-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Kau merasa tertekan?" Aurora berseru ketika keduanya pergi keluar.
"Apa?"
Rafael tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan. Laki-laki itu hanya melirik sekilas. Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan standar, membelah jalanan yang sedikit mendung.
Setelah perbincangan tadi, Rafael dan Aurora meminta izin untuk berkencan. Tidak benar-benar berkencan. Mereka hanya berjalan memutari jalanan kota, mengingat Aurora baru datang dari luar negri.
"Tentang Mamaku. Err, maksudnya tadi dia tidak membuatmu tertekan bukan? Mamaku terbiasa memojokkan laki-laki yang dekat denganku."
"Oh." Rafael mengangguk paham. "Tidak kok. Lagi pula kami sudah saling mengenal sebelum ini. Tante Marisa sangat baik, sungguh." Rafael tersenyum kecil. Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arah Aurora, mengusapnya pelan sambil menenangkan.
"Tante Marisa itu menyukaiku. Makanya dia sedikit kasar pada laki-laki yang mendekatiku. Dia hanya ingin aku yang menjadi menantunya."
Aurora terkekeh pelan. Ia memukul lengan Rafael, keduanya sama-sama tersenyum dalam beberapa waktu. Suasana di dalam mobil terasa tenang.
"Sayang sekali hari ini cuacanya tidak bersahabat." Aurora bergumam. Padahal wanita itu sudah merencanakan kencan mereka untuk berkeliling ke tempat-tempat baru bersama laki-laki yang ia cintai.
Rafael mendongak, ia menatap gumpalan awan yang menggulung-gulung di atas, menghitam seperti akan jatuh kapan saja. Mungkin di beberapa tempat hujan sudah turun dengan derasnya.
Rafael membuka kaca jendelanya. Angin kencang berdesakan masuk, menyapu wajahnya.
"Sebentar lagi akan hujan," serunya.
"Yah, sepertinya begitu. Akhir-akhir ini hujan selalu turun tanpa diduga." Aurora ingat bahkan ketika ia mengunjungi kediaman Rafael malam itu juga turun hujan.
"Seandainya hujan tidak turun mungkin kita akan bermain golf."
"Kau masih menyukai golf?" Rafael bertanya.
Aurora mengangguk, "Tidak ada yang berubah Raf. Semua masih tetap sama, aku juga masih menyukai sushi. Ah, ngomong-ngomong, bagaimana jika kita mampir ke restoran jepang seperti biasanya?"
Degh …
Rafael repleks menginjak rem mobil, membuat keduanya terbentur ke depan beberapa saat. Aurora berteriak pelan, matanya melotot kaget, beruntung keduanya tidak terluka.
"Oh, astaga. Kenapa kau berhenti mendadak." Aurora protes.
Rafael masih terdiam. Laki-laki itu langsung mengingat jika ia ada janji kencan dengan Kirana, kekasihnya yang lain.
"Mana ponselku?" Rafael panik. Laki-laki itu membuka dashboard mobil dengan cepat. Ia menemukan ponselnya dalam keadaan mati.
"Shitt!!" Rafael mengerem pelan.
"Ada apa? Kau membuatku takut."
Rafael mendongak. Raut paniknya langsung berganti. Ia menggeling, berusaha tersenyum. "Tidak, aku hanya ingat janji dengan seseorang. Mungkin dia masih menungguku saat ini."
Ia menatap langit lagi. Hujan benar-benar akan turun tidak lama lagi.
'Apa Kirana masih menunggunya? Atau sudah pulang?'
Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul di benaknya. Tidak membuat nyaman.
"Siapa?"
"Eh?"
Rafael tersentak kaget. Suara Aurora membuat lamunanya tentang Kirana langsung buyar. Laki-laki itu berdehem pelan.
"Apa?"
"Siapa yang ingin kau temui. Dia laki-laki atau wanita?"
Rafael mengerutkan dahinya, "Kenapa bertanya?"
"Apa lagi. Tentu saja karena aku calon tunanganmu. Semua tentangmu akan berkaitan denganku nanti."
"Ah." Rafael mengangguk paham. Ia mengalihkan pandangannya. Menggigit bibir bawahnya beberapa saat sambil menimbang-nimbang apa perlu ia mengatakan yang sebenarnya jika ia sudah memiliki kekasih?
Jika itu terjadi apa Aurora-nya masih bersikap sama atau justru menjauhinya.
Rafael mengeling. Ia tidak bisa dipisahkan lagi dengan cinta pertamanya, tapi ia juga tidak bisa begitu saja melepaskan Kirana. Wanita itu sudah menemaninya nyaris tiga tahun.
"Rafael? Kau mendengarku? Kenapa rautmu tampak bingung. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Rafael refleks mengeling. Laki-laki itu mengubah rautnya dengan tersenyum kecil. "Tidak ada." Ia meletakkan kembali ponselnya ke dashboard mobil.
"Dia tidak terlalu penting, hanya janji antar teman."
****
Keesokan paginya, Rafael berdiri seraya menghentakkan kakinya. Ia melirik beberapa kali ke arah restoran ayam tempat Kirana bekerja.
Sesekali melirik arlojinya. Ia sengaja menunggu di belakang restoran.
Ia yakin jika Kirana akan keluar beberapa kali untuk membuang sampah, atau sekedar memberikan kotak pesan antar.
"Kapan dia muncul?" Rafael bergumam pelan. Ia sedikit frustasi ketika panggilannya tidak di angkat dan pesannya tidak dibalas sama sekali.
Kirana sedang marah. Jelas ia tau itu, dan semua adalah kesalahannya.
Rafael menghela nafas Panjang. Ia mengusap wajahnya beberapa kali sampai manik hitam itu melihat sosok Kirana yang tengah membawa kantong sampah ke samping restoran.
"Kirana!" Rafael berteriak. Laki-laki itu nyaris berlari ketika melihat Kirana ingin menghindar lagi.
"Kirana, please dengarkan aku dulu," ucap Rafael. Laki-laki itu mencekam lengan Kirana, mencegah wanitanya kabur.
Kirana mendengus pelan. Ia menepis cengkraman sang kekasih, sebelum kemudian mereka bertatapan. Hanya saja bukan jenis tatapan saling memperhatikan satu sama lain, melainkan kekecewaan dan rasa bersalah.
Rafael berdehem pelan. "Kirana, biarkan aku menjelaskannya sebentar. Mengenai kemarin aku-"
"Apa yang perlu didengarkan? Apa yang ingin kau jelaskan." Kirana memotong ucapan Rafael dengan cepat. "Maaf, tapi bagiku sudah jelas. Kau mengingkari janji kencan kita, membiarkanku menunggu dua jam seperti orang bodoh!"
Kirana menaikkan suaranya. Tangannya mengepal, mencekam erat bungkusan sampah yang seharusnya ia buang. Kemarahan menyelimuti pikirannya.
Mengingat betapa menyedihkannya ia kemarin. Sementara Rafael dengan mudahnya meminta maaf, seolah tidak terjadi apapun.
Kirana menghela nafas kasar. Ia mendongak dengan pandangan angkuh. "Kau mengacaukan semuanya Raf, kepercayaanku."
Degh..
Rafael mengeling, laki-laki itu nyaris kembali meraih tangannya sebelum ia menghindar.
"Kirana, please. A-aku minta maaf. Itu bukan keinginanku, saat itu mamaku sedang sibuk, ia meminta kami semua untuk berada di rumah." Rafael berusaha menyakinkan dengan sebuah dusta.
Kirana tidak bergeming. "Setidaknya kau mengangkat panggilanku," ketusnya. Ia tidak bisa membayangkan betapa kesalnya dia saat itu.
"Ponselku mati. Aku juga tidak sadar, maaf .." ucapnya.
"Mati? Tidak sadar?" Kirana terkekeh. Manik hitamnya menatap tajam seraya menutup bibirnya beberapa saat.
"Kirana-"
"Diam!!" Kirana berteriak, helaan nafasnya berdetak sangat kencang, Bergemuruh ketika menahan amarah yang tiba-tiba tersulut.
"Dengan itu kau mengatakan juga jika kau bahkan tidak mengingat jika kemarin itu janji kencan kita."
Mengatakan ponselnya mati dan tidak mengetahuinya, dengan kata lain kekasihnya itu mengatakan jika ia sama sekali tidak ingat dengan kencan mereka. Lalu apa bedanya?
"Kau benar-benar keterlaluan Raf," serunya.
Degh …
Wajah Rafael langsung memucat. Laki-laki itu membuka mulutnya, Namun tidak ada suara pun yang keluar.
"Sepertinya kita perlu menenangkan diri. Hubungan kita perlu dipikirkan Raf. Aku merasa kau berubah akhir-akhir ini. Semuanya." Kirana mengeling. Ia mencekam lebih erat lagi kantong sampah, menahan air matanya agar tidak turun.
"Kau bahkan berbohong padaku, Padahal selama ini kau tidak pernah berbohong sedikitpun," lanjut Kirana.
"Kirana-"
Setelah pembicaraan itu Kirana langsung membuang kantong sampah dengan kasar, kemudian meninggalkan Rafael yang masih berdiri di tempat yang sama.
"Ah, Kirana kau dari mana?" salah satu rekan pelayan menyapanya. Tepat ketika Kirana masuk kembali ke restoran.
"Ah, buang sampah." Kirana menunjuk ke arah luar. "Kenapa?"
"Ada yang mencarimu."
To be continued....