webnovel

Gadis Bodoh

Pintu kamar Ana terketuk dengan amat kencang. Membuat si pemilik terpaksa membangunkan badannya untuk melihat siapa orang yang sudah mengganggu waktu istirahtnya.

Ketukan tersebut semakin asal dan tak berirama. Ana yang memang lelah karena baru saja melakukan perjalanan jauh, dengan malas berjalan ke arah pintu. Tangannya bergerak lemah memegang gagang pintu. Klek. Pintu terbuka.

"Ana, kita pergi ke rumah sakit sekarang!"

Dokter Ratna mengucap kalimat itu dengan tegas. Eluh yang bagaikan biji jagung itu mengalir deras di tubuhnya.

Ana langsung mengambil mini bag yang ada di mejanya. Ia bergegas meninggalkan asrama bersama Dokter Ratna.

Tak perlu waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah ruang perawatan rumah sakit. Rasa penasarannya sangat tinggi, namun dibandingkan bertanya pada dokter Ratna, ia memilih diam dan menunggu apa yang akan ditunjukkan oleh orang yang merawatnya lima tahun terakhir ini.

Sejak melihat wajah dokter Ratna di asrama tadi perasaannya sudah tidak enak. Dan dokter muda itu justru membawanya ke tempat yang paling ia benci. Membuat Ana harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Cekleek...

Pintu ruangan itu terbuka. Aroma alkohol khas rumah sakit langsung menyerang indra penciuman mereka. Begitupula suara EKG yang meramaikan ruang rawat pasien itu.

Dokter Ratna melangkah lebih dahulu, diikuti dengan langkah kaki Ana.

Gadis berambut panjang itu berjalan masuk tanpa menegakkan kepalanya. Ia berusaha menepis semua pikiran buruk yang masuk. Namun, sejak pertama kali mendengar suara EKG di ruangan ini, ia tidak lagi bisa menahan rasa penasarannya.

Dengan tubuh bergetar, Ana mulai mengangkat kepalanya. Matanya membulat sempurna, juga memerah. Wajahnya menegang, bahkan pembuluh darah venanya terlihat tepat di bawah kulit.

"Apa yang terjadi?" Suara Ana bergetar dan serak, seolah menahan sesuatu. Entah itu marah, atau justru kesedihan.

"Lagi-lagi ayahmu mencoba bunuh diri."

Ana menatap wajah dokter Ratna tajam. Mata merah itu, perlahan mengalirkan air. "Kenapa menyelamatkannya? Bukankah dia sudah memilih untuk mengakhiri hidup?"

"Ana! Jika memang ayahmu ingin mati, diselamatkan seperti apapun juga tidak akan bisa selamat! Meskipun sedikit, ayahmu masih ingin melihatmu tumbuh dengan baik."

"Tapi aku tidak ingin melihatnya hidup!"

Ana meninggalkan ruangan itu dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Ia berlari kencang menyusuri koridor rumah sakit yang sepi dan penerengan seadanya. Ia juga meninggalkan dokter Ratna yang berdiri tercengang mendengar kalimat gadis itu.

***

"Ana, sampai kapan kamu tidak mau mengganggapnya?"

Ana meneguk susu di gelas dengan cepat. Mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun setelah meminum susu. Ekspresi wajahnya juga datar. Namun, justru hawa dingin yang didapatkan Dokter Ratna ketika mereka sarapan bersama pagi ini di apartemen dokter Ratna.

"Baiklah kalau kamu tidak ingin menjawabnya."

Ana meletakkan sendok makannya. Kemudian ia mengambil ransel yang ada di sisinya. "Aku berangkat."

"Tunggu! Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu, Kak. Aku bisa sendiri."

"Tidak. Aku akan tetap mengantarmu." Dokter Ratna bangun dan bergegas meninggalkan meja makan dan mengambil kunci mobil.

"Ayo kita berangkat! Sekalian aku pergi ke rumah sakit."

Tidak ada penolakan yang akan diterima Dokter Ratna. Ia menarik tangan Ana begitu saja. Dan gadis 29 tahun itu hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki dokter pribadinya tersebut.

Saat tangan Dokter Ratna memegan gagang pintu, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ia menagngkat panggil tersebut. Seketika wajahnya memucat dan tegang. Tanpa basa basi, ia langsung masuk ke mobil dan secepat kilat meninggalkan basemen apartemen.

Ana hanya diam memperhatikan apa yang dilakukan dokternya itu.

***

"Ana, terima kasih ya sudah mau menunggu proses operasi ayahmu."

Ana melepas seat belt itu. Ia tidak mengucapkan apapun dan langsung keluar begitu saja dari mobil. Ia berjalan dengan langkah tergesah menuju ke gedung perkuliahan. Sayang, setibanya dia di sana, ruang tersebut telah sepi. Ia pun berencana kembali ke asrama.

Saat perjalanan ke parkiran, ia menghentikan langkah. Bisikan para gadis dan pria di sekitar parkiran sungguh mengusik pendengarannya. Samar, ia mendengar nama Julia dan Cecil sedang bertengkar di kantin.

Suasana hati yang sedang buruk, apabila ia ikut campur sekarang, hanya akan terjadi luapan emosi yang tak seharusnya. Ia pun memilih meninggalkan kampus. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Cecil menarik tangannya.

Ana menelisik wajah Cecil. Ia berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun, yang ia peroleh hanyalah isakan tangis gadis berwajah v-line tersebut. Ya Tuhan, apalagi ini?

"Cecil…"

"Ana… hiks…."

Cecil memeluk tubuh Ana begitu erat. Tangisan gadis itu sungguh kencang. Bahkan mampu memecahkan keheningan halaman parkir kampus yang mulai sepi.

"Ana, jangan pulang dulu. Kumohon…."

Ana menghela nafasnya. Dalam benaknya ia juga mulai penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun akankah semua baik-baik saja jika ia tahu masalah ini? Ia sadar bahwa ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Terlebih pada kondisi seperti ini.

"Ana, aku mohon. Mahasiswa fakultas farmasi menyerangku. Lihatlah! Rambutku bahkan berantakan," rengek Cecil. Isakan tangis gadis tersebut menambah kesempurnaan drama yang sedang ia ciptakan.

Ana mendidih mendengar perkataan Cecil. Ia piker itu hanyalah adu mulut, siapa sangka pertengkeran itu sampai bermain kea rah fisik. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan!

Ana bergegas menuju ke kantin. Langkahnya yang cepat berhasil meninggalkan Cecil jauh di belakangnya. Jarak parkiran dengan kantin yang tidak terlalu jauh membuat Ana cepat menemukan keberadaan gadis berambut pendek tersebut.

"Tunggu!"

Julia yang hendak meninggalkan kantin, seketika menoleh. Diperhatikannya Ana berjalan ke arahnya dengan sorot mata yang tajam.

"Ana…."

Gumaman lirih dari bibir mungil Julia dapat terdengar jelas di telinga Ana. Ia terpaku ketika Ana berdiri tepat di depan matanya.

"Aku dengar ada yang mau jadi preman ya di kampus ini?" sindir Ana.

Suara rendah gadis berambut panjang kemerahan tersebut berhasil membekukan tubuh Julia. Gadis itu kini mematung kebingungan.

"Cecil! Katakan kejadiannya!" seru Ana dengan wajahnya yang masih dingin.

"Di-dia...men-jam-bak...rambutku..."

"Siapa?! Katakan dengan jelas!"

"Ju-julia..."

Mata Ana langsung menatap tajam ke arah Julia. Nampak jelas hati Julia teriris oleh tatapan itu.

"I-itu...ti-tidak...ben-"

"Aku mengajarimu taekwondo bukan untuk menjadi preman dan menghajar orang seenaknya, Julia Devinada!" sergah Ana.

"Ana, perhatikan intonasi suaramu!" Kak Ardian memberikan intrupsi. Ia tidak tahan melihat pertengkaran. Apalagi pertengkaran sesama wanita.

Ana menatap tajam laki-laki di samping Julia itu. "Kamu! Jangan ikut campur senior yang terhormat!"

"Ana, dia benar. Kamu tidak perlu berteriak untuk membelaku." Cecil turut membuka suaranya. Ia mengusap pelan lengan Ana, seolah berusaha meredakan emosi Ana.

Ana menatap Cecil tajam. "Tapi dia sudah bermain fisik denganmu."

"Ana, bukankah permainan fisik yang sesungguhnya itu di ring?"

Ana mengernyitkan dahinya.

"Minggu depan ada pertandingan taekwondo. Jika Julia menang dalam pertandingan itu, aku akan mengabaikan masalah ini sekalipun dia enggan minta maaf. Tapi jika aku yang menang, aku mau dia membuat surat permohonan maaf secara resmi dan membacanya di depan fakultas kedokteran. Bagaimana?"

Bodoh! Ini jebakan! Umpat Ana dalam hati.

Mata Ana semakin menajam ketika bertemu manik dengan Julia. Ia memberikan isyarat agar Julia menolak permintaan itu. Ia tahu dengan pasti, setelah ini Cecil akan meminta pendapatnya. Ia bisa mengusulkan hal lain. Bukan kompetisi pertandingan seperti ini.

"Baik! Kita bertemu di ring pertandingan!" tantang Julia. Ia menghapus jejak air mata yang tersisa di wajahnya.

Gadis bodoh ini! Kenapa kamu menyetujuinya, Julia? Bahkan kemampuanmu jauh lebih buruk dibandingkan Cecil! Tidak hanya luka fisik yang akan kamu peroleh, tapi juga akan melukai harga dirimu!

"Aku tahu Ana adalah juri pertandingan itu. Meskipun kami adalah teman Ana, aku harap Ana tetap bisa memberikan penilaian yang adil." Cecil tersenyum sangat lebar.

Next chapter