webnovel

Hanya Kulit (+)

Julia mengemas barang-barangnya yang berserakan di meja. Ia juga menata beberapa kabel yang menghalanginya untuk berkemas. Di sisinya, Gian dan Desi menatap aneh Julia. Ekspresi gadis 18 tahun itu selalu terlihat jelas untuk disembunyikan di balik wajah cantiknya.

"Ke mall yuk, girls!" ajak Desi memecah keheningan mereka bertiga.

"Boleh. Aku juga sudah lama tidak memanjakan diri," sahut Gian penuh antusias.

Julia mengambil tasnya dan menaruhnya di punggung. "Aku skip dulu ya. Kalian pergi berdua saja. Bye!"

Belum sempat Gian bersuara, Julia telah menghilang di balik pintu kelas yang kini terbuka. Segera gadis itu menutup mulutnya yang terlanjut menganga.

"Julia kenapa sih? Kelihatan gelisah gitu," komentar Desi.

"Mungkin karena pertandingan taekwondo itu."

Desi menoleh pada Gian yang berdiri di sampingnya. "Memangnya ada masalah dengan itu?"

"Entahlah. Dia tidak cerita apapun kan?"

"Iya sih…."

Gian dan Desi saling berpandangan. Terlihat jelas kedua orang itu khawatir pada Julia. Sikap diam Julia hari ini dengan ekspresi datar yang tidak biasa. Serta pergi tanpa berkata apapun seperti tadi? Sungguh itu bukan Julia yang mereka kenal!

Gian menarik tasnya. "Aku akan mengikutinya!" serunya. Sedetik kemudian ia sudah meninggalkan Desi yang terpaku di posisinya.

"Gian gak pernah woles kalo berhubungan dengan Julia," gumamnya sembari menggelengkan kepala.

***

Julia melangkah masuk ke gedung apartemennya. Di belakangnya sudah ada Ana yang membawa ransel gunung ukuran 10 liter. Setelan training dengan kaos dan jaket taslan berwarna senada trainingnya berhasil membuat Julia beberapa kali kehilangan fokus. Penampilan Ana hari ini sungguh keren. Seandainya Ana cowok….

"Ana, ayo masuk. Aku akan buatkan minum terlebih dulu. Oh ya, apa kita perlu membawa infuse water? Kudengar itu sangat baik jika diminum setelah latihan fisik."

"Terserah."

Julia tersenyum sembari mengangguk. Kemudian ia bergerak menuju ke dapur.

Sedangkan Ana berjalan menuju ruang tamu apartemen itu. Ia duduk dan mulai memainkan ponselnya. Kali ini ia memilih permainan balap mobil.

Meeoooowwww….

Ana langsung mematikan layar ponselnya. Ia menatap ngeri mahluk imut yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Julia!!! Tolong singkirkan mahluk jelek ini dulu!!" teriak Ana dengan keras. Seketika ia mengangkat kakinya dan menaruhnya di kursi. Matanya terus bertemu pandang dengan mata tajam berwarna kuning itu.

Meeeoooooowwww….

"Juliiiaaa!!!"

Namun bukanlah langkah Julia yang terdengar, melainkan gemercik air dari kamar mandi yang terdengar.

"Sial!! Hei, menjauhlah!!" seru Ana sembari memebrikan kode menjauh menggunakan tangannya.

Bukannya pergi, kucing bernama Moza itu justru melompat ke arah kursi yang membuat Ana seketika menjauh dari kursinya.

Meeeoooowww….

Matanya yang tajam itu tak sedikitpun memalingkan pandangannya dari Ana yang memucat.

"Hei! Jangan ganggu aku! turun dan pergilah!!" tangan Ana terus memberikan gerakan seolah mengusir kucing.

Meeeeoooowww….

Ana mengamati pergerakan kucing itu. Perlahan ia tahu jika kucing tersebut akan melompat ke tubuhnya. Ana langsung membulatkan mata ketika menyadari hal itu.

"Julia, tolong aku!!! Si jelek ini akan melompat ke tubuhku!!"

Tubuh Ana bergerak tak menentu. Ia berusaha mencari posisi yang aman agar kucing hitam itu tidak berhasil menyentuh kulitnya.

Perlahan tapi pasti, kucing gemuk dengan bulu lebat tersebut akhirnya terbang beberapa sentimeter mendekati Ana. Dengan sigap pula Ana bergerak menjauh. Namun sayang, kakinya menyenggol kaki meja.

Bruuuuk!!

"Aaaauuuhh….."

Ana terjatuh dengan posisi tidur tengkurap. Dirasakannya ngilu yang luar biasa menjalar dari ujung kaki menuju ke ubun-ubun otak. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengangkat kepalanya.

Namun, betapa terkejutnya Ana ketika sepasang kaki berdiri tegap di atasnya. Ia mendongak ke atas. Matanya membulat dengan sempurna. Tubuhnya menegang. Dan dia kehilangan suara untuk bicara.

"Ana, kenapa kamu tidur di lantai?"

Suara merdu tersebut berhasil mengembalikan pikirannya yang sempat melayang. Ana segera berdiri di depan Julia. Ia melingkarkan tangannya ke leher Julia. Memeluknya erat ketika Moza menempelkan ekornya di sekitar kaki Ana.

"Julia, tolong singkirkan dia!!"

"Yak! Bagaimana aku bisa mengambil ini jika kamu memelukku sangat erat?"

Ana ternganga untuk sesaat dan secara reflek melepaskan pelukannya. Ia memalingkan wajahnya yang mulai memerah. Jangan ditanya ritme jantungnya seperti apa karna jawabannya sudah pasti.

Julia berlutut dan mengambil kucing hitam berusia sekitar 9 bulan itu. Mendekapnya dengan erat, dengan jari-jari yang membelai lembut rambut Moza.

Ana menjauh, tubuhnya bergetar hebat. Matanya menatap ngeri apa yang dilakukan Julia saat ini.

Julia menolehkan kepalanya. Melihat Ana dengan senyum yang lebar. "Ana, kemarilah!"

"Tidak!"

"Kamu takut?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Aku tidak mau dekat dengannya!"

"Kenapa?"

"Dia tidak sopan padaku!"

"Tidak sopan bagaimana?"

"Matanya terus mengawasiku seolah ingin memangsaku. Dan benar, dia selalu melompat ke arahku!"

"Hahahahahaha….."

Julia tidak bisa menahan tawanya lagi. Suara yang dihasilkan dari bibir mungil itu memenuhi ruangan. Sekilas tawa tersebut memberikan kehangatan di family room yang kecil ini.

Ana mengambil ranselnya dan segera keluar apartemen studio room itu. Ia membanting pintu hingga memberikan suara yang menggema di ruangan, bahkan di lorong ruangan.

"Dia kenapa?"

***

"Satu… dua… tiga… empat… lima… enam… tujuh…"

Ana menghitung jumlah pergerakan yang dilakukan Julia. Ia masih melakukan tahap pemanasan sit up sebelum memulai gerakan inti. Ia duduk di depan Julia. Salah satu tangannya menahan kaki Julia, sedangkan tangan yang lain menarik salah satu tangan Julia.

"Dua…tiga…empat…lima…."

Greb…braak… Chuuuu…

Julia terjatuh tepat di depan Ana. Bahkan bibirnya menyentuh bibir tipis milik Ana. Keduanya terdiam dengan mata yang memejam rapat. Julia bingung dengan kejadian itu, sedangkan Ana….

Gadis berwajah bule tersebut justru mengerjap berkali-kali. Ia tidak dapat mengendalikan irama jantung yang tiba-tiba mendekat. Terlebih dengan kondisi seperti ini.

Ia memalingkan wajahnya dari Julia ketika berhasil melepas tautan tak sengaja itu. "Julia, bisakah kamu bangun? Tubuhmu sungguh berat," ucap Ana dengan nada menahan sakit.

"Ah! Maaf!"

Julia segera bangun dari atas tubuh Ana. Ia duduk di depan Ana dengan wajah penuh kebingungan. Matanya melihat ke Ana yang memalingkan wajah. "Ana, Ana tidak apa? Apa ada yang terluka?"

"Tidak. Kita istirahat lima belas menit."

Ana segera bangkit dan menjauh dari Julia. Ia masuk ke dalam salah satu ruang di sana. Meninggalkan Julia yang kebingungan.

"Apa aku salah? Tapi aku tidak sengaja melakukannya. Bahkan aku tidak menciumnya!"

Julia memegang bibirnya yang tadi sempat menempel di bibir Ana. "Tapi, bibir Ana sangat lembut. Juga manis."

Julia tersenyum kecil membayangkan adegan tadi. Terus membayangkan hingga kehadiran Ana pun tidak ia sadari.

"Julia, kamu kenapa?"

Julia terperanjat. Ia mengedip beberapa kali hingga akhirnya ia sadar jika pemikiran mesum baru saja menyelimuti otaknya.

"Tidak, Ana. Aku tidak apa."

"Julia, sebelum latihan, ada yang ingin kubilang."

Julia melihat ke wajah Ana penuh perhatian. Menantikan hal serius apa yang sebenarnya ingin dikatakan wanita bule di depannya itu.

"Julia, kejadian barusan, anggap saja sebagai dua kulit yang saling menempel. Itu hanya kulit. Bukan sebuah ciuman."

Julia membisu mendengar perkataan Ana. Seketika ia merasakan hujan lebat menyerbu hatinya.

***

Next chapter