webnovel

Part 1.15

Hanna menyambut kedatangan Bella dengan senyumnya, wanita itu terlihat berbeda, ia tampak cantik hari itu

"Hay, apa kau sudah lama menunggu?" sapa Bella.

"Tidak juga," jawab Hanna yang masih terpaku, ia baru menyadari betapa menariknya Bella.

"Lalu apa yang membuatmu ingin bertemu?" tanya Bella, ia duduk di sebelah Hanna, ia bahkan terlalu dekat.

"Ya, aku hanya butuh teman untuk sedikit berbicara!" jawab Hanna, ia membenarkan posisi duduknya. Ia sedikit canggung berada terlalu dekat dengan wanita itu.

"Jika tidak keberatan, mungkin kita bisa berbincang sedikit di sana!" Hanna menunjuk sebuah kafe yang berada di seberang taman tempat mereka berada.

"Baiklah, mengapa tidak!" jawab Bella santai.

Tak butuh waktu lama mereka pun sampai di kafe tersebut, memilih meja yang berada di pojok kiri di kafe itu dan duduk berhadapan.

"Coffee?" tawar Hanna.

"Tentu saja, rasanya aku butuh sedikit asupan caffeine!" jawab Bella, ia tersenyum manis pada Hanna.

Seketika Hanna salah tingkah dan segera membuang pandangannya.

"Baiklah jika begitu 2 cangkir coffee dan kentang goreng?" tanya Hanna memastikan.

"Pilihan bagus!" Bella mengacungkan jempolnya pada Hanna, membuat suasana lebih mencair.

Hanna mulai menjelaskan perihal Davine pada Bella, ia menjelaskan jika Davine adalah anak yang mendorong Annie hingga membuatnya tertabrak mobil sewaktu kecil.

"Aku menaruh curiga padanya!" tukas Hanna.

"Setahuku sejak kejadian itu Annie sudah tidak pernah berhubungan dengannya lagi, seperti yang kukatakan padamu sebelumnya!" sanggah Bella.

"Mungkin itu benar, tapi kau harus mendengar penjelasan yang satu ini!" Hanna memasang wajah serius.

"Entah ini kebetulan atau tidak, Siska yang merupakan adik sepupuku adalah kekasih dari Davine," jelas Hanna.

"Lalu?" sela Bella, kini ia terlihat sangat tertarik dan penasaran dengan pernyataan Hanna.

"Sebelumnya aku pernah berbincang mengenai Davine dengannya, ia menceritakan jika Davine adalah sahabat dari Annie. Hal ini bertolak belakang dengan keterangan dari pihak kepolisian yang aku terima, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menyelidikinya lebih lanjut mengenai hal itu, itulah mengapa aku menemui mu dan Ibu dari Annie waktu itu!" jelas Hanna.

"Aku berani bersumpah jika Annie benar-benar tidak pernah berhubungan dengan orang itu lagi semenjak kejadian yang menimpanya waktu itu!" timpal Bella.

"Dan aku juga bisa memastikan jika hanya akulah sahabat Annie satu-satunya!" tambahnya lagi.

"Aku mempercayaimu, karena Siska sendiri tidak pernah dikenalkan atau dipertemukan dengan Annie sama sekali oleh Davine, ia hanya bercerita pada Siska jika Annie adalah sahabatnya sedari kecil!"

"Jelas saja itu hal yang sangat aneh!" tukas Hanna.

"Sangat tidak masuk akal, jika Annie benar bersahabat dengan Davine, namun kenyataannya mengapa orang terdekat mereka tidak pernah melihat mereka bersama?" tambahnya lagi.

"Dan dalam kasus ini ada 3 orang yang menjadi tumpuan untuk membuktikan jika pengakuan Davine itu tidak benar, yaitu Kau, Siska, dan Ibu dari Annie!" tukas Hanna lagi.

"Dan itu sudah cukup untuk memastikan jika pengakuan Davine yang dilontarkannya pada Siska adalah sebuah kebohongan!" tegas Hanna.

"Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Bella, ia terlihat resah.

"Sayangnya aku tidak punya bukti apa pun untuk menyimpulkan jika Davine berkaitan dengan kematian Annie, yang pasti saat ini aku menaruh perhatian lebih padanya!" timpal Hanna.

"Entah mengapa intuisi dan instingku mengarah padanya, bisa jadi Davine adalah orang yang sangat berbahaya!"

"Dan yang membebani pikiranku saat ini adalah Siska, aku takut terjadi sesuatu padanya jika ia terus bersama Davine. Namun di satu sisi aku juga tidak bisa mengutarakan kecurigaan yang kurasakan padanya tanpa adanya bukti yang valid!" keluh Hanna.

"Ya, aku mengerti posisimu!" sahut Bella, ia mengelus pelan tangan Hanna, sebelum akhirnya menggenggamnya.

Hanna sedikit terkejut oleh perlakuan Bella saat itu, entah mengapa jantungnya seketika berdetak dengan sangat cepat, namun di sisi lain ia merasakan perasaan yang sangat hangat dari wanita itu, hingga akhirnya ia memberanikan diri membalas genggaman tangan Bella yang terasa sangat lembut di sela-sela jemarinya.

******

Di perjalanan pulang Davine mulai merasakan sakit di kepalanya, rasa sakit itu awalnya sangat samar namun lama-kelamaan rasa sakitnya terus meningkat. Beberapa kali Davine harus berhenti untuk sekedar mempertahankan kesadarannya, ia tidak ingat pasti sejak kapan rasa sakit itu mulai sering menghampirinya.

Tepat di depan toko roti tua ia merasa tidak sanggup lagi, ia tahu sebentar lagi ia pasti akan kembali pingsan. Jarak menuju apartemennya masih sekitar 100 meter lagi, namun dengan kondisinya sekarang, itu bisa terasa bagai berkilo-kilo meter jauhnya.

Antara sadar dan tidak, sesaat Davine merasa melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda, penglihatan itu samar, namun ia yakin jika ia sedang melihat dirinya sendiri yang sedang bersandar pada sebuah tembok tepat di depan toko roti tua dari arah yang berbeda.

Kali ini rasa sakit itu datang dengan sangat hebat menghujam kepalanya, itu terasa seperti di pukul terus menerus dengan benda tumpul. Saking kuatnya rasa sakit itu dengan tidak sadar Davine berteriak keras, membuat orang-orang yang kebetulan lewat memperhatikannya.

Pandangannya semakin lama semakin terasa memudar, namun samar ia kembali merasa melihat dirinya sendiri dari sudut pandang yang berbeda, bahkan dirinya sendiri pun sulit mempercayai hal itu. Ia bersumpah pada dirinya sendiri jika saat itu ia sedang melihat dirinya sendiri yang sedang menahan sakit dari arah yang berlawanan, sedang di satu sisi ia juga melihat seseorang menatapnya dari arah sudut pandangnya sendiri, dengan kata lain saat ini Davine sedang melihat dari dua sudut pandang yang berbeda dalam waktu yang bersamaan.

Kerumunan warga kini telah melingkari Davine yang saat ini telah tidak sadarkan diri tersungkur di jalanan tepat di depan toko roti tua itu, beberapa warga terlihat bingung dengan apa yang terjadi, hingga salah seorang warga berinisiatif untuk membawa Davine ke sebuah klinik yang untungnya terletak tidak jauh dari tempat itu.

Beberapa warga yang menyetujui hal itu segera bekerja sama untuk membopong Davine yang telah pingsan, mereka khawatir jika terjadi sesuatu yang serius pada anak itu.

Setelah mendapatkan perawatan dari Dokter yang bekerja di sana akhirnya Davine mulai kembali tersadar dari pingsannya. Ia terlihat masih bingung dengan apa yang telah terjadi padanya, hingga sebuah suara yang sangat tidak asing menyadarkannya.

"Davine apa yang terjadi padamu, apa kau baik-baik saja?" tanya Siska yang saat itu telah berada di samping Davine, wanita itu terlihat sangat khawatir.

"Siska, mengapa kau berada di sini?" tanya Davine.

"Dan di mana aku sekarang?" tanyanya lagi.

"Para warga mendapatimu pingsan tepat di depan sebuah toko yang tidak jauh dari sini, kebetulan saat itu aku sedang menelepon mu, salah satu dari warga yang membawamu kesini segera menjawab panggilan di smartphone yang berada di kantong celana jeans yang sedang kau kenakan, mengangkatnya dan memberitahukan keadaanmu padaku," jelas Siska.

"Ia juga menitipkan smartphon mu padaku dan meminta maaf karena telah lancang, ia tidak punya pilihan lain ujarnya!" tambah Siska.

"Mengapa kau tak pernah sekalipun menjawab telepon dariku, kau benar-benar mengabaikanku!" mata Siska mulai berkaca-kaca. Ia merasakan kecewa sekaligus sedih atas apa yang Davine lakukan dan yang menimpanya.

"Kau tidak boleh seperti ini padaku Davine, aku memikirkan mu setiap waktu!" tuturnya dengan air mata yang kini tanpa sadar telah mengalir pelan di pipinya.

"Maaf... ."

"Aku benar-benar minta maaf!" jawab Davine, ia segera memeluk kekasihnya itu, melepaskan rindu yang telah di pendamnya selama ini.

"Aku hanya... ." Davine tidak dapat menjelaskannya, kata-katanya terhenti.

"Apa, kau harus jelaskan padaku, aku tahu kau tidak mungkin semarah ini hanya karena aku yang tanpa sengaja melupakan hari ulang tahunmu!" desak Siska.

Davine melepaskan pelukannya pada Siska, ia mengusap lembut wajah wanita itu, sebelum akhirnya memalingkan wajahnya dari pandangan Siska.

"Aku tidak bisa bersamamu!" ujar Davine lirih.

"Apa maksudmu, aku tidak salah mendengarnya?" tanya Siska yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Davine.

"Aku kan sudah bilang, aku tidak bisa bersamamu!" tegas Davine sedikit membentak.

"Davine apa maksud perkataan mu ini?" tanya Siska sekali lagi, masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Aku ingin kita putus!" jawab Davine dengan sangat tegas, walaupun hatinya berkata lain, namun ia yakin selama Siska tidak bersamanya, maka hal buruk tidak akan menimpa kekasihnya itu. Setidaknya itulah yang ada dipikiran Davine saat ini.