webnovel

Bangsat Boys

Jeka pemuda badung ketua geng Bangsat Boys tengah mengalami patah hati akut. Pada suatu hari ia bertemu dengan gadis polos bernama Unaya. Kesepakatan yang tak terduga terjadi, terlibatlah mereka dalam sebuah hubungan pacaran kontrak. Hubungan yang mulanya hanya berlandaskan saling menguntungkan tiba-tiba berubah menjadi hubungan rumit dan menyesakkan. Dan disinilah titik balik leader Bangsat Boys bermula.

nyenyee_ · Urbain
Pas assez d’évaluations
69 Chs

Berubah

Unaya terlihat bingung karena tak menemukan wujud Ririn begitu ia keluar dari ruang rawat Jeka. Sementara itu Jimi langsung saja menarik tangan Yeri dan membawanya menjauh dari yang lain tanpa mengatakan apapun. Yeri tentu saja berontak, gadis itu tidak mengerti kenapa Jimi jadi sedikit kasar padanya. Belum lagi pemuda itu nampak menahan marah, namun Yeri tidak tahu apa masalahnya.

"Lepas Bang! Sakit! Kasar banget sih!". Yeri menyentak tangan Jimi. Keduanya saling melempar tatapan tajam.

"Loe masih nyoba buat deketin Mario? Gimana progres-nya?". Tanya Jimi tiba-tiba. Jelas saja Yeri bingung mendengar pertanyaan Jimi. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa pemuda itu mendadak membahas Mario?

"Loe narik gue kesini cuma buat nanyain itu doang?...". Yeri tersenyum remeh kemudian kembali menatap Jimi dengan tajam.

"Gak penting banget!". Lanjutnya sembari melengos pergi.

"Menurut gue ini penting! Jawab aja kenapa sih?!". Desis Jimi. Tangan pemuda itu mencengkeram lengan Yeri kuat hingga gadis itu dibuat ketakutan.

"Loe kenapa sih Bang? Kenapa gue harus jawab! Penting banget gitu buat loe tahu!". Teriak Yeri. Jimi berdecak, gadis didepannya ini terlalu bertele-tele. Jimi sekuat tenaga menahan emosinya.

"Jawab aja kenapa sih Yer! Ini ada hubungannya sama keadaan Abang loe!". Bentak Jimi. Hati Yeri mencelos seketika, mendadak gadis itu takut mengakui jika ia dan Mario sudah resmi berpacaran beberapa hari yang lalu.

"Engggg... gu-gue udah jadian Bang sama dia". Lirih Yeri sambil menundukkan kepalanya. Jimi sontak saja membulatkan matanya, pemuda itu kaget bukan main begitu mendengar jawaban Yeri.

"Jadian?! Udah sakit jiwa loe! Loe tahu kan kalau Mario itu rival-nya Abang loe?! Tapi loe malah... Akh! Loe tuh nambah masalah aja tahu gak?!". Omel Jimi sambil menjambak rambutnya kuat-kuat. Apa jadinya kalau Jeka tahu adiknya menjalin hubungan dengan rival-nya sendiri? Belum lagi kalau sampai Mario tahu jika Yeri adalah adik Jeka, nasib gadis itu tak akan jauh beda dengan nasib Unaya.

"Ya jangan salahin gue dong Bang! Salahin aja cinta yang gak bisa milih tempatnya buat berlabuh! Lagian Kak Mario baik kok! Gak seperti apa yang loe bilang!". Bela Yeri. Jimi tertawa sinis, tahu apa bocah satu ini tentang Mario? Yeri hanya mengetahui secuil tentang perangai Mario.

"Halah gak usah sok puitis loe?! Mikir yang realistis aja! Loe tahu apa soal Mario eh?! Kalau sampai Mario tahu loe itu adiknya Jeka, nasib loe bakalan sama kayak Unaya tahu gak?!". Desis Jimi yang sudah jengkel sekali.

"Ma-maksud Bang Jimi apa?! Emang Kak Unaya kenapa?!". Tanya Yeri bertubi-tubi. Gadis itu sungguh penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia mulai berfikir jika Mario ada hubungannya dengan keadaan Jeka dan Unaya saat ini.

"Dengerin gue ngomong baik-baik! Cowok loe jebak Jeka dengan cara nyulik Unaya. Unaya dijadiin umpan buat ngejatuhin Jeka, dan cowok loe berhasil Yer. Gue yakin seratus persen kalau Mario tahu loe adik-nya Jeka, mungkin loe yang bakal dijadiin umpan. Saran gue ati-ati Yer, mumpung belum telat mending loe pikirin lagi. Yakin loe masih mau bertahan sama cowok sakit jiwa kayak dia? Dan juga tolong sampaiin ucapan selamat gue buat cowok loe, selamat udah berhasil bikin temen gue hampir mati dengan cara cupu". Kata Jimi panjang lebar dan setelahnya ia menepuk-nepuk pundak Yeri, pemuda itu melangkahkan kakinya hendak pergi namun kembali menengok kebelakang menatap Yeri yang mendadak mematung.

"Ah ada yang ketinggalan. Coba deh loe tanya, apa dia udah putus sama cewek yang namanya Helena sebelum jadian sama loe?". Lanjut Jimi sebelum kembali melangkahkan kakinya. Yeri terdiam, gadis itu masih mencerna perkataan Jimi barusan. Jadi Jeka dan Unaya terluka gara-gara Mario kekasihnya? Yeri sama sekali tidak menyangka jika Mario memiliki sisi lain yang begitu menyeramkan. Bagaimana ini? Ia sudah terlanjur mencintai pemuda itu.

++

"Tan, Tante gak apa-apa kan?". Tanya Ririn dengan panik. Sejak satu jam yang lalu Ririn menunggu Sonia sadar disebuah ruangan. Ririn tidak berani memberitahukan pada yang lain jika Sonia pingsan di toilet, alhasil dengan bantuan suster yang lewat gadis itu membawa Sonia untuk diperiksa oleh dokter. Syukurlah Sonia sudah sadar saat ini.

"Ririn kamu benar, saya harus memberitahukan semuanya pada mereka. Jangan sampai terlambat!". Pekik Sonia yang memaksakan diri untuk bangkit, wanita itu menyentuh kepalanya yang terasa sakit.

"Tante tenang, saat ini Tante masih sakit". Kata Ririn sembari membantu Sonia turun dari ranjang.

"Tante minta tolong jangan kamu beritahukan pada Unaya dulu, biar Tante yang katakan sendiri. Ya?". Mohon Sonia sembari menggenggam tangan Ririn. Ririn merasa iba, tanpa pikir panjang gadis itu mengangguk dan memapah Sonia untuk kembali ke ruang rawat Jeka. Keduanya berhenti melangkah saat melihat sosok Unaya yang tengah mengobrol dengan antek-antek Jeka.

"Tante akan memberi tahu Jeka lebih dulu. Tolong kamu bawa Unaya pergi ya". Ririn mengangguk dan langsung berjalan mendekati Unaya. Sementara itu Sonia mengintip dari balik tembok sambil meneteskan air matanya. Maaf kali ini Sonia harus kembali menyakiti Unaya. Mungkin semuanya akan berbeda setelah kedua anaknya mengetahui fakta yang sebenarnya.

"Ririn, loe kemana aja sih?! Gue udah nunggu lama banget lagi". Omel Unaya yang hanya dibalas cengiran Ririn. Gadis itu menatap Unaya dengan iba, kasihan sekali sahabatnya. Kebahagiaan-nya dulu terenggut karena perceraian orangtuanya, dan sekarang kebahagiaan-nya akan kembali terenggut. Jeka; sumber kebahagiaan Unaya saat ini justru berbalik akan menjadi sumber kesedihannya.

"Sorry gue tadi habis poop hehe. Ya udah yuk balik, udah malam". Sahut Ririn sembari menggandeng tangan Unaya, ingin cepat-cepat membawa gadis itu pergi dari rumah sakit.

"Gue anterin". Kata Victor yang langsung bangkit dari duduknya.

"Gak usah, kan gue bawa motor!". Tolak Ririn.

"Udah jam sepuluh gini cewek keliaran dijalan bisa dibegal bego. Kalau terjadi apa-apa sama Bu Bos, gue juga yang bakalan kena semprot. Udah yuk, gue ikutin motor loe dari belakang". Victor berlalu begitu saja. Mau tak mau Ririn dan Unaya mengangguk patuh, mereka-pun pulang setelah berpamitan dengan yang lain.

--Bangsat Boys--

Sonia masuk ke dalam ruangan Jeka dengan canggung, wanita itu tidak tahu bagaimana cara memberitahukan fakta tentang Unaya pada Jeka. Sedari awal hubungannya dengan Jeka sudah buruk, setelah ini dipastikan akan semakin memburuk. Namun semua harus segera diluruskan, harus segera diungkap. Sonia sedikit merasa heran saat melihat suaminya berdiri kaku di samping ranjang Jeka. Belum lagi Jeka yang justru tidur membelakangi lelaki itu.

"Pa, bisa tolong tinggalkan kami berdua? Ada yang mau aku bicarakan pada Jeka". Kata Sonia lembut. Jeka yang tadinya sudah memejamkan mata mendadak membuka matanya begitu Sonia menyebut namanya. Pablo menatap Sonia dengan tatapan tidak yakin, agak khawatir meninggalkan istrinya berdua dengan Jeka mengingat hubungan mereka tidak baik.

"Kamu yakin mau bicara sama dia? Dia nanti pasti...".

"Gak apa-apa Pa. Aku cuma mau ngobrol bentar". Bujuk Sonia sembari mengusap lengan suaminya. Pablo akhirnya luluh juga, lelaki itu mengalah dan keluar dari ruang rawat. Selepasnya, Sonia menatap punggung Jeka dengan ragu. Ia menghembuskan nafas berat, meski sulit sekali mengatakannya namun Jeka berhak tahu siapa Unaya sebenarnya.

"Jeka, boleh saya bicara sebentar sama kamu? Tentang mendiang Mama kamu dan Unaya". Ujar Sonia lirih. Mendengar dua nama wanita yang sangat ia sayangi, Jeka langsung membalikkan tubuhnya hingga menghadap sepenuhnya kearah Sonia. Jeka melihat mata Sonia sudah berkaca-kaca, pemuda itu sungguh penasaran dengan apa yang hendak dikatakan ibu tirinya itu.

"Mama? Unaya? Maksud kamu?". Tanya Jeka sembari menatap Sonia lekat-lekat. Wanita itu mendekat kearah Jeka dan duduk dibangku yang terletak persis di sebelah ranjang.

"Saya ingin mengurai kesalahpahaman diantara kita selama ini, kamu selalu menganggap saya pelakor...". Ujar Sonia dengan suara tercekat, Jeka diam tak berkomentar apapun. Pemuda itu menunggu Sonia melanjutkan perkataan-nya.

"Saya sudah bersahabat dengan Ayu sejak lama, kami bahkan tak sungkan saling membagikan kesedihan masing-masing. Hingga pada akhirnya kami dipertemukan dalam keadaan yang sama-sama sulit. Ayu sakit keras dan saya yang memang membutuhkan uang saat itu, hingga akhirnya kesepakatan itu terjadi...". Ada jeda pada ucapannya, Sonia terisak hingga membuat Jeka iba. Namun pemuda itu menahan diri sekuat mungkin agar tidak bersikap baik pada wanita didepannya ini.

"Kesepakatan apa?". Tanya Jeka. Sonia menghapus air matanya kemudian menatap Jeka lekat.

"Saya menjadi ibu sambung bagi kamu dan Yeri, sementara Ayu memberi saya uang untuk menghidupi keluarga yang saya tinggalkan". Jeka membulatkan matanya tak percaya, ternyata semuanya hanya demi uang? Jeka semakin tidak menyukai Sonia.

"Apa kamu tahu jika kamu sama saja telah menjual diri ke-Papa saya? Apa Papa saya tahu soal ini?". Desis Jeka dengan tangan terkepal kuat. Jeka tahu Papa-nya sangat mencintai Sonia, dan fakta jika Sonia menikah dengan Papa-nya karena uang sukses membuatnya merasa sakit.

"Ya, Papa kamu tahu Jeka. Kami bertiga telah menyepakati ini. Tapi sumpah demi Tuhan saya sangat menyayangi kamu dan Yeri, saya telah menganggap kalian seperti anak kandung saya". Ujar Sonia sembari terisak. Wanita itu hendak meraih tangan Jeka namun langsung ditepis begitu saja, Jeka menatap Sonia dengan rahang mengeras.

"Lalu siapa keluarga yang telah kamu tinggalkan? Siapa orang-orang yang makan dengan uang Papa saya?!". Desis Jeka. Ini dia pertanyaan yang telah Sonia tunggu sedari tadi, sudah saatnya benang kusut terurai. Dengan mantap wanita itu menjawab;

"Unaya dan Jeni adalah anak kandung saya".

Jderrrrrrrr!!!

Tubuh Jeka menegang seketika, lidahnya kelu dan syaraf ditubuhnya seakan tak berfungsi. Ia rasanya ingin menjadi tuli saja ketimbang mendengar perkataan Sonia barusan. Dengan mata berkaca-kaca Jeka menatap Sonia dengan tatapan sendu, berbeda sekali dengan tadi yang hanya menampakkan sorot tajam.

"A-apa kamu bilang? Unaya anak kandung kamu?". Tanya Jeka terbata-bata, menahan sesak yang teramat sangat didalam dada-nya. Sonia mengangguk dengan wajah basahnya, Jeka tersenyum miris, setetes air mata jatuh begitu saja dipipinya.

"Maaf jika saya mengatakan ini, tapi kamu memang harus tahu. Dan saya juga akan memberitahukan pada Unaya".

"Jangan!". Kata Jeka tegas, pemuda itu menarik nafas dalam mencoba menguatkan hati. Bohong jika ia tidak sedih mendengar fakta jika Unaya adalah saudara tirinya, namun ini bukan mimpi! Ini benar-benar nyata, kenyataan yang begitu menyakitkan. Bayangkan ia sudah secinta ini dengan Unaya namun kenyataan menampar dirinya.

"Saya gak mau dia tambah sakit setelah tahu jika saya adalah saudara tirinya. Biar dia fokus dengan pengobatannya. Setelah dia sembuh, saya yang akan memberitahukannya secara langsung". Lanjut Jeka kemudian kembali berbaring membelakangi Sonia.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?". Tanya Sonia sembari menatap Jeka dengan tatapan miris. Ia tahu semua ini pasti berat untuk pemuda itu, namun mau sampai kapan semuanya disembunyikan? Selama ini Sonia tidak bisa tidur dengan tenang hanya karena masalah ini, setidaknya bebannya sudah terangkat satu.

"Menjauhinya tentu saja". Ujar Jeka. Meski terdengar lantang, namun Sonia bisa melihat bahu pemuda itu bergetar. Ya Jeka menangis, ia sedih sekaligus malu. Mungkin jika Unaya tahu selama ini ia sering besikap tidak baik pada Mama-nya, gadis itu akan sangat marah padanya. Atau malah membencinya, sepertinya ia lebih cocok dibenci Unaya ketimbang dicintai setelah apa yang ia lakukan pada Sonia selama ini.

++

Unaya terus saja menggerutu selama dalam perjalanan menuju rumah sakit pagi ini. Ditemani Ririn naik motor, gadis itu menepati janjinya menjenguk Jeka sebelum berangkat ke sekolah. Semalam Unaya mengirim beberapa pesan pada Jeka namun sama sekali tidak dibalas.

"Gak usah rewel deh Na. Mungkin Jeka udah tidur makannya gak balas chat loe". Sahut Ririn yang telinganya sudah sakit lantaran mendengar teriakan Unaya sedari tadi.

"Kalau udah tidur kok chat-nya centang biru? Terus pas gue chat lagi berubah jadi centang satu sampai sekarang. Gue di block Rin, huhu gak tahu kenapa". Rengek Unaya. Gadis itu bingung sekali dengan sikap Jeka, tak biasanya pemuda itu mengabaikan pesan-nya. Justru jika Unaya tidak membalas pesan Jeka, pemuda itu akan uring-uringan dan berakhir spam.

"Ya udah nanti tanya langsung aja sama orangnya". Sahut Ririn asal. Gadis itu berfikir Jeka sudah mengetahui jika Unaya adalah saudara tirinya hingga berniat menjauh.

Sesampainya dirumah sakit, Unaya langsung berlari menuju ruang rawat Jeka sembari membawa kotak bekal. Gadis itu memasak untuk Jeka, ia ingin Jeka mencicipi masakannya. Di depan ruang rawat sudah ada antek-antek Jeka yang berjaga disana, setelah menyapa mereka, Unaya langsung masuk ke dalam ruang rawat.

"Jeka?". Panggil Unaya dengan ceria. Jeka yang tadinya tengah bermain games di ponsel menatap Unaya sekilas kemudian kembali cuek, lebih tepatnya berpura-pura cuek. Unaya mendekat kearah Jeka dan tak menghiraukan sikap cuek pemuda itu padanya.

"Kok semalam gak balas chat aku? Aku di-block ya?". Rengek Unaya dengan manja seperti biasanya. Jeka memejamkan matanya rapat-rapat, ia menahan diri sekuat mungkin untuk tidak memeluk gadis yang berada disampingnya saat ini meskipun ia ingin.

"Males aja!". Sahut Jeka dingin. Unaya menatap Jeka tak percaya, apa pemuda yang ada didepannya saat ini adalah Jeka?

"Males? Maksud kamu apa? Kenapa males? Kamu marah sama aku?". Tanya Unaya dengan suara tercekat. Tahu kan kalau Jeka benci sekali melihat Unaya menangis? Dan karena itulah ia merasa marah begitu saja, pemuda itu menatap Unaya dengan garang.

"Gue bilang males, ya males! Budek loe?!". Desis Jeka kasar. Jeka merutuki dirinya yang telah bicara sekasar itu pada Unaya, sungguh demi apapun ini semua demi kebaikan gadis itu. Air mata Unaya menganak sungai, ia tidak menyangka kalau Jeka akan bersikap sekasar ini padanya. Apa salahnya? Kenapa Jeka berubah? Apa gara-gara terluka parah syaraf Jeka terganggu? Unaya masih mencoba berfikir positif, gadis itu menghapus air matanya sebelum berujar;

"Ah, kamu pasti cuma lagi pusing aja makannya ngomong gitu. Nih aku bawain makanan, aku yang masak sendiri loh". Unaya memaksakan senyumnya hingga Jeka dibuat iba. Pemuda itu menatap Unaya yang tengah menyiapkan makanan untuknya.

"Please Na, jangan bikin gue berubah pikiran. Loe harus benci sama gue, gue udah bikin Mama loe nangis berkali-kali. Loe gak seharusnya perlakuin gue kayak gini". Batin Jeka dengan mata berkaca-kaca namun buru-buru menyembunyikannya, jangan sampai Unaya melihatnya lemah.

"Aaaa... aku suapin". Kata Unaya dengan suara tercekat, memberanikan diri mengulurkan sesendok nasi kearah Jeka. Jeka menatap Unaya datar, datar sekali sampai-sampai membuat hati gadis itu mencelos seketika.

"Gue gak laper!". Tolak Jeka sembari membuang muka.

"Dikit aja Jek, aku cuma mau dengar pendapat kamu soal masakan aku". Pinta Unaya dengan kepala tertunduk pilu.

"Emang siapa yang nyuruh loe masak buat gue? Gak ada!". Sahut Jeka acuh. Unaya mengusap air matanya mencoba kuat, pasti Jeka hanya sedang banyak pikiran makannya jadi seperti itu. Ya Unaya yakin kok, Jeka-nya tidak mungkin kasar seperti ini padanya.

"Aku yang mau masak buat kamu, dikit aja aaaaaa...".

Treeeeenngggg....

Jeka menepis sendok yang diulurkan Unaya sekaligus kotak bekal yang dibawa gadis itu hingga jatuh berserakan dilantai. Suara gaduh dari dalam ruang rawat membuat antek-antek Jeka masuk kedalam ruangan, mengecek apa yang sedang terjadi.

"Loe tuh berisik banget ya! Udah gue bilang gak mau ya gak usah maksa! Kotor kan!". Bentak Jeka yang membuat semuanya menganga tak percaya. Sejak kapan Jeka si Bos bucin seberani itu membentak kekasihnya? Apalagi sampai dibuat menangis terisak-isak, itu bukan Jeka sama sekali. Bahkan Jimi bisa melihat sorot menyesal dari mata Jeka.

"Ma-maaf...". Cicit Unaya dengan tubuh gemetar.

"Jeka loe keterlaluan banget sih?! Kalau gak mau kan bisa ngomong baik-baik! Kasihan Una ketakutan". Kata Ririn sembari merangkul Unaya dan menenangkan gadis itu.

"Pergi sana! Gue mau sendiri!". Usir Jeka terang-terangan.

"Pergi Unaya, pergi sebelum aku memelukmu erat sampai gak mau lepas". Batin Jeka meronta.

"Tanpa loe suruh kita juga bakal pergi. Udah yuk Na, dia itu cowok lemah". Sindir Ririn. Bagi Ririn, Jeka itu cowok lemah. Hanya karena tahu Unaya adalah saudara tirinya, pemuda itu menyerah begitu saja. Katanya cinta, cuma segitu doang perjuangan-nya Jek?

Dan setelah Unaya pergi, tangis Jeka pecah seketika. Tanpa keduanya sadari, mereka sama-sama menangis dijam yang sama dan didetik yang sama. Sesakit inikah mencintai seseorang, menjadi bucin memang berakhir seperti ini. Berakhir hancur jika sang cinta pergi.

"Gue tahu bukan kemauan loe bersikap kayak gitu Bos". Kata Jimi sembari menepuk-nepuk pundak Jeka.

"Gue udah bikin dia nangis, gimana ini Jim? Apa gue bakal dihukum Tuhan karena bikin nangis bidadari-nya?". Tanya Jeka sembari mengusap wajahnya dengan kasar.

"Dia... dia saudara tiri gue Jim. Itu sebabnya gue gak bisa mencintai dia lagi". Lanjut Jeka yang membuat semuanya semakin terdiam. Diam, hingga hanya suara isak pilu Jeka yang terdengar.

--Bangsat Boys--