webnovel

02 | Dari Mata Turun Ke Hati

Halaman pondok dipadati ratusan santri berseragam OSIS. Sebelum masuk ke kelas, para santri mendapat pembinaan dari IS atau yang biasa disebut Ikatan Santri. Setara dengan OSIS. Keduanya sama, hanya saja IS tidak hanya mengurus santri di sekolah saja melainkan di pondok juga. Bisa dibilang, tugasnya lebih berat dibanding OSIS.

Anggotanya berisi santri kelas 8 MTs atau 11 MA dan satu kelas di atasnya. Biasanya calon anggota IS dipilih oleh IS sebelumnya, bukan mengajukan diri secara pribadi. Sedikit tidak adil memang, tapi sejak dulu peraturannya begitu.

Lina stay di halaman pondok sekitar semenit yang lalu. Hampir saja terlambat karena menunggu Alvina berdandan. Lain dengan Alvina yang kalah cepat dari Lina, ia harus menerima hukuman sebelum masuk ke kelas nanti.

"Lin!"

Menoleh dengan napas tersenggal. Leher jenjangnya menemukan keberadaan Alvina yang tengah dipelototi anggota OSIS sebab berteriak.

"Aku nitip bawain tas sama bukuku, yah?" Mengangguk. Alvina menaruh tas dan bukunya di samping kaki Lina.

Enggan mencari gara-gara dengan anggota IS. Ia berjongkok. Mengikat tali sepatunya yang terurai.

"Dari kemarin IS dapet banyak laporan, apalagi bagian bahasa. Kalian udah setahun mondok, lho. Kita gak nuntut kalian harus pakai bahasa Inggris dan Arab untuk bahasa sehari-hari seperti di Gontor. Harusnya kalian udah terbiasa ngomong pake bahasa Indonesia!"

Lantang sekali bicaranya. Ya iyalah orang pakai toa. Entah toa dari mana yang dia sewa untuk public speaking. Posisinya kurang menguntungkan. Dapat barisan terdepan padahal dirinya telat. Dipertemukan dengan toa kecil bersuara emas, telinganya tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Menegakkan tubuhnya lagi. Tangannya meraih tas dan buku Alvina untuk dibawa ke kelas. Sudah biasa mereka saling bahu-membahu masalah tas dan buku. Suka kelupaan kalau habis dihukum langsung ke kelas tanpa ambil tas.

"Ini yang telat gak bosen apa dihukum terus? IS aja bosen lho lihat muka kalian. Mau dipakaiin selempang apa gimana? Ngelanggaaar teruuus."

Beralih menceramahi santri yang telat. Alvina turut menundukkan kepalanya mendengar celotehan yang masuk ke telinga kanan keluar telinga kiri. Sama sekali tidak menyentuh hati.

"Bacot bener IS. Gak cape apa tuh mulut nyerocos terus. Ada yang dengerin juga engga."

Menoleh. Mendapati sosok gadis langganan dihukum IS. Lina mengenalinya. Dia Izza. Kecil-kecil cabe rawit memang. Sudah mau naik kelas 11, tapi tingginya stay di 147 cm. Jangan ragukan mulutnya yang asal ceplas-ceplos. Tidak heran IS mengincar kekurangannya kalau lagi gabut.

"Za, pelanin suaranya. Nanti IS denger dihukum lagi," timpal Lina lirih. Izza mencibir.

"Biarin. Gak takut aku. Udah diblacklist IS keknya. Tiap hari adaaa aja alasannya biar aku dihukum. Gak bosen apa ketemu aku terus. Ntar lulus tinggal kangen." Tertawa bersama. Izza benar. IS sekalinya udah ketemu mangsa pasti tidak akan dilepas begitu saja.

Dimata-matai. Terus mencari celah sekecil apapun. Sehari tidak memanggil nama santri langganan dihukum rasanya tidak puas. Padahal mereka tidak melakukan kesalahan besar. Kesalahan kecil selalu diperbesar oleh mereka hingga santri lain menganggap santri yang bermasalah itu sebagai orang buruk yang harus dihindari sebisa mungkin. Takut ketularan buruknya mereka padahal tidak selamanya begitu.

Lina kenal Izza karena mereka sekamar. Meski tidak dekat, Lina sering mendengar ceritanya dari mulut ke mulut atau kadang menyaksikannya langsung.

Mengangguk setuju. "Bener, sih. Kesannya yang buruk jadi tambah buruk padahal mereka ada niatan buat berubah. Sedangkan yang gak pernah bermasalah sekalinya bermasalah malah diabaikan. Suka heran sama mereka, tapi kita punya wewenang apa?" Lina berkata fakta. Izza pun menyetujuinya.

"Aku selama mondok 4 tahun di sini temennya itu-itu aja. Kebanyakan santri baru kayak kamu lebih milih gak berurusan sama aku ketimbang nama mereka jadi jelek karena temenan sama aku." Tertawa hambar. "Padahal kesalahanku ya gak besar-besar amat, tapi kok mereka malah memperbesar. Namaku di pondok ini udah jelek dari awal."

"Tapi kamu milih tetap bertahan di sini, Za. Itu artinya kamu hebat. Kamu bisa ngelewatin semua ini."

"Aku cuma males adaptasi lagi sama lingkungan baru. Belum tentu aku bisa ngedapegin temen seperjuanganku yang kayak sekarang ketika di sekolah baru. Mending tuntasin sekalian di sini. Kita berjuang bareng lagi. Susah nyari temen yang sefrekuensi."

"Bener, sih." Percakapan mereka terhenti karena bel masuk kelas berbunyi. IS menyudahi pidato panjangnya kemudian turun dari atas kursi.

"Jangan dorong-dorongan! Antri. Sabar. Yang telat tadi jangan masuk kelas dulu. Kumpul di halaman sekolah nanti IS nyusul." IS berteriak lagi di saat kerumunan mulai berdesakan melewati gerbang sekolah yang kecil.

"Wahid."

"Sabar palamu peang! IS enak masuk telat gak dihukum lah kita."

Habis sudah kesabaran Lina. Tubuh mereka terhimpit satu sama lain. Rela berdesak-desakan agar tidak dihukum, tapi IS seenak jidat menyuruhnya sabar dan tidak saling mendorong.

"Emang kalau dihukum mau gantiin kita?" Izza berucap susah payah di dekat Lina. Keadaan mereka sama-sama mengenaskan.

"Istnain!"

"Ebuset cuma dihitung sampai 3 doang apa?"

"Ustadzah sampai lima Ustadzah!"

"Masa iya telat gara-gara habis brefing."

"Bahasamu brefing. Diceramahin-lah iya."

Suara santriwati lain saling bersahutan. Terus berusaha mencari celah hingga Lima berhasil menyelinap masuk ke gerbang sekolah bertepatan dengan ditutupnya gerbang itu.

"Tsalasah!"

"Gila! Langsung pegal-pegal badanku."

"Taulah! Kumpul tepat waktu, tapi ke sekolah dihukum. Gak masuk akal banget, sumpah!"

Merapikan bajunya yang kusut. Berjalan ke kelas seorang diri sementara Alvina dan beberapa santri lain digiring ke tengah lapangan untuk dihukum. Sisanya yang telat karena tidak bisa menerobos gerbang sekolah disuruh berbaris. Nama mereka akan diabadikan di buku absen. Jika sudah melebihi 3 kali akan dihukum seperti Alvina.

Peraturan yang aneh.

Mempercepat langkah sebab kelasnya berada paling ujung dekat rumah ustadz. Seketika teringat perbuatannya tadi pagi terhadap halaman rumah ustadz Abi. Ngomong-ngomong, apa pria itu menyapu lagi seperti tadi?

Mengintip dari balik tembok. Benar saja. Ustadz Abi sedang membersihkan halaman rumahnya dengan wajah kusut. Bedanya ia sudah berpakaian rapi. Hendak berangkat kerja sepertinya. Ah, Lina jadi tidak enak hati mengusilinya.

Kembali ke kelas. Menaruh buku dan tas Alvina di bangkunya. Tak lupa menaruh tasnya juga di bangku nomor 2 dari depan bagian tengah. Atasnya ada kipas angin yang hanya tertuju ke arahnya.

Caper dikit boleh kali ya.

Keluar dari kelas. Lina ragu hendak menghampiri ustadz Abi. Tapi, ia harus tanggung jawab, bukan?

"Permisi, Ustadz. Ustadz butuh bantuan?"

Menoleh sebentar kemudian lanjut bekerja. Lina merasa dicuekin. Padahal sudah bersikap seramah mungkin.

"Ustadz? Biar aku bantu, ya." Berniat mengambil sapu lain, tapi langkahnya langsung dicegat oleh ustadz Abi.

"Tidak perlu. Saya bisa sendiri."

"Tapi Ustadz mau kerja, kan? Tadi pagi juga udah nyapu. Kelasku masih kosong kok. Aku bisa bantu Ustadz nyapu depan rumah Ustadz." Bimbang. Gerakan tangannya terhenti dengan kepala menunduk.

"Kamu mantau saya dari tadi?" Menggeleng cepat. Bak orang tertangkap basah.

"Tadi aku lihat Ustadz nyapu waktu berangkat Diniyah. Soalnya 'kan kelasnya deket sama rumah Ustadz." Kali ini, Abi berani menatap lawan bicaranya.

Duh meleleh aku, Mas.

Tetap stay cool, Lina!

"Ustadz berangkat kerja aja sana. Tinggal sedikit kok. Ustadz gak percaya sama aku?" Lagi. Berusaha menyakinkan. Hitung-hitung buat nebus rasa bersalahnya tadi.

Menghela napas panjang. Pria itu akhirnya menyerahkan sebuah sapu ke arah Lina.

"Jazakillah khairan. Saya memang udah telat berangkat kerja. Nama anti siapa?" Abi berterima kasih kepada Lina karena ingin membantunya meringankan beban.

Anti adalah kata ganti perempuan dalam bahasa Arab.

Selangkah lebih dekat. Yes!!

Tersenyum malu. "Amalina, Ustadz. Panggil aja Lina."

"Kelas berapa?"

"Kelas 10 MIPA 1. Kalau ngajinya kelas Tahfidz 1C, Ustadz."

Abi menatap takjub. "Ooh .... Anak tahfidz toh." Lina mengangguk sekali. "Baik. Kapan-kapan saya balas jasa anti. Jazakillah khairan, ya."

"Afwan, Ustadz."

Mencuri-curi pandang ke arah ustadz tampan itu. Tingkahnya kepergok lagi seperti tadi pagi. Lina bertambah malu. Cepat-cepat membersihkan halaman rumah Abi di saat pria itu memanaskan mesin motornya sebentar.

Ya Allah ganteng banget. Gak kuattt!!

"Saya duluan ya, Lina. Nanti sapunya ditaruh di samping rumah saya aja. Jangan dipaksain. Kalau udah ada guru kamu langsung masuk kelas," katanya berpesan sebelum akhirnya pergi bersama motornya.

"Nggih, Ustadz!"

"Lina?"

Terkesiap. Menoleh ke sumber suara. Mendapati 2 orang IS putri menatapnya tajam sembari bersedekap.

"Malam nanti temui saya di ruang IS. Kamu melanggar bahasa tadi."

Sial!

Ia keceplosan!

🐰