webnovel

Bangsat Boys

Jeka pemuda badung ketua geng Bangsat Boys tengah mengalami patah hati akut. Pada suatu hari ia bertemu dengan gadis polos bernama Unaya. Kesepakatan yang tak terduga terjadi, terlibatlah mereka dalam sebuah hubungan pacaran kontrak. Hubungan yang mulanya hanya berlandaskan saling menguntungkan tiba-tiba berubah menjadi hubungan rumit dan menyesakkan. Dan disinilah titik balik leader Bangsat Boys bermula.

nyenyee_ · Urbain
Pas assez d’évaluations
69 Chs

Sekardus Mogu-mogu

Mario menatap nanar gundukan didepannya, pemuda itu mengusap batu nisan yang bertuliskan Chaca Anisa dengan mata berkaca-kaca. Mario mengepalkan telapak tangannya erat-erat, pemuda itu berjanji akan membalaskan kematian adiknya empat tahun yang lalu. Kematian Chaca ada hubungannya dengan Jeka, dan karena itulah sampai saat ini Mario sangat membenci pemuda itu. Ingat prinsip Mario? Luka dibalas luka, nyawa dibalas nyawa.

Singkat cerita, dulu Jeka merupakan pemuda yang kerap mematahkan hati-hati wanita. Dan sayangnya Chaca salah satu korban Jeka. Chaca yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu SMP dan baru pertama kali merasakan jatuh cinta, merasa frustrasi saat Jeka meninggalkannya. Gadis itu semakin merasa terpukul saat mengetahui kenyataan jika Jeka tidak pernah tulus mencintainya. Dan pada puncaknya, Chaca memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.

Semenjak saat itu, Jeka berhenti menjadi pemain wanita. Pemuda itu sering merasa bersalah pada Chaca yang memutuskan untuk bunuh diri karena dirinya. Namun secuil egonya mengatakan jika semua itu bukan murni kesalahannya, toh waktu itu mereka masih SMP dan perasaan suka masih mudah berpindah. Jeka memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu, namun tidak untuk Mario.

"Dek, kamu lihatin aja. Kakak bakal balas orang yang udah nyakitin kamu. Kamu percaya kan sama Kakak?". Kata Mario dengan lirih sembari mengecup batu nisan Chaca.

--Bangsat Boys--

"Ma, Jeni mana sih? Kok daritadi gak keluar kamar?". Tanya Unaya pada Mama tirinya; Irene. Irene menatap kearah pintu kamar Jeni yang terletak di lantai atas. Sejak pulang dari tempat bimbel, Jeni memang terlihat aneh. Gadis itu langsung masuk kedalam kamar dan mendadak jadi pendiam. Irene ingin bertanya tapi wanita itu takut membuat Jeni tambah badmood.

"Kayaknya Jeni lagi ada masalah. Dia jadi pendiem, Mama kok khawatir ya Na? Coba deh kamu tengokin". Kata Irene sambil mengusap pundak Unaya.

"Oh iya Ma, eummm Papa pulang dari luar kota kapan?". Tanya Unaya sebelum melihat keadaan Jeni seperti perintah Mama-nya.

"Kayaknya tiga bulan lagi deh, proyek Papa agak lama kali ini". Sahut Irene sambil mengaduk masakannya.

"Bagus deh". Gumam Unaya. Setidaknya waktu tiga bulan cukup untuk membalaskan dendam Jeka ke-Helena. Unaya tahu Papa-nya pasti tidak akan mengijinkan ia bergaul dengan Jeka. Selain itu ada hal yang lebih penting, Unaya tidak mau terbawa perasaan. Mumpung hati Unaya masih labil dan belum sepenuhnya terjatuh dalam pesona Jeka, gadis itu memutuskan untuk menyelesaikan kontrak pacaran pura-pura itu secepat mungkin.

"Ya udah deh Ma, Una ke kamar Jeni dulu ya". Unaya bergegas naik kelantai atas untuk melihat keadaan Jeni. Gadis itu mengetuk pintu kamar Jeni beberapa kali namun tidak ada sahutan dari sana. Unaya terlihat gusar, gadis itu akhirnya membuka pintu kamar Jeni yang ternyata tidak dikunci.

"Dek?". Panggil Unaya dengan lembut. Terlihat Jeni yang tengah tidur memunggungi pintu dengan bahu bergetar.

"Dek, kamu gak apa-apa?". Tanya Unaya sekali lagi. Terdengar isakan kecil dari mulut Jeni, gadis itu berbalik dan langsung memeluk Kakak-nya erat-erat.

"Kak... hiks...hiks...". Unaya panik saat Jeni menangis terisak-isak dipelukannya. Gadis itu mengusap punggung adiknya beberapa kali untuk menenangkan.

"Dek? Kamu kenapa? Bilang sama Kakak? Ada yang jahatin kamu?". Tanya Unaya dengan lembut. Jeni mengurai pelukannya dan menatap Unaya lamat-lamat.

"Kak, aku ketemu Mama". Hati Unaya rasanya seperti dihantam batu besar saat Jeni menyebut satu kata yaitu; Mama. Rasa rindu dan kecewa bercampur jadi satu, mama kandungnya pergi tanpa alasan yang jelas. Wanita itu memilih untuk meninggalkan keluarga kecilnya dulu karena mengaku tidak bahagia.

"Dimana?". Tanya Unaya dengan suara bergetar. Mata gadis itu berkaca-kaca, hatinya terasa sesak. Mama pergi dua tahun yang lalu, terakhir mereka mendengar kabar Mama sudah menikah lagi satu tahun kemudian. Dan setelahnya mereka sama sekali tidak mendengar kabar apapun.

"Ditempat bimbel, jemput anak tirinya". Unaya mengulas senyum miris. Sudah jelas Mama melupakan mereka karena telah memiliki keluarga baru. Ada sorot keinginan dimata Jeni untuk bisa kembali bertemu Mama-nya, tapi tidak untuk Unaya. Gadis itu cukup tahu diri jika Mama-nya tidak ingin bertemu dengannya lagi.

"Lupain hari ini Dek. Anggap kamu gak pernah ketemu Mama". Kata Unaya kemudian.

"Tapi Kak, aku pingin ketemu Mama lagi. Kita cari Mama yuk Kak". Sahut Jeni sambil menarik-narik tangan Unaya. Unaya menangis terisak-isak dan tidak bergerak dari tempatnya.

"Stop Dek! Mama udah lupa sama kita! Mama udah punya kehidupan baru, kita juga sama. Jangan pernah kasih tahu Papa kalau kamu ketemu Mama. Keluarga kita udah lengkap karena kehadiran Mama Irene". Putus Unaya kemudian dan keluar dari kamar Jeni. Jeni diam saja, gadis itu menatap pintu kamarnya yang baru saja ditutup oleh Unaya. Meski Unaya mengatakan jika ia harus melupakan hari ini, tapi Jeni tidak akan pernah melakukannya.

--Bangsat Boys--

Sekuat-kuatnya Unaya dihadapan Jeni, toh akhirnya gadis itu menangis juga. Unaya luruh dilantai kamarnya sembari mengingat kenangan saat keluarga-nya masih utuh. Tak dipungkiri gadis itu sangat ingin bertemu dengan Mama-nya, tapi rasa kecewa yang hanya sebiji jagung ini menutup hati-nya. Unaya takut merasakan cemburu saat melihat Mama-nya memberikan kasih sayang pada orang lain. Gadis itu ingin egois, kasih sayang Mama hanya untuk dirinya Papa, dan Jeni saja.

Ding... ding... Cha... Cha... Cha...🎶

Unaya mengusap air matanya, ada telepon dan gadis itu tidak tahu dari siapa. Unaya berjalan dengan gontai kearah nakas kemudian melihat siapa yang menelefon dirinya saat sedang mellow begini.

"Private number?". Gumam Unaya dengan dahi berkerut. Masih jaman gitu ya penelfon private number? Karena takut jika panggilan itu penting, Unaya-pun mengangkatnya.

"Halo?". Sapa Unaya namun tidak ada sahutan.

".....".

"Halo? Ini siapa ya?". Tanya Unaya sekali lagi.

".....". Unaya mengumpat dalam hati. Fix Unaya bodoh karena mengangkat panggilan dari orang iseng.

"Maaf jangan ganggu orang yang lagi galau". Ujar Unaya kemudian mematikan sambungan telepon.

Pip!

Unaya langsung melempar ponselnya keatas ranjang dan berbaring disana. Kok jadi bete gara-gara mendengar cerita Jeni tadi?

"Ajak Ririn jalan aja kali ya?". Gumam Unaya. Sepertinya gadis itu memang membutuhkan udara segar untuk mengusir penat. Baru juga hendak mencari kontak Ririn, eh si private number telepon lagi. Dengan sebal gadis itu mengangkat-nya.

"Apaan lagi sih kalo....".

"Galau kenapa?". Potong orang diseberang sana tiba-tiba. Unaya mengerutkan keningnya, suaranya familiar.

"Siapa ya? Kenal sama saya?". Tanya Unaya lagi. Meski ada satu nama dipikirannya, tapi Unaya belum yakin.

"Galau kenapa?". Tanya si private number yang justru tidak menjawab pertanyaan Unaya.

"Apaan sih! Udah deh gak usah bikin saya tambah badmood! Saya matiin nih!". Ancam Unaya dengan galak.

"Eh jangan, ini gue...".

"Kekasih kamyuuuuu... hahaha". Sahut suara lain diseberang sana, disusul tawa menggelegar. Unaya tersenyum kecil, si private number leader Bangsat Boys ternyata.

"Bacot!". Umpat Jeka galak membuat tawa antek-anteknya pudar. Unaya masih diam-diam tersenyum dan menunggu Jeka bicara.

"Halo? Galau kenapa?". Tanya Jeka lagi.

"Kenapa telepon-nya harus pakai private number? Gue udah tahu nomor telepon loe kali". Kata Unaya mengabaikan pertanyaan Jeka sebelumnya.

"Nomor itu udah gak aktif, gosong karena lupa isi pulsa. Loe kenapa galau?". Jeka masih saja kepo, Unaya menghembuskan nafas malas sebelum menjawab.

"Kepo deh kayak Dora".

Pip!

Unaya memutuskan untuk mengakhiri panggilan dari Jeka dan memilih untuk tidur saja, mendadak tidak mood mengajak Ririn jalan. Lagian terlalu berlebihan jika ia menceritakan masalah pribadinya pada Jeka kan? Toh mereka hanya pacaran kontrak.

--Bangsat Boys--

Malam-nya sekitar pukul delapan malam, Jeni yang sedang belajar terganggu dengan suara bel yang terus-terusan berbunyi. Gadis itu akhirnya turun kelantai bawah untuk melihat siapakah gerangan yang datang kerumahnya. Jeni sempat berjengit kaget begitu membuka pintu.

Beberapa pemuda yang berpenampilan sangar berdiri di depan pintu rumahnya sambil membawa sekardus Mogu-mogu.

"Ca-cari siapa ya?". Tanya Jeni tergagap, gadis itu sempat khawatir jika sekumpulan pemuda di depan rumahnya ini rampok.

"Unaya-nya ada?". Tanya Jeka dengan senyum tipis. Jeni mengedipkan matanya beberapa kali, anjir ganteng banget. Begitu batin Jeni.

"Bentar ya Kak, aku panggilan Kak Una-nya dulu". Jeni hendak ngacir untuk memanggil Unaya, namun suara Jeka menginterupsinya.

"Maaf...?". Tanya Jeka menggantung karena tidak tahu nama Jeni.

"Jeni Kak". Sahut Jeni.

"Jeni, ini Mogu-mogu nya mau ditaruh mana?". Tanya Jeka. Jeni melirik sekardus Mogu-mogu yang dibawa salah satu antek-antek Jeka. Ya ampun baik banget sih sampai dibawain Mogu-mogu pas lagi galau, sekardus pula.

"Oh? Taruh aja disitu Kak". Kata Jeni sambil menunjuk sofa ruang tamu. Jeka memerintah salah satu antek-anteknya untuk membawa masuk sekardus Mogu-mogu itu. Sementara itu Jeni buru-buru naik kelantai atas untuk memanggil Kakak-nya. Gadis itu sayup-sayup mendengar bisikan antek-antek Jeka;

"Anjir, cakep banget adiknya". Heol, Jeni memutar bola matanya malas.

Sejak ditelepon Jeka sore tadi, Unaya masih belum bangun dari tidurnya. Kebiasaan memang kalau sudah bertemu kasur, Unaya pasti kebo.

"Kak! Bangun Kak!". Kata Jeni sambil menggoyangkan tubuh Unaya agar cepat bangun. Unaya hanya bergumam kemudian semakin mengeratkan selimutnya.

"Kak! Itu ada cowok bawain Kakak Mogu-mogu sekardus!". Mendengar kata Mogu-mogu, mata Unaya langsung terbuka lebar.

"Mogu-mogu sekardus?". Unaya langsung terbangun dan menyibak selimutnya asal. Bodo amat muka beler habis bangun tidur, sekardus Mogu-mogu mengingatkan-nya akan janji seseorang. Unaya berlari secepat kilat turun kelantai bawah, pintu rumah terbuka dan gadis itu melihat seseorang disana.

"Jeka?". Panggil Unaya pelan. Bukan hanya Jeka saja yang menoleh, tapi antek-antek pemuda itu juga.

"Udah keluar Bu Bos, kita cabut". Pamit Jimi diikuti yang lain. Mereka sempat melambai kearah Unaya dan dibalas senyum kecil oleh gadis itu.

"Ngapain kesini gak bilang-bilang dulu?". Protes Unaya sambil merapikan rambutnya. Jeka secara reflek membantu gadis itu merapikan rambutnya, agak risih melihat rambut seorang gadis yang acak-acakan.

"Nepatin janji". Sahut Jeka pendek dan duduk dikursi yang ada diteras rumah Unaya. Unaya ikut duduk disana, jarak mereka terpisahkan oleh meja kecil ditengah.

"Perasaan loe baru janjiin tadi siang, harus banget langsung ditepatin?". Jeka menarik sebelah alisnya acuh, pemuda itu hendak menyulut rokok namun Unaya buru-buru mencegahnya.

"No smoking area!". Kata Unaya.

"Oh? Oke?". Sahut Jeka lalu memasukkan rokoknya lagi ke dalam saku jaketnya. Pemuda itu menatap mata Unaya yang terlihat sembab, hidung gadis itu juga masih terlihat merah.

"Habis nangis?". Tanya Jeka. Unaya mengucek matanya dan pura-pura cuek.

"Gak tuh! Sok tahu wleee". Ledek gadis itu sambil menjulurkan lidahnya membuat Jeka terkekeh kecil.

"Tahu lah. Mata sembab, hidung merah, suara bindheng, terus tadi loe bilang lagi galau". Kata Jeka sembari mengamati ekspresi wajah Unaya yang berubah sendu.

"Cuma sedih dikit aja".

"Kenapa?". Jeka menunggu jawaban Unaya. Bela-belain bawa sekardus Mogu-mogu kalau bukan buat nyenengin Unaya, ngapain lagi coba. Tapi Jeka masih menyangkal jika ia memiliki rasa pada Unaya, tidak mungkin secepat itu.

"Biasa masalah keluarga". Sahut Unaya sambil tersenyum tipis. Jeka mengangguk paham, tidak berniat memaksa Unaya untuk menceritakan masalahnya. Toh Jeka ingat jika ia harus memiliki batasan.

"Diminum Mogu-mogu nya, jangan sedih terus". Kata Jeka dengan nada cuek seperti biasanya. Unaya tersenyum lembut, meski cuek tapi gadis itu tahu kalau Jeka sebenarnya peduli.

"Gak usah senyum!". Kata Jeka tiba-tiba sambil menatap kearah lain.

"Kenapa?".

"Senyum loe gak bagus!". Unaya langsung memasang wajah datar.

"Hih!".

--Bangsat Boys--