webnovel

Bab 20.Cinta Masa Lalu

-Terjebak Menjadi Simpanan-

Kirana tidak pernah membayangkan jika ia akan bertemu langsung dengan sosok menantu yang diagung-agungkan Nyonya Claudya ketika ia berkunjung beberapa hari yang lalu.

Mahesa Danaswara ….

Sama seperti yang kakaknya katakan. Bertemu dengan tuan Mahesa sama mustahilnya dengan bertamu bintang jatuh. Nyaris hanya beberapa kesempatan dalam setahun. Itupun jika beruntung.

Tapi kali ini, laki-laki itu justru muncul di depannya. Seperti takdir …

Kirana tidak bisa menyangkal jika ia terpana dengan penampilan tuan Mahesa yang sangat luar biasa. Tampan, gagah dan kaya raya.

Laki-laki itu membawa desiran baru dalam darahnya. Gejolak aneh yang datang menderu-deru.

Kirana nyaris tidak bisa berpaling dari wajah adonis bak dewa Yunani itu. Alisnya tajam dan tebal, hidungnya mancung, kulit putih dan rahang yang tegas. Manik hitamnya sekelam malam, namun lebih tajam ketika bertatapan.

Kirana tidak menyangka jika sosok tuan Mahesa yang ia lihat di televisi pagi itu jauh terlihat berbeda, lebih menawan aslinya, dan juga sedikit menakutkan dibalik pandangan dingin serta bentakan kasarnya tadi.

Kirana terdiam beberapa saat. Nafasnya tertahan beberapa detik, sebelum tubuhnya hampir terjatuh ke belakang ketika terlalu lama mendongak.

"Kau tuli?"

Degh …

Kirana langsung tersadar. Wanita itu mengedip-kedipkan matanya beberapa kali. Membawa ia ke bumi yang sama setelah melayang-layang dalam ilusi.

"Ah, ma-maaf," ucapnya terbata. Kirana bangkit, mengedarkan matanya secepat mungkin ke arah Mahesa. "A-anda baik-baik saja?"

Laki-laki itu mendengus. Ia tidak mengatakan apapun selain menepuk-nepuk jasnya.

Kirana menggigit bibirnya waspada. Berdiri dengan pandangan menunduk. Rasa takut memenuhi pikirannya. Walau bagaimanapun laki-laki di depannya itu jauh lebih berkuasa. Salah-salah ia akan kena imbasnya.

"Err- ada yang bisa saya bantu, tuan?"

Laki-laki itu mendongak, tatapannya sama tajam seperti sebelumnya. Kirana meneguk ludahnya dengan susah payah ketika kedua iris hitam itu bertatapan.

"Minggir. Kau menghalangi jalanku," serunya dingin.

Degh …

"Ah, jalan." Kirana refleks menyingkir. Ia tidak tau harus apa lagi. Laki-laki itu benar-benar jauh dari yang ia pikirkan, bahkan lebih dari sekedar angkuh.

Kirana menghela nafas panjang. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Tuan Mahesa hanya melengos, pergi meninggalkan Kirana yang masih syok di tempat yang sama.

"Wah, dia luar biasa angkuh. Apa semua orang kelas atas seperti itu?" gumamnya pelan.

Kirana menatap punggung tegap Mahesa, menyipitkan matanya sambil berpikir.

"Kenapa dia ada di depan toilet wanita? Bukannya tadi dia di ruangan VVIP bersama yang lain?"

"Permisi Nona."

Kirana menoleh ke belakang. Seorang laki-laki berkacamata memintanya untuk menyingkir dari jalan. Hanya saja kali ini jauh lebih sopan. Kirana langsung mengangguk.

Laki-laki itu setengah berlari ke arah yang sama dengan Tuan Mahesa tadi. Kirana ingat laki-laki itu adalah sekretaris yang memberikannya kartu nama. Orang itu juga berlalu begitu saja.

"Apa urusanku." Kirana langsung mengangkat bahunya. Apapun yang terjadi pada laki-laki angkuh itu sama sekali bukan urusannya.

Kirana bergegas mengambil dompetnya. Kemudian menyusul Nita yang mungkin sudah menunggu di kasir.

"Maaf, tadi ada sedikit gangguan." Kirana berseru.

"Aku sudah membayarnya. Nanti kau ganti saja," ucap Nita.

"Kenapa?"

Nita mengangkat bahunya. Ia membawa Kirana untuk keluar dari restoran. "Bukan apa-apa, kau terlalu lama. Sebentar lagi akan turun hujan. Lihat." Nita menunjuk jarinya ke arah langit yang mendung.

"Maaf, aku menabrak orang di depan toilet." Kirana berseru. Ia hanya mendapat anggukan dari Nita. Sahabatnya itu tidak berniat untuk mengetahui siapa yang ia temui di toilet tadi.

****

Sementara di tempat lain, Rafael tersenyum kecil seraya menatap seorang wanita yang baru saja turun dari anak tangga dengan gaun pastelnya yang menjuntai sampai bawah lutut, cantik dan elegan. Rambutnya lurus sebahu, tubuhnya ramping dan ideal. Semua wanita akan iri melihatnya.

Wanita itu, Aurora Sebastian. Putri bungsu dari pemilik Diamond Hospital, tuan Lukas Sebastian.

Cinta pertamanya …

Hubungan keduanya kandas karna Aurora pergi melanjutkan studi ke negara yang berbeda dengan Rafael. Setelah beberapa tahun terpisah, keduanya dipertemukan lagi disaat pesta salah satu kolega sang ayah. Mereka dijodohkan lagi.

Rafael awalnya menolak, mengingat ia sudah memiliki kekasih kala itu, namun ketika bertemu sosok Aurora lagi, semuanya berubah. Perasaan yang dulunya terkubur, perlahan mulai muncul lagi, mengingat semua kenangan indah keduanya.

Dan disinilah ia. Tersenyum sampai melupakan janjinya pada orang lain. Kekasihnya …

"Lihatlah tuan putriku yang cantik." Nyonya Marisa, ibunya Aurora berseru.

Wanita yang masih terlihat muda di usia tuanya itu menemani Rafael mengobrol di ruang tamu sementara menunggu sang putri turun ke bawah.

Banyak yang mereka perbincangkan, mengingat ini adalah pertemuan pertama Rafael setelah beberapa tahun.

"Anda benar." Rafael mengangguk setuju.

"Oh, ayolah Ma, jangan berlebihan. Rafael akan muak mendengarnya." Aurora berseru sambil tersipu malu. Wanita itu duduk di samping Rafael.

"Ish, itu tidak berlebihan kok. Lihatlah." Nyonya Marisa merentangkan tangannya ke arah sang putri. "Kau putriku yang paling cantik, tidak ada yang bisa mengalahkannya." Ia berseru bangga.

Rafael tertawa geli ketika mendengarnya. Sengkalan Aurora membuatnya terhibur, wanitanya itu tetap menggemaskan seperti sebelumnya.

"Kalian berdua mengingatkanku dengan kisah putri Aurora dan pangeran."

"Oh, Mama, Itu kekanakkan," timpal Aurora.

"Hmm," Nyonya Marisa mengeling. "Itu benar. Putriku adalah wanita beruntung yang diselamatkan pangeran saat tenggelam." Ia menoleh ke arah Rafael sambil tersenyum.

"Nak Rafael pasti ingat dulu Aurora sangat suka ketika diajak ke berkunjung ke danau hijau," ucap Nyonya Marisa.

Rafael mengangguk. Danau hijau yang dimaksud adalah Danau yang tidak jauh dari rumah nenek dari pihak ibunya. Ia menyukai bermain disana saat masih kecil, nyaris setiap hari. Saat itu kediaman Aurora juga tidak jauh dari sana.

"Putriku tenggelam di sana, dan pangeran Rafaellah yang menyelamatkannya. Itu benar-benar amazing."

Rafael tersenyum. Ia menoleh ke arah Aurora yang menahan malunya. Kulit putihnya memerah, semakin menggemaskan.

Dulu Rafael menyelamatkan Aurora yang nyaris tenggelam. Sejak saat itu juga keduanya menjadi akrab. Ia bahkan tidak mau dipisahkan dengan Aurora sampai dewasa.

"Aurora sangat menggemaskan kala itu, dan saat ini pun masih sama."

"Rafael, ayolah hentikan," timpal Aurora.

Nyonya Marisa tertawa bersama Rafael, membuat suasana saat itu sangat tentram dan menyenangkan.

"Jadi, kapan pertemuan keluarga kita akan diadakan?" Nyonya Marisa bertanya.

Rafael menghentikan tawanya. Laki-laki itu berpikir beberapa saat sebelum menghela pelan. "Mama saya menunggu Kak Mahesa. Akhir-akhir ini jadwalnya sangat padat. Kami ingin semua anggota keluarga hadir saat pertemuan nanti."

Nyonya Marisa mengangguk paham. "Itu bagus. Pertemuan resmi kita tentu saja harus melibatkan seluruh anggota keluarga."

"Akan kami kabari jika waktunya sudah pasti."

"Tentu," seru Nyonya Marisa. "Tuan Mahesa pasti memiliki waktu yang padat. Tidak mudah untuk bertemu dengannya. Jujur saja, Nak Rafael. Tante sangat menyetujui hubunganmu dengan Aurora. Kita akan menjadi satu-satunya keluarga yang mengendalikan dan juga menguasai perekonomian negara ini."

"Danaswara Grub, Diamond Hospital dan juga Atmaja Industri," tambahnya.

Rafael tersenyum kecut, ia tidak suka dengan kelompok yang calon mertuanya katakan.

To be continued....