Kami mengelilingi tempat yang seharusnya adalah desa kami.
Hollow Hall masih ada, tapi tidak ada keramaian di sana. Padahal, biasanya setiap malam ada beberapa keluarga yang piknik atau menyalakan kembang api.
"Ok," ucap Feliaxanerian dengan ketakutan. "Ini pasti cuma mimpi. Mimpi buruk."
"Ini bukan mimpi buruk," bantahku.
"Athena benar, Feliaxanerian," ucap Albereath. "Ini nyata."
"A-apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Philippa ketakutan. "Kenapa tiba-tiba desa ini bisa lenyap tanpa jejak? Apa yang terjadi di desa? Bagaimana dengan rakyatnya?"
"Yang harus perhatikan sekarang," potong Albereath. "Dimana kita akan tidur malam ini?"
Benar. Dimana kita tidur malam ini? Ketika rumah lenyap tanpa jejak.
"Aku ingin mencaritau dulu," sambung Philippa. "Aku akan ke tempat rumahku."
"Aku bawa tenda," ucap Feliaxanerian. "Kita bisa tidur di tenda. Philippa, apa kamu perlu ditemani ke bekas rumahmu?"
Philippa menggeleng. Dia jelas ingin sendirian.
Malam itu adalah malam terburuk yang pernah kualami. Disaat aku mengira kalau aku akan menghabiskan malam dengan bercerita kepada orang tuaku tentang kota, aku malah kehilangan mereka. Kehilangan keluarga. Kehilangan tempat tinggal. Kehilangan cinta dan kasih sayang. Kehilangan sebagian dari hidupku. Kehilangan sesuatu yang selalu ingin kulindungi. Kenapa... rasanya sesedih ini?
Keesokan paginya, aku bangun paling pagi. Aku benar-benar berharap, aku melihat langit-langit kamar. Ternyata, yang kulihat hanya langit-langit tenda.
Philippa yang tidur di sampingku masih terlelap, semalaman ia menangis.
Feliaxanerian dan Albereath masih terlelap di sisi lain tenda.
Aku beringsut keluar dan memandang matahari terbit di ufuk timur. Indah sekali.
Aku memeluk lutut dan duduk di rerumputan yang basah akibat embun pagi.
Matahari semakin tinggi. Semakin membuat silau.
Philippa keluar dengan mata sembab, diikuti Feliaxanerian dan Albereath.
Kami duduk melingkar di rerumputan. Philippa memotong 1 roti panjang menjadi 4 bagian sama besar dan membagikannya kepada kami.
Aku makan dan minum dari sisa air mineral.
"Aku ingin masuk ke tenda," gumam Philippa.
"Aku dan Feliaxanerian akan ke Hollow Hall," ucap Albereath.
Aku mengangguk.
Aku tidak mau mengganggu mereka, jadinya aku akan berkelana di rerumputan ini.
Setelah makan, kami berpencar.
Aku berjalan menyusuri rerumputan tanpa arah. Hanya memandang sekeliling dan menghapal jalan agar aku tidak tersesat walaupun aku pergi jauh dari tenda.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" batinku. "Apa kalau aku tinggal di rumah, aku juga akan ikut lenyap? Atau mereka lenyap karena kami pergi ke kota?"
Semua pertanyaan menyesaiki pikiranku.
Aku memandang langit. Entah kenapa, langit seolah berbeda daripada biasanya.
Aku berjinjit setinggi yang kubisa, menudungi mata dengan tangan, dan menyipitkan mata.
Di langit...
Seolah ada sesuatu. Sesuatu... ya... sesuatu...
Dan sesuatu itu berbentuk seperti...
Seperti...
Kota!
Aku tersedak dan berlari secepat mungkin ke arah tenda, tidak peduli walaupun aku terus tersandung dan jatuh.
Aku tersegal dan terus berlari.
Feliaxanerian dan Albereath sudah kembali, duduk di depan tenda bersama Philippa yang tampak kecewa dan habis menangis.
Mereka melompat berdiri ketika melihatku berlari ke arah mereka.
"Ada apa, Athena?" tanya Philippa panik.
"Apa kamu sudah menemukan sesuatu?" tanya Feliaxanerian.
"Apakah sebuah petunjuk?" Albereath tampak semangat.
"Li... lihat ke langit..." engahku.
"Ada apa di langit?" Feliaxanerian memandang ke langit dengan bingung.
"Hanya ada awan, seperti biasa," Albereath menatapku.
"Langit itu normal, Athena," ucap Philippa.
"Apa normalnya?!" bentakku.
Ketiga orang itu terlonjak dan menatapku tidak percaya.
"Kenapa tiba-tiba kamu marah?" tanya Philippa.
"Kalian bilang normal!" seruku.
"Ini normal," desah Feliaxanerian.
"Perhatikan baik-baik!" seruku. "Kalian pasti akan melihat kota di langit!"
"Itu mustahil," Albereath menggeleng.
"Ini bukan cerita fantasi ataupun sci-fi," ucap Philippa.
"Aku serius!" Aku memandang mereka kesal. "Bukan sekedar kota! Kotanya terbalik dan menghadap ke bawah!"
Feliaxanerian yang sejak tadi menatal ke langit, mencari-cari keanehan, terjengkang. Wajahnya tampak terkejut dan takut.
"D-di langit..." Feliaxanerian menunjuk langit dengan telunjuk yang gemetar. "Kotanya... kotanya terbalik!"
Albereath bergegas mengamati. Ia juga melihat kota itu.
Philippa mencobanya dan melihat juga.
"Ayo kita ke kota itu!" seru Feliaxanerian.
"Apa?!" protes Philippa. "Apakah kamu idiot?!"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain pergi ke sana, Philippa," ucap Albereath.
"Kalau kita melapor ke polisi, aku tidak yakin mereka akan menanggapi," jelasku. "Mereka hanya mengira kita mengarang cerita atau yang lebih parah melupakan desa kita."
"Kita harus mencari petunjuk, Philippa," tegas Feliaxanerian. "Dan petunjuk tidak akan muncul begitu saja."
"Baiklah," Philippa mengangguk enggan.
Kami berjalan membawa seluruh barang kami, tentu tendanya kami lipat dan masukkan ke ransel.
Kami beruntung karena mendapar 4 kuda liar yang cukup jinak.
Kami pergi dengan kuda, lumayan untuk menghemat tenaga. Kami berjalan melewati desa-desa kecil.