webnovel

Part 1.16

Siska berlari setelah mendaratkan sebuah tamparan di wajah Davine, hatinya hancur sehancur-hancurnya. Pemutusan secara sepihak oleh Davine benar-benar tak pernah ter-bayangkan olehnya. Siska adalah wanita yang sangat menghargai sebuah ikatan, menjalin hubungan bukan hal sembarang yang mau di lakukan nya sehingga ketika ia mencintai seseorang maka ia akan benar-benar mencintai orang itu sepenuh hati.

Hujan turun secara tiba-tiba, seakan ikut merasakan kesedihan yang di alami oleh Siska, ia tak peduli dengan semua itu, ia terus berjalan di tengah rintik hujan seakan-akan ia tidak merasakan dinginnya sama sekali.

Terdengar ketukan pada pintu rumah Siska, Hanna membukanya, ia terkejut mendapati Siska yang berdiri mematung dengan keadaan basah kuyup di sana. Basah hujan di wajahnya menutupi air mata yang sedari tadi terus mengalir di pipinya, Hanna tahu jika sesuatu telah terjadi pada adik sepupunya itu.

Dengan sigap Hanna segera berlari untuk mengambil dua helai handuk, Hanna menyelimutinya ke tubuh Siska, dan yang satunya lagi digunakannya untuk mengeringkan kepala adik sepupunya yang telah basah kuyup itu.

"Keringkan badanmu, aku akan membuatkan secangkir cokelat hangat untukmu!" Hanna menarik masuk Siska menuju kamar mandi, meninggalkannya dan bergegas menuju dapur untuk membuatkan secangkir cokelat hangat.

Hanna masih belum menanyakan perihal apa yang terjadi pada Siska saat itu.

Sekembali dari dapur, lengkap dengan secangkir cokelat hangatnya, Hanna mendapati Siska yang masih belum melakukan apa-apa, Siska hanya duduk termenung di samping bathtub masih dengan tubuhnya yang setengah basah. Hanna yang melihat hal itu mau tidak mau sedikit membentak Siska.

"Apa yang kau lakukan, cepat keringkan badanmu sekarang!" bentak Hanna.

Dengan sedikit bentakan itu akhirnya Siska mau menuruti perkataan Hanna, dan segera mengeringkan tubuhnya. Setelah selesai mengganti bajunya yang basah kini Siska meminum coklat hangat yang Hanna buat.

"Baiklah, ceritakan padaku sekarang!" desak Hanna.

Siska tidak menjawabnya, ia hanya terus meminum coklat hangat yang ada di tangannya.

"Siska, apa kau mendengarkan?" Hanna menaikkan nada suaranya.

"Davine ... ." jawab Siska terputus.

"Davine? apa dia menyakitimu?" tanya Hanna, ia terlihat marah kali ini.

"Ia memutuskanku!" jawab Siska lirih.

Sejenak Hanna terdiam, ia tidak tahu harus marah atau senang karena hal itu. Di satu sisi ia merasa lega jika akhirnya Siska tidak lagi berhubungan dengan Davine, namun di sisi lain ia sangat marah karena melihat kondisi Siska saat ini, sedang Siska masih belum bisa sepenuhnya menghentikan tangisnya.

Hanna sebisa mungkin mencoba menenangkan adik sepupunya itu, ia membawa Siska ke kamarnya dan menyuruhnya untuk beristirahat, Siska hanya bisa menuruti perintah Hanna.

Hanna di buat penasaran dengan keputusan yang di ambil Davine, mengapa ia memutuskan Siska secara sepihak, apa Davine tipe orang yang akan semarah itu hanya karena Siska melupakan hari ulang tahunya, atau ada hal lain yang membuatnya harus melakukan itu, atau mungkin juga hanya karena Davine sudah merasa bosan saja. Hanna benar-benar dibuat tidak mengerti dengan jalan pikiran Davine.

******

Davine yang baru saja menerima tamparan dari Siska terdiam membatu, rasa sakit di pipinya tidak begitu terasa, namun rasa sakit itu lebih mengarah ke hatinya. Sadar tidak sadar kini ia tahu jika saat ini ia telah benar-benar mencintai wanita itu. Semua waktu yang telah diberikan Siska padanya perlahan mengubah rasa di hatinya, namun sialnya ia harus melepaskan perasaannya itu disaat ia mulai menyadarinya.

Dokter apotek yang merawat Davine memberikan beberapa suplemen dan vitamin guna meningkatkan daya tahan tubuh Davine, sang Dokter mengatakan jika tidak ada masalah yang serius pada tubuh Davine, ia hanya kelelahan saja, faktor cuaca juga menjadi salah satu penyebab ia jatuh pingsan kala itu.

"Kau harus sedikit berolah raga!" ujar sang Dokter.

"Baiklah Dok, saya rasa saya memang kurang berolahraga!" jawab Davine.

Setelah membayar biaya perawatannya sendiri dan memastikan kondisinya sudah lebih baik Davine pun meninggalkan apotek tersebut.

Banyak hal yang menjadi pikirannya saat ini. Kondisi aneh yang dialaminya jelas bukan sekedar halusinasi semata, ia masih mengingat apa yang terjadi padanya sebelum pingsan yang di alaminya barusan. Itu ibarat membuka dua jendela sekaligus saat sedang berselancar di internet, ibarat melihat kedua arah yang berbeda sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja otaknya tidak mampu menangani hal tersebut, menyebabkan perasaan sakit yang tidak tertahankan di kepalanya. Otak manusia tidak mampu bekerja dengan cara seperti itu, pikirnya.

Sesampainya di apartemen Davine dengan segera menghempaskan tubuhnya lelah di atas kasur. Kejadian hari ini sangat menguras tenaganya, tentu batinnya juga. Pikirannya melayang jauh pada Siska. Perlahan matanya mulai berat, tidak butuh waktu lama hingga akhirnya Davine benar-benar tertidur.

******

Sebuah pesan masuk lewat smartphone Hanna. Itu pesan dari Sersan Hendrik.

"Hanna, bisakah kita bertemu!" tulis Hendrik pada pesannya.

"Tentu saja, ada apa Kak,?" balas Hanna pada pesannya.

"Aku sudah menerima sedikit informasi mengenai Davine!" balas Hendrik.

"Aku akan menunggumu di Kafe tempat kita bertemu sebelumnya!" perintah Hendrik pada pesannya.

"Baiklah, aku segera ke sana!" balas Hanna.

Hanna mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu kamar, mengantongi dompetnya yang sebelumnya diletakkannya di atas meja, dan dengan segera meninggalkan tempat itu.

Langkahnya terhenti di depan kamar Siska. Pintu kamar itu sedikit terbuka, Hanna mengintip sedikit melewati celah pintu itu, terlihat Siska sedang tertidur di kasurnya. Melihat selimut yang sedikit tersibak tanpa pikir panjang Hanna masuk dam segera membenarkannya. Sampai saat ini Hanna selalu menyayangi adik sepupunya itu, ia bahkan tidak pernah menganggap jika Siska telah dewasa. Di mata Hanna Siska tetaplah selalu menjadi adik kecilnya.

Di kafe, Sersan Hendrik segera menjelaskan informasi yang didapatnya dari tim intelegensi yang ditugaskannya. Diketahui saat ini Davine tinggal di sebuah apartemen yang terletak sedikit di tengah bagian barat kota. Ia tinggal di sana seorang diri, sedang orang tua angkatnya saat ini tinggal di luar kota. Davine berada di tahun ketiga kuliahnya, sampai saat ini masih tidak di ketahui pasti siapa orang tua kandungnya. Davine berkuliah di Universitas yang terdapat di sekitar barat daya kota tersebut, kampus itu tidak jauh, namun tidak dekat juga dengan tempat tinggalnya saat ini.

"Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda pergerakan yang mencurigakan darinya, ia sama halnya dengan anak-anak kuliah pada umumnya!" terang Hendrik.

"Menurut pemantauan, ia hanya sering terlihat menyendiri dan tidak begitu bergaul dengan teman-teman di kampusnya," tambah Hendrik.

"Apa kalian mendapat fotonya?" tanya Hanna.

"Tentu saja." Hendrik merogoh saku jaket yang digunakannya dan melemparkan beberapa lembar foto Davine di atas meja, tepat di hadapan Hanna.

Foto itu diambil dari beberapa angle yang berbeda. Hanna mengamati foto tersebut, ia menyadari sesuatu. Ia pernah bertemu pria itu sebelumnya di suatu tempat. Hanya perlu sedikit berusaha, ia tahu Davine adalah pria yang ditemuinya di taman saat ia melakukan janji bersama Bella kemarin, Hanna sangat yakin akan hal itu.