webnovel

Jemput Saya, Bisa?

"Tar, ponsel lo di pantry geter, tuh. Ada yang nelpon."

Bibir Tarana berkedut kesal. Padahal sisa istirahatnya tersisa lima belas menit, adalagi panggilan lain? "Tolong bawain ke sini donk, Lan. Gue lagi seduh teh."

"Bentar." Rallan ngacir ke ujung lain dari pantry, yang sempat ditinggalkan Tarana untuk mengambil bungkusan teh siap seduhnya. Entah apa yang dilihatnya di sana, tapi tungkai Rallan berhenti bergerak.

Dirinya mendongak naik, menatap Tarana horor. "Tar, siapa itu B?"

"Siniin," tutur Tarana tak mau dibantah. Tangannya terjulur memerintah Rallan untuk menyegerakannya. "Cepetan. Nanti keburu mati sambungannya."

"Serius, Tar." Mau tak mau, Rallan menyerahkan ponsel itu meski tak rela. "Lo punya cowok, Tar?"

"Bukan urusan lo," cetus Tarana cepat. Kemudian sigap ia menarik Rallan dengan menunjuk ujung kantung teh itu. "Pegangin. Tehnya jangan sampe hitam terlalu pekat. Terus kalau udah kasih gulanya sedikit aja. Lo tahu lah gue maunya yang semana. Titip dulu, ya."

"Tar. Tarana! Sumpah lo, ya!"

Sia-sia saja. Panggilan itu tidak ditanggapi. Pun, telinganya sudah tersumbat oleh sumber suara lain dari dalam ponselnya. Langkahnya bergerak makin cepat melihat layar ponselnya sudah meredup.

Masalahnya, belakangan Bian sudah tidak pernah merecokinya perkara apa pun. Di rumah seperti biasanya juga. Pria itu damai-damai saja. Hubungan mereka bertiga, dengan Nataya adem ayem, sampai hari ini.

"Halo, Bian?" sapa Tarana berbisik kecil. Was-was memindai sekitarnya agar tak ada yang mendengar. "Bian, kenapa telepon? Kenapa gak dichat aja?"

"Tar?"

Bulu kuduk Tarana meremang. Bukan suara Bian Pramoko yang berat, tegas, dan berwibawa seperti biasanya. Kenapa juga ia harus diliputi oleh kecemasan ini? "Bian? Kenapa?"

"Boleh saya minta kamu ke kantor saya?" Pria itu menaik turunkan napasnya berat. Tampak kesusahan untuk bernapas. "Kalau gak bisa, gak apa-apa. Cuman saya agak kesusahan aja minta sekretaris saya untuk mengambilkan kebutuhan saya. Kurang enak."

"Kenapa gak pulang aja kalau begitu, sih?" desis Tarana ketus. Tak urung ia bergerak kilat ke meja kerjanya lagi. Kertas, pena, nametag, dan apa pun yang ada di atas meja disapunya masuk ke tas. "Saya jemput dulu Nataya di daycare, baru ke kantor kamu."

"Kamu aja gak bisa?" Disusuli batuk dua kali, Bian menambahi lagi. "Saya takut kamu repot nanti."

"Dia anak kamu, ya otomatis jadi anak saya juga. Kamu kalau ngerasa gak enak, lebih baik gak enaknya sama Nataya!" Tarana berseru gondok. "Duluan. Saya nyampe tiga puluh menit lagi. Belum izin sama atasan. Share loc! Jangan lupa!"

Tut!

"Kamu mau pergi, Tarana?"

Benda terakhir nyemplung di dalam tasnya kala suara berat di ambang pintu itu menyinggungnya.

Ah, baru saja ia berkata mau izin, kenapa Pak Agra di sini? "Ehm ..., Pak, saya ada urusan keluarga. Saya boleh izin setengah hari gak, Pak?"

"Terus kerjaan kamu mau dilimpahin ke siapa?" Agra bersedekap angkuh, menunjuk layar monitor yang bahkan belum dimatikan. "Ya sudah, cepat pergi sana. Sampaikan salam saya kepada keluarga kamu itu."

Kenapa pula tiba-tiba Agra muncul di mana pun yang ia mau? Tas bahu itu sudah dirangkul separuh. Tangannya sibuk mengotak-atik mouse, sampai layar monitornya mati. "Untuk sementara yang handle Claire, Pak. Kalau belum selesai, saya lanjut di rumah. Terima kasih sebelumnya, Pak."

Agra menyingkir saat Tarana berjalan melewati dirinya. Masih dengan dekapan tangan besarnya itu, mengintai Tarana sampai menjauh. "Cepat sembuh untuk Bian?"

Apa Tarana salah dengar?

***

Rallan.

[Tarana! Lo bener-bener keterlaluan, deh!]

[Lo suruh gue nyeduh teh, udah gue seduhin. Gue tungguin lima menit, lo kagak dateng-dateng. Pas gue bawain ke meja lo, lo pulang!]

[Terus Pak Agra bilang kalau lo ada urusan keluarga. Ya udah, deh. Untuk kali ini lo selamat. Lain kali jangan lupain gue, awas aja.]

[Eh, B itu keluarga lo?]

"Tante! Udah hijau lampunya!" Tangan kecil Nataya menunjuk-nunjuk lampu lalu lintas yang telah berubah warna itu. Tak lama terdengar suara klakson yang memekak dari belakang kendaraan yang mengantri.

"Oh, maaf." Tarana tergesa memasukkan lagi ponselnya ke dalam tasnya. "Ataya capek gak duduk di motor setiap kali sama Tante?"

"Enggak." Nataya memeluk Tarana lebih erat lagi. Motor Tarana menembus angin cepat, takut dirinya terempas. "Kok Tante jemput Nataya sekarang? Biasanya malem."

"Papa lagi ada masalah, Ataya," sahut Tarana mengencangkan volume suaranya, melawan udara. "Tapi Tante gak tahu masalah apa. Nanti Ataya nurut sama Tante, ya?"

"Iya!" teriak Nataya kencang, walau terdapat kelesuan di dalamnya. "Papa baik-baik aja, kan? Tante?"

Entahlah. Dari suaranya Tarana sendiri tidak yakin.

Bian benar. Kalau Tarana pergi sendiri, ia yakin seratus kilometer per jam pun akan ia jabani. Tapi sekarang ia membawa Nataya, ia takut terjadi apa-apa padanya, juga takut terjadi apa-apa pada Bian.

Bagaimana kalau ia terlambat?

Pendant kado ulang tahunnya diliriknya singkat. Seulas senyum terbentuk meyakini. "Papa bakal baik-baik aja, Ataya."

***

"Hah? Ulang? Mbak siapa?"

"Tarana Manuella," ulang Tarana malas-malasan. "Tolong sambungin ke Gladys. Bilang ada temennya yang mau ketemu dia."

Jangan mengira Tarana bodoh. Datang kemari, mengaku-ngaku sebagai istri dan membawa anaknya tiba-tiba. Bisa-bisa ia diusir oleh satpam karena dikira orang kurang waras. "Saya kehilangan ponsel, jadi gak ada nomor Gladys. Saya buru-buru."

"Tapi ...." Orang front office itu melirik tak mengenakan pada Nataya. "Anak kamu gak bisa dibawa naik. Nanti yang lain terganggu."

"Iya, udah sampein dulu aja," cetus Tarana mendahului. Repot menggendong Nataya, juga mengotak-atik isi ponselnya. Beberapa kali ia menelepon Bian, tak ada tanggapan. Membuat kecemasannya kian menggila. "Tolong sambungin, nanti saya yang bicara."

"Oke." Wanita di balik meja panjang itu menyerah. Mengangkat gagang ponselnya dan langsung terhubung ke mana, bercakap-cakap sebentar, mengulurkannya pada Tarana. "Gladys mau berbicara pada kamu."

Tak menunggu dua kali disuruh, Tarana merebutnya kilat, sampai pegawai itu berdecak sebal, kemudian berkutat lagi di balik monitornya.

Setidaknya tidak dengan kuku berwarna-warninya di buku yang pernah dibaca Tarana. "Halo?"

"Tarana Manuella, ya?" sapanya kalem. "Kalau gak salah ... Ibu Tarana?"

Stop calling me like that! Tarana hampir menyumpah serapah lagi. Sama sekali belum terbiasa dengan panggilan asing menyebalkan itu. "Tarana saja. Kamu ingat saya siapa, kan?"

"Iya, ingat," jawabnya penuh tata krama. "Mau ketemu Pak Bian, ya?"

Ya, kamu pikir saja sendiri!

Tidak, tidak. Tarana pernah menyinggung tentang etika. Tidak mungkin Tarana berlaku menjilat ludahnya sendiri. "Iya. Bisa tolong antar saya ke kantornya? Dia panggil saya untuk ke sini."

"Oke, saya minta karyawan yang di bawah untuk mengantar kamu ke sini, ya, sementara saya harus menjaga Pak Bian-"

"Enggak, enggak," sela Tarana tersenyum miring. "Kamu yang jemput saya aja bisa?"