webnovel

01 | Daun dan Sapu

Matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Sepagi ini, para santri sudah mulai beraktivitas. Diusahakan tidak tidur setelah sholat shubuh. Pihak pondok menerapkan aturan mengaji ba'da shubuh agar santri-santrinya tetap terjaga hingga waktu sekolah tiba.

Pondok Pesantren Al-Falah namanya. Tempat di mana Lina menuntut ilmu pada masa putih abu-abu. Sang pemilik nama berwajah ayu, Amalina Rahmawati sudah siap di depan loker baju sembari menenteng sebuah buku dan sebuah kitab tipis. Hari ini pelajaran Tajwid.

Menoleh ke arah samping. Tampak teman seperjuangannya tengah memakai jilbab sembari meniup bagian poni. Bertujuan untuk membuat jilbab tetap tegak ketika diterpa angin. Selesai bercermin, Alvina mengambil buku dan kitabnya juga dan menyusul Lina keluar dari kamar.

"Kamu udah mandi, Lin?" tanyanya sembari memindai nama di sandal swallow berwarna biru.

Lina menggeleng kemudian mengambil sendal miliknya. "Nanti habis ngaji. Kamu mau mandi setelahku?" Memamerkan deret giginya yang ternyata gingsul di bagian depan. Alvina memberi jempol karena jawabannya benar.

"Aku ada jadwal ambil makan. Tau sendirilah harus ngantri sepanjang apa. Hidup kita serba antri." Keduanya berjalan beriringan menuruni anak tangga. Kamar mereka ada di atas, bersebelahan dengan tangga.

Mengangguk setuju. "Kamu datangnya yang cepet tapi. Aku mau ikut mandi mba-mba nanti."

"Beja kamu, Lin. Aku selalu ditolak tiap kali minta ijin mandi padahal kamar mandi gak ada yang make. Temennya gak tau keluyuran ke mana. Ditempati bentar gak boleh." Lina tertawa.

"Itu mah kamu yang gak pinter negoisasi. Harusnya didesak biar diijinin. Kalau kamu pasrahan gitu gimana dapetnya."

Menelusuri lorong yang terhubung dengan sekolah. Tempat ngaji mereka ada di kelas yang buat sekolah. Hitung-hitung biar gak kebanyakan tempat. Mereka satu kelas di kelas Tahfidz 1C.

Kelas mengaji dibagi menjadi 2, Diniyah dan Tahfidz. Jika di kelas Tahfidz para santri kebanyakan disuruh menghapal Al-Qur'an dibanding belajar kitab, kelas Diniyah kebalikannya. Hampir tidak ada kelas khusus menghapal di Diniyah. Mayoritas ada di kelas itu. Lina dan Alvina menjadi minoritas.

Kelas santriwan dan santriwati dicampur sebab guru yang mengajar hanya satu. Pihak pondok belum merekrut lagi atau belum ada pelamar yang memenuhi kualifikasi. Kelas Tahfidz memiliki pengecualian. Meski guru mereka satu, kelas mereka tetap dipisah. Dijadwal. Hal itu bertujuan agar mereka tetap menjaga hapalan mereka dengan tidak memandang yang bukan mahram.

Sesampainya di ruang Perpustakaan sekolah yang dijadikan kelas Tahfidz 1C, Lina dan Alvina menaruh buku mereka di meja berdampingan. Baru sedikit yang datang. Memilih untuk keluar mencari udara segar, langkahnya dibuntuti Alvina.

"Ke mana, Lin?"

"Duduk di teras. Lihat orang lewat."

Berakhir duduk di teras bak orang hilang. Keduanya sama-sama bungkam sembari memandang ke arah depan.

Tak sengaja Lina mendengar suara daun kering yang bergesekan dengan lidi. Karena penasaran, ia pun mengeceknya ke samping. Belakang perpustakaan ini adalah rumah para ustadz. Tampak seorang pria berkaos abu-abu memakai bawahan sarung sedang menyapu halaman rumahnya.

Terpesona. Lina sampai lupa mengedipkan mata sampai pria itu memergokinya. Berpaling. Sungguh, ia malu karena tingkah bodohnya diketahui pria tampan itu.

Tampan?

PLAK!

"Lihatin apa sih, Lin! Aku panggil gak nyaut-nyaut." Saat Alvina ingin melihat apa yang Lina lihat, gadis itu langsung mendorongnya menjauh dan kembali duduk di tempat tadi.

"Bukan apa-apa. Kamu jangan ngintip nanti matamu timbilan!" Alvina langsung memegang kedua matanya.

"Ish! Kamu mah yang timbilan! Aku belum ngintip tadi."

"Tapi kamu ada niatan ngintip, kan!"

"Kan gak sampai ngintipin juga kek kamu."

Gugup. Padahal Alvina yang sedang menatapnya, tapi pipinya merona. Terbayang wajah teduh pria yang ditemuinya tadi.

"Apa sih, Lin! Tiba-tiba sewot. Jadi penasaran lihatin cogan mana kamu sampai salting kek gini." Lagi-lagi Lina menahan tangan Alvina yang hendak menemui pujaan hatinya.

Pujaan hati? Bahkan mereka baru bertemu sekali. Tidak pernah bertegur sapa. Apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

"Ish, Lina!!"

Mengerjap. Menoleh cepat ke arah Alvina yang sudah memasang wajah masam.

"Kamu ngomong apa tadi, Vin?"

"Budeg! Awas kamu aku cengcengin nanti!"

Memilih pergi meninggalkan Lina yang otaknya mendadak loading. Tak lama kemudian, guru yang mengajar di kelasnya datang. Lina buru-buru masuk kelas dan duduk di samping Alvina.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh."

Selepas menjawab salam dalam hati, Lina mencondongkan tubuhnya ke arah Alvina.

"Nanti aku kasih lihat orangnya, tapi kamu harus kasih tau aku siapa namanya." Ibu jari dan telunjuknya menyatu membentuk huruf OK.

"Ashiap!!"

🐰

Mengendap-endap bak maling. Alvina dan Lina menjalankan rencana mereka untuk mengintip pria yang berhasil mencuri perhatiannya. Sayangnya, mereka hanya menjumpai rumput bergoyang. Halaman rumah itu sudah bersih. Spontan, Lina menampakkan diri disusul Alvina dengan wajah kecewa.

"Dia nyapu di sini tadi. Gak tau rumahnya yang mana." Menggaruk dagunya yang tak gatal. Alvina mengikuti arah pandang Lina.

"Cowok?" Mengangguk. "Rumahnya yang mana?"

"Yang itu." Menunjuk satu rumah yang berdiri menghadap timur. Rumah lainnya menghadap selatan.

Alvina berusaha mengingat. "Keknya punya ustadz Abi deh."

"Abi?" Lina membeo. Bibirnya berkedut. Romantis sekali namanya.

Alvina mengangguk antusias. "Iya, ustadz Abi. Dia yang ngajar kelas Tahfidz putra. Kita mah gak bakal diajar sama dia."

Terjawab sudah alasan mengapa Lina baru menjumpai pria itu setelah setahun lamanya berada di pondok ini. Ternyata mengajar kelas lain. Kenapa tidak mengajar di kelas Tahfidz putri juga? Toh, tidak ada bedanya. Sama-sama mengajar santri tahfidz. Guru yang mengajar di kelas Tahfidz juga semuanya laki-laki.

Apa ustadz Abi malu sama perempuan?

Membayangkannya saja Lina kembali malu-malu kucing.

"Aku punya ide. Kamu tunggu di sini. Nih, pegangin bukuku bentar!" Alvina belum setuju, tapi Lina sudah bertindak terlebih dahulu.

Setelah memastikan keadaan sekitar aman, Lina menumpahkan semua daun yang ustadz Abi kumpulkan di tong sampah. Membuatnya berserakan seolah-olah kejadian tadi tidak pernah ada. Buru-buru pergi dari sana sebelum aksinya ketahuan orang.

Alvina menggeleng tak percaya. "Gila kamu, Lin. Dihukum baru tau rasa."

Puas. Lina menyungging senyum bahagia.

"Biar aku bisa lihatin ustadz Abi nyapu kayak tadi pagi."

Menatap ulahnya dari seberang. Tidak ada rasa penyesalan di hatinya. Lega karena bisa melakukan apa yang ia inginkan. Tidak peduli nantinya ustadz Abi akan marah padanya. Bukankah itu hal bagus? Mereka jadi punya alasan untuk berinteraksi.

"Kamu suka sama ustadz Abi, Lin?"

Terkesiap. Lina baru sadar jika Alvina masih ada di sampingnya. Kemudian berdeham sebentar.

"Engga kok. Cuma kagum aja." Berusaha menyakinkan Alvina. Mereka berjalan ke arah pondok putri.

"Yakin?" Lina mengangguk yakin.

"Udah ah! Aku mau mandi. Katanya mau antri ambil makan. Ntar gak kebagian nangis."

Spontan, Alvina menepuk jidatnya. Perkara cowok, ia jadi lupa. Buru-buru menitipkan barangnya kepada Lina, lantas berlari menuju dapur. Lina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya itu.

"Embermu tak bawa buat tanda. Nanti kamu tinggal masuk ke kamar mandi."

"IYA! BAWA AJA GAPAPA. SEKALIAN SAMA SABUN-SABUNNYA!"

Tertawa renyah. Lina menaiki anak tangga menuju ke kamar. Resiko penghuni kamar atas. Apa-apa serba turun ke bawah. Mau wudhu, mandi, sholat, beli makanan, sekolah, ngaji, semuanya harus turun lewat tangga.

Memeriksa peralatan mandinya tidak ada yang kurang, Lina kembali ke lantai dasar. Mengantri mandi di depan kamar mandi. Sudah ada banyak santri yang mengantri mandi. Lina ketinggalan. Semoga masih kebagian slot dan air penuh.

Ustadz Abi, yah? Mulai sekarang namanya akan kusebut di tiap doa setelah sholat.

Bismillah jodoh. Tolong dekatkan aku dengan ustadz Abi, Ya Allah. Aamiin ....

🐰