webnovel

Cara Evans Menghilangkan Jejak Ekal

Evans memajukan tubuhnya ke dekat Luna, walau mereka tersekat oleh meja. Entah mengapa Luna malah refleks memundurkan kepalanya.

"Apa maksud, Dokter?"

"Kita sekarang adalah partner dalam membalas dendam kamu, bukan?" tanya Evans serius.

Luna mengangguk dua kali dengan pikiran yang masih blank tak paham akan ke mana arah pembicaraan ini.

"Ini masih tentang suamimu, dia meninggalkan jejaknya di mana?"

Alih-alih menjelaskan apa maksud ucapannya yang membuat Luna bingung, Evans malah semakin bicara tak jelas menambah kebingungan Luna.

Namun, dengan polosnya wanita itu malah menunjuk pipi kirinya di mana Evans mengecupnya.

Pipi itu masih merah karena Luna menggosoknya terlalu keras, Evans mengulurkan tangannya. Tanpa permisi dia mengusap pipi Luna yang memerah.

Alhasil tak hanya pipi kiri yang memerah, kanan pun ikut memerah seperti kepiting rebus. Dengan matanya yang membesar.

"Saya akan hilangkan jejaknya atas izin kamu," katanya, masih selalu menunggu persetujuan dari Luna.

Evans hanya tak ingin membuat Luna merasa tak nyaman dengan dirinya, tidak ada respon dari wanita itu. Dia sibuk termenung dengan usapan tipis dari telapak hangat Evans.

Senyum tipis pria itu seakan menjanjikan banyak hal pada Luna.

"Luna, saya masih menunggu jawaban kamu," tegur Evans sebab tangannya sudah mulai pegal terus seperti itu.

Sementara Luna malah asik memandangi wajah tampan Evans tanpa berkedip.

Tanpa pikir panjang dan karena masih terkejut atas teguran itu Luna malah mengangguk polos.

Melihat itu Evans bangkit, dia mendekati Luna. Luna mengerjap beberapa kali melihat Evans semakin mendekat hanya membuat dirinya bodoh terus memikirkan apa agaknya yang akan pria itu lakukan.

Sampai di samping Luna, Evans sedikit membungkuk menyamakan tingginya dengan Luna. Kepala Luna mendongak, wajah ke duanya begitu dekat. Semuanya terjadi begitu cepat, kala Evans mengecup tepat di tempat Ekal meninggalkan jejaknya.

Mata Luna mendelik, seakan ingin keluar dari tempatnya. Lidahnya keluh untuk mengatakan sesuatu, dia tahu ini tidaklah benar. Namun, sulit untuk marah.

Respon Luna membuat Evans mengulum senyumnya, pria itu berdehem sekali. Sedikit menggulung kemeja putihnya sampai ke siku, lantas dia kembali duduk di tempatnya.

Luna sendiri sepertinya sangat terkejut, hingga wanita itu masih mendongak dengan posisi yang sama.

"Luna?" panggilnya lembut.

Hanya dengan satu panggilan itu saja, berhasil membuat Luna tersadar dari lamunannya.

Wanita itu tampak salah tingkah, dia melirik sana dan sini dengan pipi merona. Tangannya mengusap pipi kiri dengan bergetar.

"Ap––apa yang, Dokter. Lakukan?" tanyanya masih belum mengerti maksud Evans.

Pria itu tak menjawab, sebab pelayan restoran sudah datang ke meja mereka dan memberikan buku menu.

"Ingin pesan apa, Bu, Pak?"

Evans mengalihkan pembicaraan dengan mengambil buku menu, dia melihat apa agaknya yang ingin dia santap. Namun, pikirannya tak fokus karena ulahnya barusan.

Dia mengintip Luna yang masih menatap dirinya dengan penuh harap, Evans menggeleng kecil melihat tingkah Luna yang menurutnya sangat lucu.

Selang beberapa saat, Evans dan Luna sudah memesan. Evans masih diam, dia berusaha untuk tidak tersenyum dan melihat tingkah Luna.

"Dokter, pertanyaan saya belum dijawab, loh!" ungkap Luna masih sangat ingin tahu.

Evans membuang napas panjang, dia harus bersikap biasa saja.

"Apa?"

"Apa yang, Dokter. Lakukan tadi?" ulang Luna dengan sabar.

Evans melirik sekitar sekejap, lantas menatap Luna lagi.

"Menghapus jejak pria brengsek itu."

"Dengan cara itu?" tanya Luna menunjuk pipinya yang masih terasa panas.

Evans mengangguk dua kali.

"Lagi pula saya melakukannya atas izin kamu, apa saya salah?" tanya Evans balik dengan entangnya, ke dua alisnya terangkat menatap Luna.

"Ck, benar juga."

Luna memutar bola matanya saat sadar dia juga sudah memberikan izin tadi, bodoh sekali dirinya menanyakan hal demikian.

***

Setelah menyantap makanan, ke duanya meninggalkan restoran. Namun, Luna masih belum mengatakan apa tujuannya mengajak Evans bertemu.

Bahkan saat sudah di dalam mobil, wanita itu masih diam saja.

Evans tak bisa menjalankan mobilnya, sebab Luna pasti tak ingin ia antarakan pulang. Mereka tidak akan memancing spekulasi buruk orang lain jika terlihat bersama.

"Ngomong-ngomong, kamu belum katakan apa tujuan mengajak saja bertemu," ungkap Evans pada akhirnya.

Terdengar helaan napas dari Luna, wanita itu menunduk. Dan, mengangkat kepalanya secara bergantian seperti gelisah.

Evans dengan sabar menantikan jawaban Luna.

"Bagaimana saya mengatakannya, Dokter...."

"Ah, tunggu dulu. Belum lama kamu meminta saya untuk tidak formal, tapi. Kenapa kamu masih formal dengan saya?"

"Tapi, Dokter juga masih formal dengan bicara menggunakan bahasa 'saya-kamu' saya pikir saya akan mengikuti saja," cakap Luna cepat.

Evans tersenyum simpul, benar saja.

"Baiklah, aku tidak akan formal lagi," putus Evans mantap.

Luna mengangguk mantap.

"Oke, kalau begitu kita bisa bicara dengan santai."

"Ya, katakan!"

"Kemarin malam, Ekal bermalam di tempat wanita jalang itu. Dan, setelah pulang dia mengatakan ada perjalanan bisnis selama satu Minggu."

Luna mulai membuka pembicaraan tentang tujuannya mengajak Evans bertemu.

"Lalu? Kamu tidak percaya kalau itu hanya perjalanan bisnis?" tebaknya tepat sasaran kala menatap manik Luna yang kentara sekali tengah gelisah.

Wanita itu mengangguk singkat.

"Tidak sulit bagiku untuk mencari tau ini, dia sedang melakukan perjalanan bisnis atau tidak."

Perkataan itu terdengar sangat yakin, ya. Evans memiliki kuasa untuk mencari tahu segalanya dengan mudah, dirinya cukup pintar untuk membaca situasi.

"Aku tau, Dokter. Pasti bisa, tapi. Untuk sekarang bukan itu yang ingin aku ketahui."

"Lantas apa?"

Luna mengangkat pandangannya jauh ke depan, seakan melihat masa depannya yang masih abu-abu.

"Entahlah, Dok. Aku menghubungi, Dokter. Hanya disaat aku kembali merasakan sakit di dadaku, maaf. Sepertinya aku sudah membuang waktu, Dokter."

Luna jujur, dia menghubungi Evans hanya karena kecewa beberapa waktu lalu ketika tahu Ekal menghabiskan waktunya dengan Sania.

Wajah Luna menjelaskan segalanya, wanita itu tampak lelah dengan ini semua.

"Tidak, kamu tidak membuang waktuku. Aku memang sedang senggang, aku juga senang kalau kamu langsung mencariku di saat kamu terluka lagi. Walau tidak yakin, aku harap dengan bicara denganku rasa sakitmu bisa sedikit berkurang," harap Evans dengan nada penuh keseriusan.

"Terima kasih, Dokter. Jika, tidak mengenal, Dokter. Tidak tau bagaimana jadinya aku."

"Lagi pula, kenapa kamu mau menunda ini semakin lama? Bukannya kamu sudah membakar habis bisnis wanita itu, jika sudah tidak tahan. Mintalah berpisah dari suamimu," usul Evans mantap.

Luna membuang muka, dia menggeleng pelan. Perasaannya mendadak bergemuruh membayangkan akan berpisah dari Ekal.

"Dokter, aku memang marah dan kecewa karena sikapnya Ekal. Aku yakin aku membencinya, tapi. Untuk sekarang, sungguh aku belum bisa melepaskannya. Memikirkan kami akan hidup masing-masing saja rasanya membuat aku hampir gila. Mungkin karena aku terlalu bergantung padanya selama ini."

Evans paham, dia tahu jika seorang istri pasti akan bergantung pada sosok suami.

"Kalau begitu, mulai sekarang bergantunglah padaku. Dengan begitu tidak akan terlalu sakit jika kamu ingin melepaskan suamimu."

***