webnovel

03 | Iqob

Di sinilah Lina berada sekarang. Berhadapan dengan para anggota IS bagian Bahasa. Ini pertama kalinya berada di ruang IS.

Karena kecerobohannya tadi pagi ia berakhir di tempat ini. Menjadi tontonan gratis sebelum dihujat habis-habisan. Meski hanya mereka yang melihat, Lina takut jika tiba-tiba digiring ke halaman asrama putri kemudian dipermalukan di sana.

Sebenarnya itu salah satu hukuman berat bagi santriwati yang sering dihukum. Karena Lina baru sekali melanggar setidaknya hatinya merasa lega tidak berada di posisi itu.

Menunduk. Menunggu mereka angkat bicara.

"Kamu tahu apa kesalahanmu sampai kami panggil ke sini?" Lina mengangguk.

"Apa kesalahanmu?"

"Berbicara menggunakan bahasa Jawa."

Mengangguk puas. "Kira-kira hukuman yang cocok buat kamu apa, ya?"

Diam. Mana berani Lina menyumbangkan ide.

"Tunggu, Ukh. Tadi dia juga ngobrol sama ikhwan." Ikhwan sama artinya dengan cowok.

Cari masalah nih orang. Lina gemes, pengin bantah omong kosong salah satu anggota IS itu.

Mendongak. Mencuri pandang kepada siapa yang barusan berbicara.

Ukhti jilbab pink aku tandai kamu!

Cewek berjilbab cokelat jadi terhasut omongannya. "Bener gitu?" Melempar pandang ke arah Lina. Tidak bisa memberi mereka gelengan atau menggangguk.

"Tadi saya cuma bantu ustadz bersihin halaman rumah," jawabnya jujur. Semoga aja mereka paham. Lagian, Lina juga tidak mengada-ada. Apa salahnya membantu orang yang membutuhkan bantuan? Terlebih ustadz sendiri.

Berpikir sejenak. "Tapi ada ikhwan juga 'kan di sana? Kenapa harus kamu? Apa ustadz ada nyuruh kamu buat bantuin dia?"

Ngajak ribut nih orang.

"Ada, tapi sama aja ngobrol sama ikhwan, kan?" Menekankan kalimat di akhir ucapannya seraya melirik cewek berjilbab pink tadi. "Mending saya turun tangan daripada nambah hukuman, Ukh."

"Biar apa, hm? Kamu niat cari perhatian ke ustadz? Padahal kamu gak diajar sama dia. Kenapa pula kamu inisiatif bantuin dia?"

Semakin dipojokkan. Sungguh, Lina tak suka berada di situasi sekarang.

Mencoba berani usai menyakinkan diri sendiri. Ia pun mendongak. "Apa salahnya seorang santri membantu pekerjaan ustadz? Apa pondok ngeluarin aturan bahwasannya santri tidak diperkenankan membantu ustadz?" Diam. Mereka semua diam.

Merasa dirinya benar, Lina pun melanjutkan, "Seharusnya hal kayak gini gak dipermasalahin. Kalau iya, apa kabar sama para ukhti yang mengobrol dengan ikhwan ketika di kelas bahkan ketika ada acara?"

Cewek berkerudung pink mulai terhasut. Menunjuk wajah Lina dengan telunjuknya.

"Heh! Jaga ya ucapanmu! Berani bener ngomong kayak gitu ke IS. Sopankah? Udah ngerasa paling bener aja kamu."

Menarik sudut bibirnya sedikit. Lina tidak akan kalah soal beradu argumen.

"Emang saya bener kok, Ukh. Harusnya Ukhti mikir sampai situ sebelum ngehakimin saya! Saya juga punya hak membela diri kalau kalian semena-mena ke saya." Tarik napas, buang. Mencoba sabar.

"Saya bakal nerima apapun hukuman dari kalian, tapi tolong. Kalian boleh mengobrol dengan ikhwan, kenapa santri lain yang bukan IS gak diperbolehkan?"

"Ya itu karena kita ngomongin hal penting! Kalian gak ada urusan sama lawan jenis. Gak punya kewajiban ngurusin acara pondok dan sekolah kayak kita ini. Gak usah banding-bandingin kita sama kamu! Kita juga pernah ngerasain di posisi kamu. Seharusnya kamu gak ngomong gitu karena kamu yang bakal jadi IS periode selanjutnya."

Membasahi bibirnya sebentar. Lama kelamaan Lina kesal juga meladeni cewek jilbab pink yang dari name tag diketahui bernama Zahroh.

"Iya, Ukh. Saya yang salah. Sekarang apa hukuman dari Ukhti?"

Ukhti adalah panggilan kakak/senior perempuan ketika di pondok. Lebih afdol daripada menggunakan embel-embel 'kak.'

Mengalah. Satu-satunya hal yang perlu ia lakukan untuk menyudahi perdebatan ini.

Sebagai ketua bagian Bahasa, cewek berjilbab cokelat tadi kembali angkat bicara, "Mulai besok, kamu ikut hukuman lari sebanyak 7 putaran bareng santri yang telat di lapangan sekolah. Hapalin surat Ar rahman kemudian disetorkan ke salah satu di antara kita berempat. Tenggat waktunya sampai Minggu depan. Terus kamu juga harus bersihin tempat cuci piring sendiri tiap pagi dan sore selama 3 hari. Gimana? Sanggup?"

Gak adil banget sumpah. Ngomong sekata doang hukumannya bejibun, batinnya menggerutu.

Mengangguk pasrah. "Sanggup, Ukh."

"Ya udah. Kamu boleh ke kamar. Oh ya jangan lupa tulis nama kamu di buku catatan." Menunjuk buku merek Gelatik yang tergeletak di atas meja. Lina mengambilnya kemudian menuliskan namanya di sana.

"Syukran, Ukh. Assalamualaikum." Sekesal-kesalnya Lina, ia tetap mengucapkan terima kasih kepada mereka. Entah ucapan terima kasih untuk apa padahal mereka memberinya hukuman.

"Wa'alaaikumussalam warahmatullah."

Begitu keluar dari ruang IS, Lina menghidup oksigen malam secara rakus. Berhadapan dengan manusia bak malaikat pencatat amal rupanya cukup menguras emosi.

Berjalan cepat menaiki anak tangga. Sesampainya di ambang pintu kamar, hatinya bimbang melangkah masuk. Terasa asing padahal kamar sendiri. Menengok sebentar. Alvina tidak ada di dalam. Lina memutuskan untuk tidak jadi ke kamar dan memilih pergi ke kamar sebelah.

"Mending cabut ke kamar sebelah. Kamar sendiri hawanya kek neraka."

Pelarian. Ia butuh yang namanya pelarian. Kamar bukan tempatnya berpulang. Tidak ada yang menginginkan kehadirannya di sana, kecuali Alvina. Temannya itu juga sering berada di kamar sebelah ketimbang kamar sendiri. Sebelas-dua belas dengannya.

"Assalamualaikum. Yuhuuu .... Im comeback siapa yang kangen?"

Hanya di tempat ini, ia bisa menjadi diri sendiri. Disambut hangat oleh penghuni kamar yang jumlahnya hanya 6 orang. Wajah mereka berseri-seri melihat kedatangan Lina.

Meta, gadis cantik, kurus, dan berkacamata melambai ke arah Lina. Menyuruhnya mendekat. Di depannya sudah ada toples berisi cemilan. Bermaksud menawarkannya makanan.

"Ih ... sriping! Minta dong. Siapa yang beli?" Mencomot begitu saja. Meta tersenyum melihat Lina mengunyah keripiknya.

"Aku. Tadi habis dijenguk terus dibawain ini." Mencomot lagi dan lagi. Lina jadi ketagihan.

"Enak. Minta ya, Met."

"Makan aja. Kayak sama siapa."

Atensinya berpindah ke arah Nabila. Teman sekelas yang hobi men-sketsa. Tubuhnya berisi dengan kantung mata hitam yang menjadi ciri khasnya. Mereka tampil natural tanpa make up.

"Lagi gambar apa, Bil?" tanya Lina basa-basi.

Sibuk menggambar. "Pengin gambar wajahnya Kristal." Ia salah satu penggemar girlgrup dari negeri Ginseng sama sepertinya.

Mengangguk. "Nanti aku lihat, yo. Aku pengin belajar sketsa tapi gak bisa."

"Hm."

"Gimana hukumanmu, Lin?"

Alvina datang dari arah pintu membawa teko listrik yang baru diisi air. Kemudian memanaskannya.

Menoleh. Wajahnya kembali lesu. Sebenarnya Lina menunggu momen di mana mereka bertanya lebih dulu padanya tentang kejadian tadi. Alhamdulillah terwujud.

"Gila. Banyak banget hukumanku, sumpah. Padahal cuma ngomong 'nggih' doang."

Meta menyikut. "Hush! Jangan keras-keras nanti ketahuan IS!"

"Taulah. Badmood aku. Cuma gitu doang hukumanku harus lari lapangan, bersihin cuci piring, sama hapalan satu surat. Gila emang."

Terkejut. Alvina menimpali, "Buset. Banyak bener. Harusnya hapalan aja udah cukup orang gak berat-berat amat. Dendam kali ke kamu. Kamu buat ulah apa ke mereka?"

Mengangkat kedua bahunya tak tahu. "Aku cuma debat aja tadi. Bentaraan. Baper banget sumpah kek bocah."

Beruntung sekali kamar itu tidak punya pembimbing. Biasanya pembimbing ini yang jadi mata-mata IS. Si pencari kesalahan dalam kesempitan. Kamar mereka lain dari yang lain. Pembeda.

"Debat apaan?" sahut Nabila yang mulai tertarik. Sketsanya disingkirkan. Mereka benar-benar pendengar setia Lina.

"Masalah ngobrol sama ikhwan. Tadi pagi aku sempet nawarin diri buat bantuin ustadz Abi. Eh dipermasalahin sama ukhti Zahroh 'kan kesel aku. Cuma bantuin, lho. Dikira aku caper ke ustadz Abi."

Yaa tapi emang bener sih caper. Tapi 'kan lebih ke niat bantuin, sambungnya dalam hati.

"Parah, sih. Tinggal terima nasib. Lagian pake debat segala, sih. Ditambah juga 'kan hukumanmu." Lina mencebik kesal. Alvina ini sebenarnya berpihak padanya apa ke IS, sih?

"Temen lagi sedih bukannya dihibur apa dibantuin malah dikatain." Alvina terkekeh sembari terus mengecek suhu tekonya.

"Bantu ringanin hukumanmu, huh?! Sorry. Aku gak sebaik itu."

"Dasar air tuba! Ogah aku kalau disuruh bawain tas sama bukuku lagi."

"Air tuba matamu jereng!" Spontan, menutup mulut dan mengecek keadaan luar. Aman.

"Gak usah ngegas juga! Hush! Pergi sono! Tambah emos aku lihat mukamu."

"Dih, baperan. Orang aku ke sini mau masak mie kok."

"Gak ada yang nanya!"

"Cuma ngasih tau. Bukan ke kamu juga."

"Idih, siapa juga yang mau dikasih tau."

"Ada. Meta noh! Iya gak, Met?" Meminta dukungan, Meta pura-pura sibuk membaca buku catatan.

Bersungut kesal. Tatapannya pindah ke Nabila. Mencari pembelaan lain. "Iya gak, Bil?"

"U ... u gak denger. Telingaku budeg."

"Ih!" Geram. Alvina berdecak kesal kemudian bangkit. Pergi ke kamar membawa tekonya yang sudah mendidih.

Sepeninggal gadis itu, ketiganya tertawa bersama.

"Mamam tuh dicuekin." Lina yang paling puas menertawainya.

🐰