webnovel

Episode 3

Aku menyisir rambutku dan mengikatnya, tanpa aksesoris apapun. Hanya ikat rambut saja.

Hari ini, aku diajak oleh Philippa untuk pergi menjelajah ke perbatasan kota. Katanya, sih, Feliaxanerian dan Albereath Lockharien juga akan ikut. Walaupun, aku tidak peduli.

Ketika sarapan, aku sudah siap. Ibu sudah memakai celmek putihnya dan ayah membawa handuk lusuh kecil.

Menu sarapan seperti biasa. Sup jagung, keju keras, dan roti yang dibeli beberapa hari lalu di pasar. Untuk minumnya, hanya air biasa.

"Athena, hari ini kamu mau pergi, ya?" tanya Ibu.

"Ya, bersama teman," Aku mengangguk kaku.

"Baguslah," Ayah tersenyum. "Kamu perlu bersosialisasi, Nak."

"Ya," gumamku.

Sebenarnya, aku tidak terlalu menyukai ayah. Ayah selalu memaksaku melalukan ini-itu. Tapi, aku tau kalau maksud ayah itu baik.

Contohnya dalam soal bersosialisasi, ayah selalu mengajakku ke rapat desa agar aku bisa bermain dengan anak-anak lain yang juga ikut. Walaupun pada akhirnya, aku hanya duduk di bawah pohon paling rindang dan membaca buku dengan penerangan lentera kecil yang selalu kubawa-bawa kemana saja.

Sebenarnya lentera kecil itu pemberian nenek, tepat sebelum nenek meninggal.

Lentera itu terbuat dari plastik tebal yang transparan berbentuk bulat, dikelilingi logam ringan, peganggannya terbuat dari logam dan dililit akar tumbuhan kering.

"Jangan pulang terlalu larut," nasihat Ibu.

"Biarkan saja," Ayah tertawa kecil. "Kalau mau kemah juga tidak apa."

"Tapi..." Ibu hendak memprotes.

"Jarang-jarang Athena mau pergi," ucap Ayah. "Dia harus belajar bersosialisasi dan mandiri. Akan tiba waktunya, dimana dia harus berkerja sama dengan orang lain."

"Benar," Ibu mengangguk. "Ini bisa menjadi pembelajaran."

"Aku akan pulang setelah melihat matahari terbenam," ucapku. "Mungkin, akan tiba pada pukul sekitar setengah 8."

"Naik apa?" tanya Ayah.

"Kami ke kota naik mobil yang singgah," ucapku. "Selama di sana, kami akan naik kereta dan turun di stasiun terdekat. Lalu, pulang jalan kaki."

"Hati-hati, ya," pesan Ibu. "Apa kamu sudah bawa uang?"

"Aku sudah membawa seluruh tabunganku," ucapku.

Ayah menyerahkan sekantung sedang berwarna hitam jelaga yang berdebu.

"Hadiah dari ayah," kekeh Ayah.

Aku menggumamkan terima kasih. Ibu juga menaruh sekantung kecil berwarna ungu gelap di sampingku.

"Untuk menambah uang sakumu," Ibu mengecup dahiku.

Aku berterima kasih dan menaruh kedua kantung itu di tas ransel hitam tuaku. Aku tidak punya uang untuk membeli tas baru.

"Aku akan pergi ke ladang," ucap Ayah. "Buah-buah sedang panen. Kita bisa makan enak nanti malam."

"Aku juga akan berangkat ke Hollow Hall," ucapku.

"Hati-hati," Ibu memelukku.

Aku pergi setelah menerima pelukan, kecupan, dan nasihat dari ayah maupun Ibu.

Hallow Hall masih sepi, aku duduk di batu berlumut di bawah bayangan pohon rindang.

Desa ini masih sepi, hanya diterangi lampu-lampu dari rumah penduduk dan lampu-lampu jalan.

Belum banyak beraktivitas. Hanya beberapa yang pergi ke ladang atau bersiap-siap pergi ke pasar.

Aku melihat seseorang berambut hitam yang agak acak-acakan menghampiriku. Dia hanya memakai celana panjang, kaus, jaket, dan sepatu.

"Hallo, Athena," sapanya, Albereath.

"Hi," sapaku datar. "Apa kamu tidak berpapasan dengan yang lain?"

"Aku berpapasan dengan Feliaxanerian tadi, dia mau menjemput Philippa terlebih dahulu," jelas Albereath.

Philippa dan Feliaxanerian datang bersamaan. Mereka tampak semangat dan ceria.

Kami akhirnya pergi ke kota naik mobil sayuran yang mampir.

Ternyata, asyik juga melihat hamparan ladang dan rumah-rumah penduduk. Hollow Hall juga terlihat indah dari kejauhan.

Mobil mulai menaiki bukit-bukit, menjauhi desa dan menuju perbatasan.

Kota jauh melebihi perkiraanku. Gedung-gedung beton kokoh dibangun dan ditata dengan rapi. Jalanan sudah ramai, walaupun masih pagi. Tangga-tangga menuju bawah tanah, toko-toko kecil aneka warna, dan papan-papan iklan.

"Whoa, ini jauh lebih modern daripada desa," ucap Feliaxanerian.

"Tentu saja, Bodoh," kikik Philippa. "Ini adalah ibu kota."

Kami turun di pasar. Kami mulai menjelajahi kota. Keluar masuk toko, singgah untuk makan di restoran kecil, dan mengamati bangunan bernama mall yang megah.

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sekarang ini sudah hampir pukul setengah 6 sore.

Kami berada di First Avenue, Twenty-Five street. Sedangkan stasiun terdekat berada di Twenty-Seven street.

Kami berjalan melintasi zebra cross ketika lampu untuk pejalan kaki menyala hijau, bersama dengan orang-orang banyak yang tampak sibuk.

Tepat di tengah jalan raya, seperti kedipan lambat lensa kamera. Pemograman seolah kacau untuk sedetik, lalu kembali.

Aku mengerjap kaget, semuanya normal. Aku segera menyusul temanku yang sudah berjalan.

Kami naik kereta untuk sampai stasiun terdekat ke perbatasan.

"Kalian sadar? Tadi, dunia seolah berkedip," komentar Philippa.

"Iya," Feliaxanerian mengangguk penuh semangat. "Cuma sedetik, lalu kembali normal."

"Tidak ada yang berubah," ucap Albereath.

"Tapi, tidakkah kalian melihat lampu lalu lintas dan papan-papan iklan?" tanyaku.

"Tidak," Philippa menggeleng.

"Memangnya ada apa?" Feliaxanerian menatap kearahku.

"Pemograman seolah-olah kacau untuk sedetik," jelasku.

"Mungkin itu hanya ilusi kita," ucap Albereath.

"Bisa jadi," Philippa mengangguk. "Mungkin saja kita terlalu capek."

"Aku tidak sabar ingin pulang," Feliaxanerian menguap.

"Aku ingin segera istirahat," ucap Albereath.

Kami turun di stasiun perbatasan dan berjalan kaki ke desa.

Satu hal yang membuatku kaget bulan kepalang.

DESA LENYAP!!!