pendek. Keringat menembus kemeja tipisnya.
"Tar!"
Kesadarannya berangsur pulih kemudian. Sentakan dari Bian mengembalikannya ke bumi lagi. Mengerjap menyesuaikan pandangnya, berusaha keras mengurangi pening yang menderanya seketika.
Ia tidak bisa lagi berada di sini. Tempat ini terlalu menyesakkan untuknya. "Sorry ..., aku duluan, ya. Lagi kurang sehat. Nginep dulu aja, besok baru pulang. Ada kamar sisa, kok."
***
Sesuai usulan dari Tarana, juga karena masih rindu dengan Nataya, Kyla dan Liel, menyetujui untuk menginap di kamar tamu rumah Bian. Sedangkan Cantika dan Manuel, kabur. Entah mengapa keduanya berusaha keras menolak menginap di rumahnya.
Sama pucat pasinya dengan Tarana, tapi lebih pucat Tarana. Tiga orang itu seolah berkubang dalam hal yang sama, tapi tidak diketahuinya.
Biarlah, urusan keluarga. "Ma, tolong tarikin bagian sana. Bian susah ke sananya."
Secara otomatis juga, Nataya melompat turun dan menarik ujung lain dari yang diarahkan Bian. "Ataya juga mau! Ataya juga!"
"Ataya kuat?" tanya Bian mengulum senyumnya, yang mendapat anggukan kuat.
Sudah lama ia tidak melihat Nataya sebegitu bersemangatnya. Pasti semangat Tarana dari hari ke hari menular pada Nataya. Tentu saja ia ikut bahagia. Satu rumah ini jadi berwarna, menyenangkan.
Perasaan hangat yang merayap ini semoga saja adalah perasaan baik. Ia tidak bisa jika orang yang berharga untuknya meninggalkannya lagi. Sama sekali tidak bisa.
"Kamu panggil Nataya jadi Ataya, Bian?" Pertanyaan yang menggumpal akhirnya keluar juga.
"Iya!" Nataya menyumpal segenap kecurigaan lagi dalam benak Kyla. "Ataya suka panggilannya berubah begitu. Nataya juga suka setiap kali Tante jelasin apa yang aku gak tahu. Tante juga suka cerita-cerita tentang Papa."
Tarikan sprei itu sudah mengait di setiap sisi kasur. Memastikan semuanya sesuai, Bian mengajak lagi Nataya dan ibunya bergabung di tengah kasur. "Maksud Ataya gimana?"
"Iya." Nataya bersemangat bersembunyi dalam dekapan Bian. "Tante bilang kalau Papa sayang banget sama Ataya. Ataya sayang juga sama Papa."
Bian melirik Kyla keheranan. Menandakan bahwa ia tidak tahu-menahu tentang semua yang dijabarkan Nataya. "Terus, Sayang?"
"Tante juga ceria orangnya," jawab Nataya di samping ceruk leher Bian. Menerima belaian halus yang dirasakannya di punggung. "Nataya gak sendirian lagi di rumah."
Keretakan nampak jelas di dada Bian. Fakta bahwa ia tidak pernah ada untuk Nataya. Malah, orang baru yang dibawanya ke rumah mampu mengisi rongga Nataya.
Entah ia harus sedih, atau bersyukur setidaknya Nataya tidak lagi kesepian. Ada orang yang menggeser posisinya di hati anaknya sendiri.
"Tapi Ataya tetap paling sayang Papa!" Nataya terhenyak mundur. Memegangi wajah Bian dengan tangan kecilnya. "Papa jangan marah sama Atayaaaa."
"Iya, Sayang," jawab Bian pengertian. Mengecup kening anaknya sayang, lalu beralih mengecup pipi ibunya hangat. "Mama tidur, ya. Udah jam sepuluh."
"Mama pengen ngomong bentar sama kamu, Bian." Kyla menelan salivanya susah payah. Bibirnya tepat dihadapkan ke telinga Bian. "Tarana ... gak lagi hamil, 'kan?"
"Mama!" protes Bian terkejut. Bukan apa. Kata-kata hamil masih terasa asing mengingat keduanya bahkan tak pernah menyentuh lebih dari batas wajar. "Apa, sih? Ya enggaklah."
"Tahu dari mana kamu?" tanya Kyla menyelidik. Lengan anaknya yang ingin membawa Nataya kabur disanderanya. "Udah di-test belom?"
Telinganya terasa geli bukan main. Naik ke atas demi menutup lagi indra pendengarannya yang makin lama tercemari. "Enggak. Pokoknya Bian tahu aja."
"Bener?"
"Iya, Mama!" jawab Bian kesal. "Lagian kenapa kalau misalnya hamil? Anak Bian gini, kok."
"Bukan begitu." Kyla mengempaskan bokongnya di atas kasur. Sedikit menerawang. "Mama belum ngerasa Tarana siap jadi orang tua, Bian. Terus nanti kamu dibebanin lagi sama tanggung jawab baru. Masa lalu kamu juga Mama yakin kamu belum kasih tahu Tarana, 'kan?"
Merasa percakapan ini makin dalam, Bian berlutut sepantaran Nataya. Mengusak kecil rambut tipisnya. "Ke Tante dulu. Temenin Tante, terus kalau ada apa-apa kasih tahu Papa, oke, Sayang?"
"Oke!"
Bian berdiri lagi memandangi sosok anaknya yang berlari cepat. "Hati-hati, Ataya. Tante kamu itu gak hilang ke mana-mana, kok."
Namun, posisi berdiri Bian segera ditarik duduk oleh Kyla. Mengajaknya berbicara empat mata. "Iya, 'kan?"
"Apa, Mama?" Jemari besar itu melapisi punggung tangan berkerut karena usia senjanya.
"Kamu belum kasih tahu apa pun ke Tarana? Mama bilang kalau Mama gak tahu apa pun tentang kamu, Bian."
Embusan kencang ditepikannya ke samping. "Malah Bian ngerasa kalau semua tanggung jawab Bian sekarang dibebanin ke Tarana, Ma."
"Setiap siang, Tarana yang jemput Nataya ke daycare, karena kita sama-sama kerja," jelas Bian tersenyum pahit. "Menyangkut masa lalu, memang. Tapi Tarana gak peduli sama yang lalu, Ma. Mama percaya gak kalau sampai sekarang Tarana gak pernah mengulik masa lalu Bian?"
"Belajar percaya sama Tarana, Ma."
"Kamu udah percaya sama dia?"
Bian tersenyum tipis. "Belajar, Ma."