webnovel

Lebih Dekat?

Tengah malah adalah waktu yang tepat untuk tidur. Mengistirahatkan semua organ tubuh agar dapat bekerja maksimal besok pagi. Namun, Juan masih di sini. Di depan sebuah apotek dekat rumahnya. Ia menaruh kedua tangan di depan dada. Mendekap dirinya, menahan dingin yang begitu menelisik kulit.

Tiba-tiba Lena berada di hadapannya, ia pun segera menghampiri dan memperhatikan Lena dengan seksama.

"Sudah selesai beli obatnya?" tanya Juan khawatir.

Lena mengangguk, kemudian memberi isyarat agar mereka segera pulang. Keduanya masuk ke dalam mobil. Sebenarnya, jarak antara rumah dan apotek tidak terlalu jauh. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki, namun akan sangat bahaya jika jam segini mereka berjalan berdua. Lagian, pasti mereka akan merasa canggung.

Tanpa ada percakapan sedikit pun, mereka sudah sampai di rumah. Juan membantu Lena untuk masuk ke dalam rumah, wajah Lena terlihat sangat pucat. Ia mendudukkan Lena di sofa ruang tamu. Kemudian berjalan ke dapur segera.

Lena hanya diam memperhatikan, badannya terlalu lemah untuk memberontak. Tak berapa lama Juan datang dengan membawa nampan yang berisi makanan dan juga segelas air putih. Ia duduk di samping Lena dan mempersilahkan Lena untuk makan sebelum meminum obat.

"Bisa bantu suapin? Badan aku lemes."

Detik itu juga, aliran darah Juan mendadak berhenti. Ia merasakan jantunhnya berdebar sangat cepat membuatnya sedikit sesak. Ia kalut, raut wajah memerah. Baru kali ini ia mendengar Lena menggunakan kata 'aku' dengan lembut. Wajah tegasnya berubah menjadi raut seseorang yang sangat menggemaskan dan juga manja.

Juan kalut dengan pikirannya sendiri sampai ia tidak menyadari bahwa Lena sudah makan dengan lahap di depannya. Ia pun mengutuk dirinya karena terlalu banyak berkhayal.

"Sini, saya bantu," tawar Juan setengah takut.

Lena segera memberikan piring itu dan Juan membantunya menyuapi makanan. Mereka tetap diam dan fokus dengan kegiatan masing-masing. Hampir habis makanan yang ada di piring, tiba-tiba Lena memuntahkan makanan yan baru saja ia kunyah. Sontak saja Juan khawatir dan segera menaruh piring yang sedang ia pegang.

Juan membersihkan kotoran nasi yang berhambur di pakaian Lena. Sedangkan, Lena terkulai lemas.

"Sepertinya kamu masuk angin," ucap Juan.

Wajar saja jika Lena masuk angin, belum ada makanan sedikit pun yang ia makan sejak pagi. Selain itu, tubuh Lena sudah pasti lelah. Juan sangat kasihan sekaligus khawatir dengan kondisi Lena. Bahkan, Lena yang terlihat tegas itu sekarang tidak dapat berbuat apa-apa.

"Saya tidak akan macam-macam, mari saya antar ke kamarmu untuk mengganti pakaian," kata Juan seraya meraih tubuh Lena.

Lena tetap menurut dan dengan dibantu oleh Juan mereka masuk ke dalam kamar. Juan segera mengalihkan koper yang berada di atas kasur itu. Membukanya, dan mencari beberapa pakaian ganti. Ia terfokus pada pakaian dalam yang warnanya sangat mencolok, namun segera menutupnya ketika ia menyadari bahwa sedari tadi Lena memperhatikannya.

"Kamu bisa pakai baju sendiri? Saya akan keluar," lembut Juan kepada Lena.

Lena membalas dengan anggukan dan setelahnya Juan berjalan keluar kamar. Setelah beberapa menit lamanya Juan kembali masuk dan mendapati Lena sudah berselimut. Ia menghampiri Lena dan duduk di tepi ranjang. Ternyata tangannya tidak kosong. Ia sudah membawa segelas air hangat dan juga obat yang tadi dibeli di apotek.

"Minum obat dulu, Len." Meletakkan gelas di nakas.

Lena dengan malas bangun dari posisi nyamannya dan segera menengguk obat. Ia kembali merebahkan dari dan menutupi tubuh dengan selimut.

"Izinkan saya di sini untuk malam ini. Saya tidak akan melakukan apa pun, hanya ingin menjaga kamu," tutur Juan.

Lena tidak ingin mendebat apa yang dikatakan oleh Juan. Yang ia rasakan hanyalah badannya yang serasa hancur dan kepalanya sangat pusing. Berdebat dengan Juan hanya akan menambah sakit di kepala Lena.

Lena belum juga memejamkan matanya. Ia tetap fokus menatap Juan. Khawatir jika Juan dengan nekad melakukan hal buruk. Namun, bukannya mendapat reaksi dari Juan, matanya justru sangat mengantuk dan tertutup sempurna dengan kedatangan mimpi. Menyadari Lena sudah tertidur, Juan segera bangkit dan duduk di sofa kamar. Ia meraih handphone yang ada di dalam saku celananya. Menekan tombol mode aktif, dan tak selang beberapa lama sebuah walpaper foto gedung menjulang tinggi.

Sedari pagi ia tidak sempat mengecek handphone. Terdapat banyak pesan dan juga panggilan yang memenuhi notifikasi.

Selamat, Bos Besar kita sudah sold out.

Happy wedding, Big Bos!

Happy wedding, Kak!

Beneran sudah menikah? Selamat, ya.

Dan masih banyak lagi pesan yang lain. Ia terfokus pada sebuah panggilan. Papa Lena menelponnya beberapa jam yang lalu. Juan bimbang antara harus menelpon balik atau membiarkannya. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, ia meletakkan handphonenya di atas meja. Tidak sopan tengah malam menelpon. Tubuhnya pun sangat lelah, tidak berapa lama ia ikut memejamkan mata dan tertidur.

#####

Juan mendengar dering telepon dan membuatnya terbangun. Ia memerhatikan sekitar dan terlihat kamar itu sepi. Tidak ada seseorang yang berbaring di atas kasur. Koper yang semalam pun, sudah dengan posisi yang berbeda. Ia bangun dan mengumpulkan nyawanya. Berjalan keluar kamar mencari sosok Lena. Namun, ia tidak menemukan Lena di dalam rumah. Ia pergi ke halaman belakang, berpikir apabila Lena di sana. Tetap tidak ditemukan. Kemudian ia kembali ke kamar Lena, mengambil handphone dan berniat menghubungi papa Lena.

Belum ia memanggil papa Lena, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Ini saya, Lena. Saya sedang berada di luar. Jangan mencari saya. Saya akan pulang.

Juan membaca dengan seksama pesan yang ternyata dari Lena. Ia menghela napas kasar. Kemudian meng- add nomor itu dengan nama "istri" .

"Bahkan kamu tidak mengucapkan terimakasih." Juan tertawa sumbang.

Bukan, bukan Juan tidak ikhlas dengan apa yang sudah ia lakukan. Namun, Juan hanya ingin Lena tidak melihatnya sebagai rival lagi. Seharusnya mereka bisa sama-sama menerima dan pernikahan ini, meskipun tidak diinginkan akan tetap berjalan lancar. Namun sepertinya, tidak semudah yang Juan bayangkan. Dan hal yang menyebalkan lainnya adalah, Juan sudah mencintai Lena. Semalam, ketika Lena tampak lemas, muka yang tegas itu hilang. Lena tampak cantik dan juga matanya lurus menatap Juan dengan tulus.

Juan yakin, suatu saat Lena akan menerimanya. Lena akan mencintainya, dan mereka akan menjadi pasangan suami-istri yang diharapkan dan diidamkan oleh orang-orang. Juan juga tidak terlalu asing dengan Lena. Mereka sudah saling mengenal sangat lama. Bahkan ketika keduanya masih kecil. Hanya menunggu waktu. Juan segera beranjak keluar kamar Lena. Dan menyegarkan tubuhnya dengan aliran air.

"God know the best destiny."