webnovel

Piknik Ala Evans

Tak langsung pulang, Evans membawa Luna ke suatu tempat di mana dia sangat dekat dengan tempat itu.

"Kita akan ke mana?"

"Kamu sedang tidak baik-baik saja, kan?"

"Iya, lalu?"

Evans tersenyum tipis, dia sangat fokus ke depan. Jalan yang Evans pilih sungguh tak Luna ketahui, ya. Dia merasa tak pernah melintasi jalanan itu.

"Aku akan ajak kamu ke tempat, di mana kamu akan menemukan yang namanya ketenangan," ungkap Evans mantap penuh rasa percaya diri.

Tentu saja, dia tahu Luna pasti akan suka tempat itu.

"Di mana itu?"

"Kamu akan tau."

"Tapi, Dokter. Tidak perlu seperti ini, aku tidak mau, Dokter. Terlalu lama meninggalkan rumah sakit karena aku, pasti banyak pasien yang menunggu, Dokter," tolak Luna secara halus.

Dia ingin menolak, namun. Tak mau juga menyinggung perasaan Evans yang sudah memiliki niat sebaik ini pada dirinya.

"Kamu juga pasienku kalau kamu lupa," cakap Evans lugas.

Luna tersenyum manis, dia menepuk jidatnya.

"Ah, benar. Aku hampir lupa, aku bahkan sembuh dengan cepat karena yang menangani aku adalah dokter hebat ini," puji Luna sembari menepuk lengan Evans lembut.

Evans tertawa renyah, pujian seperti ini sudah sering dia dengar.

"Jujur saja, aku sudah banyak mendengar pujian. Tapi, yang satu ini membuat aku sedikit tersanjung," gurau Evans mencairkan suasana.

Menimbulkan gelak tawa Luna, bahkan baru kali ini Evans mendengar tawa renyah dari wanita yang tersakiti itu.

"Hahaha kalau begitu besok-besok aku akan membuat, Dokter. Merasa sangat banyak tersanjung, tidak hanya sedikit. Ingat, ya...."

"Hmmm, baiklah. Aku tunggu itu."

Beberapa saat di perjalanan, Evans berhenti sejenak ketika melihat ada sebuah pasar. Tapi, tidak terlalu ramai.

"Eh, mau ke mana, Dok?" tanya Luna cepat sebelum Evans benar-benar turun.

"Tunggu sebentar, ya. Aku lupa tidak membawa barang-barangnya, aku akan beli dulu."

Luna hampir menarik Evans dan memberikan protes atas ketidakjelasan Evans dalam bicara membuat Luna tak paham.

Evans mengangkat tangannya, menunjukkan ke lima jadinya. Begitu ke dua kakinya sudah turun ke jalan yang mulai berbatu Evans menoleh lagi dan berkata.

"Sebentar saja!"

Dengan itu Evans langsung meninggalkan Luna, dia mendekati penjual buah. Terlihat jelas dari tempatnya sekarang sebab buahnya digantung begitu saja.

"Apa yang dia lakukan sebenarnya?" gumam Luna masih saja penasaran.

Tak lama, Evans berpindah ke penjual lain. Luna menggeleng melihat jika Evans membeli sebuah kain.

"Semakin kupikirkan semakin tidak jelas saja."

Dan, pada akhirnya Luna memutuskan untuk menyandarkan tubuh ke sandaran kursi mobil dengan rileks.

Matanya lurus menatap ke dalam, jalanan di depan tampak semakin asing. Namun, tak apa.

Mata Luna menangkap sosok Evans yang melintasi depan mobil dengan menentang bawaanya yang ada di ke dua tangannya dengan keresek hitam.

"Tadaaaa!" katanya ceria mengangkat tinggi semua belanjaan.

Respon Luna tak seperti yang Evans harapkan, Luna malah mengerutkan wajahnya sebab masih tak paham. Dia menaikkan ke dua alisnya seakan menanyakan apa sebenarnya maksud dari itu semua.

"Ck, respon kamu tidak asik," cibir Evans.

Dia lantas masuk, meletakkan belanjaannya di jok belakang.

"Dokter berharap responku seperti apa?"

"Sudahlah tidak jadi," cerocos Evans bersama mobilnya yang kembali dia jalankan.

"Dok, apa perjalanannya masih jauh?"

Luna mulai bosan sebenarnya hanya duduk dan memandangi jalan yang kini sudah mulai dipenuhi oleh pepohonan di sisi kiri dan kanan mereka.

Bahkan kendaraan tak terlalu banyak di jalan ini.

"Sekitar tiga puluh menit lagi, kenapa?"

"Aku mengantuk," adunya sekenanya.

"Baiklah, tidur saja. Nanti akan aku bangunkan jika sudah sampai."

Luna mengangguk mantap, memang itu yang ia harapkan. Matanya terpejam, dan hanya hitungan menit wanita itu sudah lelap.

Diam-diam Evans mencuri pandang pada Luna, kepala wanita itu terus bergoyang-goyang ke kiri dan kanan seirama dengan guncangan dari mobil sebab jalanan dipenuhi batu Padas.

Terpaku pada wajah cantik pasiennya, Evans tak begitu memperhatikan jalan. Hingga mobilnya melintasi sebuah lobang yang lumayan besar.

Membuat mobil semakin terguncang, dalam satu waktu yang bersamaan kepala Luna jadi terdorong ke samping.

Tanpa basa-basi, Evans mendekatkan tangannya ke pipi Luna. Membuat tangannya sebagai tumpuan agar kepala Luna tak jatuh.

"Hufff, hampir saja," keluhnya agak lega.

Lega bukan karena goncangan yang sudah berlalu, Evans lega sebab kepala Luna tak jadi jatuh.

"Wah, tidurnya nyenyak sekali. Dia bahkan tidak bangun," cakap Evans merasa tak habis pikir.

Saat dia terkejut dengan yang tadi, Luna malah begitu lelap seperti tidur di kasur yang begitu empuk tak membuat dirinya terpengaruh hanya karena goncangan.

Alhasil Evans menyetir dengan satu tangan, dia hanya tak tega mendorong kepala Luna agar kembali bersandar pada head rest.

***

Suara deburan ombak dan kicauan burung menyambut gendang telinga Luna, kala dia mengintip dengan sebelah mata ke depan yang pertama dirinya lihat adalah sebuah pantai yang terbentang indah lengkap dengan pasir putihnya.

Ia pikir dirinya sedang bermimpi, Luna refleks duduk dengan tegak. Mengucek matanya beberapa kali takut keliru karena baru bangun.

Namun, pantai dan pasir putihnya masih utuh. Karena masih belum percaya, wanita itu melihat ke kursi kemudi.

Kosong, orang yang dirinya cari tak di sana. Luna panik.

"Astaga ke mana dokter Evans, apa dia meninggalku di sini?"

Tak mau membuang waktu lebih lama, wanita itu turun dari mobil. Melihat sekitar dengan wajahnya yang polos, layaknya orang tersesat Luna bingung ada di mana dirinya sekarang.

"Tidak ada orang, apa aku benar-benar ditinggalkan?"

"Hanya orang bodoh yang akan meninggalkan wanita selembut kamu," sela suara yang begitu Luna kenal.

Secepat kilat Luna menoleh ke sumber suara, dan tepat di bawah pohon kelapa tak jauh dari mobil Evans.

Pria tampan dengan dua kancing kemeja atas dibuka, berbaring di atas kain merah dengan kacamata hitam, menjadikan ke dua lengannya sebagai bantalan.

Seketika Luna membatu melihat pria itu, ini adalah sosok baru yang keluar dari diri seorang pria yang beberapa hari ini selalu membantunya.

"Dok––dokter?"

"Hmmm, ke marilah!"

Evans menepuk-nepuk kain yang lega, sepertinya tempat itu memang segaja kosong untuk Luna.

Luna mendekat, matanya tak berkedip meski angin pantai membuat rambutnya bergoyang.

Sampai di sana, Luna duduk. Evans merubah posisinya menjadi duduk bersila, dia menatap Luna dari balik kacamatanya.

"Ada apa?" tanya Evans.

"Dokter, keren dengan kacamata," pujinya refleks.

Tawa Evans terdengar, membuat Luna ikut tersenyum.

"Kamu benar-benar tidak membuat saya sedikit tersanjung, ini hampir membuat saya terbayang ke angkasa, luar biasa. Kamu membuktikan ucapanmu" guraunya lagi.

Luna menggeleng menanggapi hal itu.

"Selera humor, Dokter. Tidak terlalu buruk ternyata."

"Tentu saja, tidak semua dokter bersikap kaku. Oh, iya. Bagaimana apa kamu suka pantai ini?" tanya Evans langsung, ini adalah tempat yang dirinya maksud.

"Lebih dari suka, Dok. Tempat ini jauh dari ekspetasiku," tutur Luna membuat Evans ikut senang.

"Syukurlah, aku lega jika kamu suka."

"Apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya Luna, dia menekuk lututnya melihat lurus ke depan dengan mata menyipit sebab angin meniup di wajahnya.

"Piknik, kamu tidak lihat sudah duduk di atas kain merah dengan buah dan soda?"

Ke duanya tertawa mendengar penuturan Evans yang sebenarnya tidak terlalu lucu, hanya saja mereka merasa konyol baru saja tadi malam menghanguskan pabrik besar sorenya malah piknik seperti tak terjadi apa-apa.

***