"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku menyetujuinya??!!!"
Julia berteriak frustasi di parkiran apartemennya. Jari-jari lentiknya mengacak rambut itu dengan sembarangan, membuatnya berantakan. Tak hanya itu, mulutnya terus mengumpat, merutuki kebodohannya hari ini.
Bagaimana bisa dia menyetujui tantangan konyol yang diberikan rivalnya? Seharusnya dia langsung meninggalkan tempat itu tepat ketika Ana datang.
"Aku harus bagaimana sekarang? Cecil bukanlah lawan yang mudah. Kemampuan taekwondonya sudah sangat baik."
Mata sipitnya menutup rapat. Dahinya membentuk kerutan. Serta tangannya masih terus memainkan rambut pendek itu. Lebih tepatnya menjambak rambutnya ke sana ke mari tanpa arah yang jelas.
"Selaamat, Julia. Kamu menggali kuburanmu sendiri," ucapnya pasrah.
"Aissh!!!" Tangannya mengacak rambut indah itu lagi. Membuatnya terlihat sangat berantakan.
"Selamat ya…."
Suara seseorang berhasil menyadarkannya dari lamunan singkat itu. Julia menoleh pada sumber suara. Matanya menyipit melihat orang di depannya.
"Selamat, kamu sudah menggalih kuburanmu." Ana menjulurkan tangannya ke depan Julia. Sedangkan gadis itu menatapnya dengan sinis.
"Apa aku perlu menyiapkan pemakaman yang layak untukmu?" godanya lagi.
"Yaaaak!!!" teriak Julia kesal.
Ana tak dapat menahan tawanya. Suara gadis 18 tahun itu terdengar menggema memenuhi halaman parkir Apartemen Suites Garden.
Sedangkan gadis di depannya terlihat semakin kesal. Ia melenggang meninggalkan Ana. Langkahnya bergerak cepat menelusuri lorong yang sudah mulai gelap itu.
Ana menghentikan tawanya. Namun bibir kecilnya tak dapat menahan garis senyum yang semakin lama semakin melebar. Ia bergerak mengikuti langkah Julia.
"Hei. Kamu mau ke mana?" tanyanya sedikit berteriak karena jarak mereka yang cukup jauh.
"Bukan urusanmu!"
Ana mempercepat langkahnya sehingga menyisahkan jarak yang pendek dengan Julia.
"Memangnya kamu tidak perlu strategi untuk mengalahkan Cecil?"
Julia tidak menggubris perkataan Ana. Ia tetap bergerak menjauh darinya. Memberikan jarak yang melebar lagi.
"Jadi benar ya. Julia sudah siap mati di depan mahasiswa Universitas Dharma Wijaya." Ana terus bergerak semakin cepat. Memangkas jarak diantara keduanya semaksimal mungkin.
"Padahal aku bisa lho membantumu untuk mengalahkan Cecil. Sekalipun aku tahu Cecil adalah teman satu jurusanku."
Julia langsung menghentikan langkahnya. Membuat Ana yang di belakangnya ikut berhenti. Ia mengambil sisi samping dan menambah satu langkahnya agar sama dengan langkah Julia berhenti.
Julia melanjutkan langkahnya lagi tanpa berkata apapun. Dirinya terlihat sangat kesal. Ia tidak menyangka bahwa hari yang seharusnya damai dan tenang justru berakhir melelahkan.
Julia menekan tombol lift di depannya. Tak lama, pintu lift terbuka. Julia masuk ke dalamnya. Tangannya langsung menekan tombol 5. Pintu lift tertutup dan kotak besi itu mulai bergerak perlahan.
"Kenapa Ana mengikutiku terus?" Julia menoleh pada Ana dengan malas. "Jika Ana mengikutiku hanya untuk mengatakan itu. Dengan tulus kuucapkan terima kasih. Tapi aku sungguh tidak minat untuk menerima bantuan Ana."
Ana tersenyum melihat aksi jual mahal Julia. Bagaimana bisa ada gadis yang bodoh namun terlihat menggemaskan seperti ini?
Tanpa sadar, tangannya bergerak meraih tangan Julia. Matanya tak henti menatap lekat ke arah Julia. Senyumnya semakin berkembang.
Aksi tersebut justru memeroleh reaksi negatif dari Julia. Ia langsung menarik tangannya yang digenggam Ana.
"Ah, maaf!" seru Ana ketika tersadar dengan sikapnya itu. "Julia, aku mengikutimu karena ingin mengambil power bank-ku yang masih kamu bawa. Lagipula itu kan tujuan kita bertemu sore ini?"
Julia terngangah. Bagaimana bisa ia melupakan power bank itu? Lagipula gara-gara power bank sialan itu, hari ini ia harus menerima dare tak masuk akal dari dayangnya Ana.
Dengan gesit, tangan gadis itu mengambil power bank yang ia letakkan di saku tas terdepannya. Ia memberikannya pada Ana sembari menatap mata Ana malas.
Ana mengambil power bank-nya dan langsung memasukkan itu ke dalam ranselnya. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka tepat di lantai tujuan Julia.
Gadis berambut pendek tersebut langsung keluar dari lift. "Sekarang pulanglah. Sudah tidak ada alasan lagi untuk Ana mengikutiku."
Tepat ketika pintu lift akan menutup, Ana langsung keluar. Mengikuti langkah gadis berambut pendek di depannya.
Julia menghentikan langkah ketika ia merasakan seseorang mengikutinya lagi dari belakang. Ia segera menoleh dan matanya langsung melotot melihat Ana berdiri di depannya dengan sebuah senyuman lebar di belakangnya.
"Kenapa masih di sini?"
"Aku haus."
"Aku tidak memiliki minum."
"Bukankah pintu itu adalah unit apartemenmu?" Ana menunjuk pintu dengan tulisan 4 di atasnya.
"Di bawah ada mini market yang menjual minuman kaleng maupun botol."
"Tapi melangkah ke unitmu jauh lebih singkat dibandingkan aku harus turun ke bawah."
Mimik kesal di wajah Julia sudah tidak mampu ia kendalikan lagi, Dengan hati yang berat, ia bergerak menuju pintu yang tadi ditunjuk Ana, menekan beberapa angka, dan seketika pintu terbuka.
Julia masuk ke unitnya, diikuti langkah Ana. Ana memerhatikan setiap detail yang dilakukan Julia. Mulai tempat gadis itu meletakkan sepatu, tas, mengambilkan Ana segelas air putih, lalu masuk ke kamar mandi.
Tanpa diperintah, Ana duduk di sofa ruang tamu. Matanya bergerak bebas mengamati sekitar. Meskipun warna dinding dan perabotan membuat matanya sakit, tapi untuk ukuran kebersihan, lumayanlah. Walaupun tak sebersih kamarnya.
Ana meminum air putih yang sudah di sediakan Julia. Sambil menunggu gadis itu, Ana memainkan ponselnya.
Meeeooowww….
Sapaan ramah dari bawah kaki Ana membuat gadis itu sontak melemparkan hpnya ke sembarang tempat. Matanya melotot tajam pada mahluk asing tak sopan yang bergelantungan di kakinya sekarang. Wajah memucat.
"JULIIIAAA!!! TOOOLOOONG AKU!!!!" teriak Ana dengan suara yang lantang. Kakinya bergerak rishi, berusaha melepaskan diri dari kucing jenispersia peaknose.
Meeeoowww….
"Aissh! Menjauhlah! Ku mohon…" Ana meringis ketakutan. Namun kucing dibawahnya ini sangatlah manja. Ia enggan melepaskan cengkramannya dari celana jeans panjang yang dikenakan Ana.
Dengan langkah tergopoh, Julia keluar dari kamar mandi. "Ana kenapa?" tanyanya segera. Nada suara gadis itu terdengar khawatir.
"Julia, tolong singkirkan mahluk tak sopan di bawah kakiku ini."
Julia melihat ke arah kaki Ana. Ia tertawa melihat Mocha, kucing Persia berwarna hitam dan putih dibagian perut, bergelantungan manja di kaki Ana.
"Ana takut sama kucing?" Tanya Julia dengan kekehan perlahan. Gadis itu sepertinya sudah tidak kesal lagi. Terbukti jelas dari wajahnya yang bisa mengukir senyuman cantik.
"Tidak! Aku tidak takut padanya!" bantahnya yang jelas berbanding terbalik dengan respon tubuhnya saat ini.
"Kalau begitu biarkan saja dia berada di sana. Dia ingin berkenalan dengan Ana."
Gadis berambut panjang itu seketika bergidik ngeri. "Julia, aku mohon! Lepaskan kucing ini dari kakiku," ucapnya memelas. Suaranya terdengar sudah lemas. Tidak hanya suara, tapi tubuhnya juga sudah lemas.
Julia terkekeh pelan. Kemudian ia mengambil Mocha dari kaki Ana. Menggendong mahluk kecil menggemaskan itu penuh kasih sayang. Tak jarang hidungnya beberapa kali menyentuh tubuh Mocha. Menciumnya penuh kasih sayang.
Ana menatap aksi itu dengan ngeri. Ia segera berlari ke kamar mandi dan menutup pintunya seperti orang membanting barang. Keras.
Julia hanya tertawa lirih. Ia terus memanjakan Mocha yang kini berada dipelukannya.
"Mocha, berbaik hatilah padanya. Aku tidak ingin usahaku mendekatinya jadi berantakan. Kumohon, bantulah aku…"
Julia membawa Mocha ke salah satu sisi ruang. Ia memasukkan kucing tersebut ke dalam kandangnya. "Nah, sekarang kamu main di sini dulu ya. Nanti kalau Ana sudah pergi, kita main bareng-bareng lagi."
Tak lama setelah Julia selesai mengurus kucingnya, ia dikejutkan dengan nada dering di ponsel Ana yang tak jauh dari sofa. Lebih tepatnya berada di kaki sofa yang bersebelahan dengan kandang Mocha.
"Kenapa ponselnya Ana di sini? Apa tadi dia melemparnya?"
Julia hendak melihat pesan yang ditampilkan di layar ponsel itu, namun dengan cepat tangan Ana sudah merampasnya.
"Julia, aku ke sini sungguh ingin membantumu. Aku bersedia menjadi pelatihmu sepulang kita kuliah."
Julia terkejut mendengar kalimat Ana yang tiba-tiba itu. "Ana…."
"Aku juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu hari ini. Anggap saja itu sebagai bentuk tanggung jawabku."
Julia terdiam mendengar kalimat Ana. Kalimat ini….
"Aku pulang. Besok sebelum latihan aku akan menelponmu."
Ana mengambil ranselnya dan bergerak ke arah pintu. Namun setelah membuka gagang pintu, ia justru berbalik lagi menatap Julia.
"Oh ya, terima kasih untuk air putihnya. Dan lain kali jika aku main ke sini, singkirkan mahluk tak sopan itu terlebih dulu."
Blaaaam…
Pintu tertutup dengan rapat. Menyisahkan Julia yang masih tertegun di sana, seolah masih ada Ana di depannya.
***