webnovel

Bukan Pria Romantis

"Sama siapa?"

Kenapa pertanyaan itu harus lolos sekarang, sih? Dirinya yang masih berlinang air mata ini jadi bingung harus bereaksi seperti apa. Sebentar ia sedih, sekarang perutnya tergelitik siap memuntahkan tawa besarnya yang tak anggun itu. "Berisik, deh."

"Saya serius, Tar." Bian menarik Tarana agar berhadapan, menjerumus ke dalam kedipan-kedipan tak paham Tarana. "Kamu jatuh cinta sama saya?"

"Ngarang!" sahut Tarana sewot. Bian adalah seseorang yang paling ia hindari jika memilih untuk jatuh cinta. Paling dihindarinya. Mustahil, dan muskil. "Gak ada, ya! Jatuh cinta gak melulu harus berhubungan sama orang! Saya cinta sama pekerjaan saya! Sama barang-barang saya. Kenapa jadi dikaitin sama kamu, sih?!"

Namun agaknya kobaran api yang melalap Tarana itu menyurutkan kecemasan di manik pasang Bian. "Ya udah kalau gitu." Pria itu melemaskan otot-ototnya ke permukaan headboard. Turut serta memaksa Tarana bersandar padanya. "Sini."

"Gak mau, ya!" semprot Tarana sibuk mencecar sana-sini.

"Sstt! Udah! Bisa gak kali ini aja kamu ngalah sama saya? Saya bukannya keberisikan sama penolakan kamu, ya. Saya cuman tiap kali tuh kesel kamunya ngebangkang terus. Saya gak pernah bilang jadi orang yang paling bener, tapi saya posisinya di sini sebagai suami kamu, loh, Tar. Kamu gak mau menghargai saya?"

"Kalau usaha kamu nyentuh saya terus gimana saya bisa kalem!" bentak Tarana berang. Bermula dari candaan, sekarang Tarana kepalang kesal diceramahi. "Sekalian aja kenapa kamu gak-"

Bian tak bisa menunggu lebih dari ini. Kedua paras mereka menempel tanpa jarak. Mengikisnya, serta menyentuh penuh hasrat ke mulut yang mengganggu telinganya.

Juga pandangannya. Dari dulu ia menginginkan ini, baru setelah terkabul setelah paksaan dan desakan. Sungguh, ini di luar kehendaknya dan kendalinya.

Bian juga tidak mau seperti ini. Bagaimana lagi? Dia tidak suka kelanjutan yang kata-kata Tarana. Sangat-sangat tidak suka.

Pangutan tanpa balasan itu disudahi Bian. Lagi-lagi menarik kedua kening mereka bersentuhan kalut. "Jangan ngomong kayak gitu. Saya gak pernah suka."

Desahannya terdengar memberatkan. Menekan dalam-dalam inginnya untuk menghabisi bibir yang membuat kepalanya pusing itu. "Karena setiap kali saya bicara, kamu marah. Gak ada hari tanpa kita berantem. Kalaupun ada, kita bakal diem-dieman."

"Jadi saya pakai cara saya," lanjutnya menyerupai gumaman kecil. "Saya berusaha untuk tanggung jawab, memahami apa yang kamu rasain. Tapi kamu gak pernah kasih izin. Saya juga bingung, Tar."

"I'm not a typical romantic guy, dan kamu sudah tahu itu dari hampir satu bulan kita bareng." Tengkuk Tarana bebas dari penjara yang mengurungnya. Anggap Bian sedang berbaik hati. "Saya gak bisa cengar-cengir, humoris kayak orang lain. Saya posesif, saya tahu karena saya pernah kehilangan."

"Kamu pikir semua itu bisa ngeluluhin saya?"

Bian menggeleng seraya tersenyum tipis. "Bukan meluluhkan. Lebih tepatnya menjelaskan. Kamu orang yang sulit. Sadar, gak?"

Gigi-gigi runcingnya menggigit daging bawah bibirnya. Anehnya, ia sama sekali tidak bisa marah mengenai tindakan lancang Bian. Yang lebih gilanya lagi, jiwa 'dewasa' dari Tarana yang kekanakan ini memberontak liar.

Di telinganya pun lebih terdengar seperti pembujukan. Berhasil pula. Amarah itu lenyap entah ke mana. Tangisnya mereda, berganti rasa malu yang mengalir di pipinya.

"Sini." Bahu Tarana ditariknya lembut ke arah dirinya. Tergambar ketulusan dalam setiap pergerakannya. "Gini, kan, enak."

"Iya, enak di kamu," celetuk Tarana ketus. Tak urung, kepalanya mendapatkan sandaran terbaik bertumpukan dada Bian.

"Kamunya kan juga enak." Selimut diangkatnya tipis-tipis sampai melingkari bahu Tarana. "Kamu sandaran di saya. Bisa jadi saya kram otot besok."

"Terus kenapa mau?"

"Ya karena kamu butuh." Bian memberingsut turun dengan mendekap Tarana. Ia ingin tidur, kelopak matanya sudah memberat. "Udah sikat gigi?"

"Ya udahlah! Kamu kira saya seumuran Nataya?" balas Tarana mendesis galak.

"Galak banget," cibir Bian terkekeh.

Rangkulan Bian lebih mendekatkan Tarana kepadanya. Wewangian shampoo natural Tarana menyeruak untuk dihidunya, seolah memasrahkan diri. Walaupun pemiliknya jauh dari kata memasrahkan diri.

Masih bersiap memasang benteng. Tangannya saja tidak balas memeluk Bian. Bersiaga terlipat di depan dadanya.

Satu kata, Tarana itu menggemaskan. Rasanya Bian jadi punya dua anak kalau begini. "Kotaknya gak usah dipegangin terus, Tar. Taruh di laci aja."

Seringai Bian melebar mendapati Tarana membeku diam. Pasti ia juga tidak menyadari kalau kotak ini sudah berpindah ke laci dalam gerakan ringkas Bian. "Dua kali saya peluk kamu tapi kamu gak pernah bales. Kali ini kamu nangis tapi kamu nolak pelukan saya."

"Emang ada kewajiban buat bales?" tanya Tarana sengaja menyinggung. Berdeham singkat akibat suara paraunya yang mengganggu. "Kan kamu yang mau."

Deru napas Bian menerbangkan helai-helai tipis di depan wajah Tarana. Pipi lembut itu ditangkupnya perlahan. Menikmati bagaimana bola mata Tarana berlarian bingung. "Selalu aja ngejawab saya, ya, Tar? Gak pernah bisa dibilangin."

Dari cara bicaranya yang mendayu, tegas, dan intens, Bian tidak bercanda. Mungkin sudah sampai di titik di mana Bian tidak bisa menolerir setiap ucapannya yang dibantah Tarana. Sebaik apa pun Bian menuruti Tarana, ada masanya Tarana harus timbal balik.

Suara berat membelainya lagi. "Mikir apalagi? Kamu banyak banget mikir hari ini. Selain ulang tahun tadi apa ada masalah?"

Kalau saja Bian bisa membuka kepalanya, mungkin untaian awut-awutan itu mengejutkannya. Semua terasa berembuk menjadi satu sampai tidak bisa dipisahkan ingin menyelesaikan yang mana dulu.

Sudah terlanjur nyemplung. Sudah basah kuyup dan penuh dosa. Apa kakaknya bahagia kalau Tarana begini? Kalau Tarana begitu? Apa Diana menyesal punya adik seperti Tarana? Atau-

Cup!

Kedua kalinya Bian menerjang anggota wajahnya. Sepertinya dia tahu bahwa tidak membutuhkan izin untuk kecupan kali ini. Dia tahu bagaimana membaca Tarana yang tak bergeming beberapa detik belakangan.

Tangis yang mereda itu mengucur lagi. Bersama dengan Tarana yang menyalurkan kekalutannya dan membalas Bian. Mulutnya yang asin mencampuri saliva Bian. Sampai ia tercekat dan tak bisa melanjutkannya lagi.

Bagaimana bisa Bian memperlakukannya begini? Mengoyak isi hatinya yang sudah pecah dan rapuh, bukan merakitnya lagi.

Ini gila. Semua ini tidak masuk akal dan tidak bisa dihentikan.

"Udah, jangan ngelak lagi. Kamu butuh sandaran, saya tahu." Jejak sisa kecupan dalam itu dihapus Bian. Lalu, menambahkan sebuahnya lagi di kernyitan dahi Tarana. "Setiap orang butuh. Kebetulan aja pas kamu lagi stress-stressnya ada saya. Kenapa gak dipakai aja?"

Belum Tarana menjawab, Bian memotong lagi. "Biar saya tebak. Karena kamu gak pernah kelepasan begini?"

"Berisik," gumam Tarana sesegukkan. Menutupi malu yang dirasakannya karena ketahuan. "Harus banget diperjelas?"

Bian merangkum lagi keutuhan anggota wajah Tarana. "Kamu lucu banget kalau salah tingkah, Tar."

Blush!

Bian keterlaluan!