webnovel

Bab 22.Fatamorgana Senja

-Terjebak Menjadi Simpanan-

Kirana meneguk ludahnya dengan susah payah. Kedua tangannya mencekam erat pinggiran meja di depannya. Wanita itu tidak berani mendongak, rasa takut nyaris mirip seperti suasana malam itu. Ketika ia menemui Nyonya Claudya.

"Ny-nyonya," cicit Kirana pelan, nyaris tidak terdengar.

Kirana tidak mengerti. Tidak ada hujan tidak ada petir, tapi kenapa orangtuanya Rafael bisa berada di sini. Perasaannya tidak enak.

Apa Nyonya Claudya akan melabraknya. Memberikan sejumlah uang agar ia berpisah dengan putranya itu. Seperti di dalam drama yang selalu ia tonton?

Degh....

Kirana mengeling. Ia berdehem, berusaha menahan rasa sakit dan gugupnya sendiri. Ujung matanya melirik benda-benda di atas meja, dan bersyukur tidak benda keras yang berpotensi dilemparkan ke wajahnya.

Kirana mendongak, menatap ragu-ragu. "Ke-kenapa Tante mencari saya?" tanyanya.

"Nak Kirana." Nyonya Claudya tersenyum kecil. "Tante sebenarnya ingin menemui kirana secepatnya. Tapi beberapa waktu yang lalu belum ada waktu."

Kirana mengerutkan alisnya semakin bingung. Ekspresi Nyonya Claudya saat itu jauh terkesan lebih ramah dibandingkan malam itu. Senyuman tipis dan tulus tidak hilang di bibirnya.

Apa yang salah di sini? Bukannya Nyonya Claudya membencinya? Jelas sekali malam itu ia disindir habis-habisan.

Kirana mengusap punggung tangannya. Menggigit bibir bawahnya beberapa saat.

"Mencari Kirana? kenapa?"

Nyonya Claudya tidak mengatakan apapun. Ia hanya tersenyum. Kemudian mengambil paper bag, meletakkannya di atas meja.

"Kirana, Tante mau minta maaf tentang malam itu. Rafael bilang kamu marah ya sama Tante."

Kirana mengeling dengan cepat. Matanya melotot tidak percaya. Rasanya aneh melihat wanita angkuh yang menyindirnya malam itu sekarang meminta maaf.

"Err, tidak Tente. Kirana tidak marah sama sekali. Itu hanya perasaan Rafael," serunya canggung.

"Ish, pokoknya Tante minta maaf," serunya lembut. "Tante gak mau Kirana marah ke anak Tante cuma gara-gara sikap Tante yang buruk malam itu."

"Bu-bukan begitu Tan-"

"Kirana Sayang. Please, ya. Tante sadar kok kalau Tante salah. Kirana itu anak baik, dan Rafael beruntung memiliki Kirana. Sekali lagi maafkan Tante ya."

Kirana tidak mengatakan apapun. Wanita itu terlihat jauh lebih syok dibandingkan apapun dalam beberapa detik. Sampai Nita muncul membawakan minuman.

"Permisi Tante. Ini pesanannya." Nita meletakkan dua gelas jus di atas meja.

"Hn, makasih ya." Nyonya Claudya berseru lembut. Wanita itu memberikan gelas satunya untuk Kirana.

"Diminum sayang."

Kirana mengangguk. Nyonya Claudya tersenyum lagi.

Ia mendorong paper bag ke arah Kirana. "Tante mau mengundang Kirana ke acara keluarga. Sebagai permintaan maaf Tante, sekaligus ingin memperkenalkan calon menantu pilihannya Rafael. Mau ya sayang," pintanya.

"Ac-acara keluarga?"

"Hmm. Tante mau memperkenalkan Kirana pada kerabat yang lain. Kirana mau ya, demi Tante. Tante mau menjalin hubungan baik dengan Kirana. Toh, nanti Kirana jadi menantu Tante kan."

Kirana mengedip kedipkan matanya. Perasaan terkejut bertumbuk dengan rasa bingung. Alisnya mengerut.

Nyonya Claudya tidak membencinya. Fakta itu sungguh luar biasa.

"Gimana Sayang? Mau ya? Tante sangat senang lo kalau Kirana setuju. Tante sudah bawakan gaun dari desainer ternama butik langganan Tante."

Kirana membuka paper bagnya. Di sana ada gaun cantik berwarna biru malam. Juga sepasang sepatu lengkap dengan tas.

Kirana menganga pelan. Ia tau berapa mahal harga semuanya. Walau Kirana tidak pernah berbelanja barang branded. Tapi kakaknya, Nina memiliki banyak barang seperti itu.

"Gimana Sayang?"

"Eh?" Kirana tersentak kaget. Ia berdehem pelan sebelum kemudian mengangguk canggung.

Nyonya Claudya tersenyum lagi. Wanita itu menarik tangan Kirana. Mengusapnya dengan lembut.

"Tante senang mendengarnya," serunya.

"Err... ka-kapan acaranya Tante?"

"Nanti malam. Datang ke rumah."

Kirana mengangguk paham. Malam ini mungkin kakaknya akan lembur lagi. Jika acara makan malamnya tidak terlalu malam ia tidak perlu minta izin pulang terlambat.

"Err ... tapi Kirana sayang, jangan kasih tau Rafael dulu ya. Tante mau kasih surprise soalnya."

Kirana mengangguk. Wanita itu tersenyum kecil. Setelah pembicaraan keduanya selesai Ia mengantar Nyonya Claudya sampai ke depan pintu restoran.

"Jangan telat ya Sayang. Tante tunggu."

"Pasti Tante, Kirana usahakan."

Kirana melambaikan tangannya sebelah. Sedangkan sebelahnya lagi mendekap paper bag nya, sampai mobil Nyonya Claudya melaju kejalanan.

"Ibunya Rafael?" Nita tiba-tiba bertanya. Wanita itu sudah berada di belakangnya dengan raut penasaran.

"Hmm ..." Kirana mengangguk. "Mamanya Rafael ingin aku datang ke acara keluarganya."

Nita mengerutkan alisnya. Wanita itu seperti memikirkan sesuatu hal di dalam kepalanya.

"Kau yakin?"

Kirana mengangguk. "Kenapa?"

"Tidak. Aku merasa ada yang aneh saja." Nita menghela nafas pelan. Menatap sang sahabat lagi. "Hati-hatinya, aku gak terlalu percaya sama mereka."

****

Sementara di tempat lain. Langkah kaki bergema dengan cepat, menyusuri lorong sebelum berhenti di depan sebuah pintu.

Laki-laki itu menghela nafas panjang. Tangannya memperbaiki letak kacamatanya sebelum mengetuk pintu, lalu memutar sebuah handle pintu saat langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan kerja.

"Permisi, Tuan."

Roy masuk dan kembali menutup pintu ruangan tersebut. Ia berjalan menghampiri laki-laki yang tengah duduk membelakangi sambil menatap Tap di tanngannya.

"Tuan, ada Nona Monica di luar. Dia memaksa untuk bertemu dengan tuan."

Laki-laki itu Mahesa. Ia berbalik, alisnya mengerut beberapa saat, sebelum meletakkan Tebnya ke atas meja.

"Kenapa dia kemari?"

"Saya kurang tau Tuan. Nona hanya memaksa untuk masuk, katanya tuan tidak mengangkat panggilannya." Roy, sekretaris berkacamata itu menjelaskan.

Mahesa mengangguk paham. Ia menekan pangkal hidungnya.

"Biarkan dia masuk."

"Baik." Roy mengangguk. Laki-laki itu berbalik ke arah pintu. Menjemput istri majikannya. Nyonya Monica yang tidak lain istri dari Mahesa Danaswara.

Tidak berapa lama kemudian Roy muncul bersama Monica.

"Kenapa kau kemari." Mahesa berseru dingin. Laki-laki itu sama sekali tidak ada keinginan untuk bicara panjang lebar.

"Kenapa kau bicara seperti itu. Aku ini istrimu Mahesa. Tidak ada peraturan yang melarang seorang istri mengunjungi tempat kerja suaminya sendiri." Monica meninggikan ucapannya. "Tolong perlakukan aku seperti istrimu."

Mahesa sama sekali tidak bereaksi. Laki-laki itu melirik sekretarisnya, mengisyaratkan agar meninggalkan ia bersama sang istri di ruangan ini.

Seolah mengerti. Roy mengangguk dan pamit keluar meninggalkan sang majikan bersama istrinya.

"Aku tidak ingin berbasa-basi. Katakan kenapa kau ingin bertemu," serunya dingin.

"Mahesa!"

Mahesa tidak menggubris. Laki-laki itu kembali duduk di kursinya. "Waktuku tidak banyak. Katakan apa. Jika tidak ada yang penting, silahkan kembali ke rumah."

Degh....

Monica mendenggus kesal. Wanita itu menghentakkan kakinya. Mencekam erat tas tangannya.

"Kau keterlaluan Mahesa!!"

"Aku bersikap seperti yang seharusnya. Apa perlu aku ingatkan siapa yang keterlaluan diantara kita. Siapa yang jahat dan siapa yang tidak tau diri. Camkan itu, Monica Atmaja."

To be continued....