webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
18 Chs

Chp3: First Weekend

"Ah, bahan makananku habis...."

Pagi hari di akhir pekan pertamaku di sekolah ini diawali dengan kehabisan bahan makanan. Di asrama yang bagaikan apartemen pribadi ini, siswa diberikan 1 kamar dengan 1 ruangan tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Setiap kamar siswa juga diberi perabotan rumah tangga seperti kompor, panci, kulkas kecil, dan lainnya.

Di dalam kulkas kecil seukuran 100x100 sentimeter itu juga telah disediakan beberapa bahan makanan berupa sayuran dan beberapa potong daging. Tapi stok itu hanya cukup seminggu untukku, makanya di hari Sabtu ini sudah kehabisan bahan makanan. Untuk itu aku memutuskan untuk pergi ke mal—pusat perbelanjaan—di tengah pulau ini.

Mal yang berada di tengah pulau buatan ini merupakan mal yang cukup kecil jika dibandingkan dengan mal pada kota besar di Indonesia lainnya. Memiliki gedung 5 lantai ditambah basemen, dengan luas sekitar 50 meter persegi. Berbeda dengan mal di luar sana yang merupakan bisnis swasta, mal di pulau ini termasuk salah satu aset negara yang dikhususkan untuk warga pulau ini saja.

Berjalan memasuki mal itu, menaiki eskalator menuju lantai 2 tempat bahan-bahan untuk kebutuhan sehari-hari berada. Setelah sekitar lebih 20 menit berkeliling, aku akhirnya membeli minyak sahur, 2 potong daging ayam yang dibungkus rapi menggunakan plastik, dan sejumlah sayuran hijau.

Aku dengan sengaja membeli bahan makanan untuk stok satu minggu saja, karena aku tahu beberapa sayuran yang kubeli tak akan bertahan jika lewat dari satu minggu.

Menghampiri kasir, kemudian langsung melakukan pembayaran dan segera keluar dari mal tersebut. Sekarang pukul 2 siang, saat sinar matahari begitu menyengat pada bulan Juli ini. "Aku haus," gumamku.

Tak lama, sekitar 80 meter dari mal, terdapat kedai kopi yang memiliki nuansa hijau dan menyegarkan di teriknya matahari. Sebenarnya di mal tadi aku juga melihat ada tempat makan yang menyediakan makan serta minuman pada menunya, tapi aku belum cukup haus pada saat itu.

"Tak ada salahnya aku mampir ke sana sebentar." Dengan membawa kantung belanjaan, aku melangkahkan kakiku menuju kedai kopi itu.

Ketika aku membuka pintunya, seketika terdengar bunyi lonceng kecil yang tergantung di sudut pintu kedai. Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya menyambut kedatanganku. "Selamat datang!"

Aku melihat ke sekeliling kedai sebentar. Kedainya tak terlalu luas, hanya sekitar setengah dari luas ruang kelasku, dengan meja serta bangku estetik bernuansa merah gelap, tumbuhan hijau yang terawat rapi di beberapa sudut kedai, dan lampu pijar yang redup.

Sedangkan untuk meja barnya sendiri cukup enak dipandang mata. Ku pikir aku pernah mengunjungi tempat serupa setengah tahun yang lalu di negeri sakura, tetapi apa yang disajikan oleh mereka berbeda dengan di sini.

Membuka mataku sekali lagi, aku menyadari kalau di dalam kedai ada 3 orang yang sedang bersantai dalam sunyinya kedai. Seorang master dari kedai ini yang sedang mengelap cangkir kopi, seorang pria berpakaian dinas guru yang sedang membaca koran harian, dan seorang gadis yang duduk di bangku dekat kaca di sudut ruangan bar.

Karena dia membelakangiku, aku hanya bisa melihat rambut dan punggungnya saja. Akan tetapi setelah dia menoleh, aku dengan cepat mengenal mata hijau berkilau itu. "Ayunda?"

"Oh, Faresta?" Menyadari keberadaanku, dia membuat ekspresi sedikit terkejut dengan alis naik dan kelopak mata yang melebar. "Sini-sini!" ajaknya ditambah dengan gerakan tangan.

Jujur, aku tidak terlalu suka bergaul dengan Ayunda maupun Keysha... mungkin 'kah keputusanku mampir ke sini adalah sebuah kesalahan fatal? Siapa tahu, tapi untuk sekarang aku tak boleh begitu saja mengabaikan ajakan dari Ayunda.

Aku dengan segera menuju meja yang sama dengan Ayunda, meletakan kantung belanjaanku dan duduk berseberangan dengannya. "Ah-e... selamat siang, Ayunda...." sapaku canggung.

"Ahaha, kenapa kamu canggung begitu? Bukankah kita sudah saling kenal selama satu minggu ini?"

Perkataan Ayunda tak sepenuhnya salah mengenai alasanku menjadi sedikit canggung. Tapi alasanku sebenarnya karena pakaian kasual yang dipakai oleh Ayunda saat ini.

Memakai dress sebatas lutut berwarna abu-abu yang dibalut garis-garis vertikal putih. Meskipun cukup tertutup di bagian lengan, dress itu cukup mengekspose betis putih mulusnya. Tak hanya pakaian, gaya rambutnya juga berbeda dengan saat dia berada di sekolah. Biasanya dia memakai gaya rambut kucir dua, tapi sekarang dia menguraikan rambutnya sampai punggungnya.

"Bagaimana kalau kamu memesan minuman terlebih dahulu?" saran Ayunda.

"Ah baik...." Aku mengangkat tanganku, membuat master dari kedai ini menyadarinya kemudian berkata, "Ma-master, kapucino-nya 1!"

"Baiklah...."

Sekarang apa? Ayunda menatap wajahku sembari menikmati secangkir kopi dingin dengan tambahan krim putih dan bola-bola kecil berwarna coklat. Dia membuat atmosfer meja tempat kami berada menjadi semakin canggung sembari aku menunggu pesananku selesai.

"Faresta, bagaimana menurutmu tentang SMA ini?" celetuk Ayunda.

"Eh?" Aku merasa deja vu dengan pertanyaan itu. Itu pertanyaan yang sana dengan yang ditanyakan Yudha beberapa hari yang lalu. Apa yang harus aku jawab? Mungkin menjawab dengan jawaban yang sama tidaklah terlalu berguna.

Sebaiknya aku sedikit bersandiwara di sini. "Menurutku, cukup menyenangkan sekolah di sini. Meskipun masih dalam keterbatasan karena sistem yang diterapkan, itu tidak menggangguku sama sekali. Ya walaupun aku masih belum mempunyai teman bicara di kelasku."

"Heh... begitu ya. Ngomong-ngomong Faresta, kenapa kamu selalu terpatah-patah saat bicara dengan kami? Padahal tadi bisa kok kamu bicara normal."

"Ah, itu, aku hanya sedikit gugup saja," ujarku dengan wajah masam.

"Ini pesanannya." Master kedai yang sudah berada di dekat meja kami meletakan secangkir kopi kapucino ke depanku. Setelah master kembali ke barnya semula, fokusku kembali pada Ayunda.

"Begitu ya."

"A-ayunda...."

"Iya?" Ayunda menajamkan tatapannya padaku yang menyebut namanya.

"Eh-apa yang kamu lakukan di sini? Menunggu seseorang?"

"Tidak, aku hanya bersantai menghabiskan hari," jawabnya. Aku tak melihat kebohongan dalam kata-katanya, jadi dia benar sedang duduk bersantai di kedai ini tanpa menunggu siapa pun. Lalu, kenapa dia terkejut dengan kehadiranku?

"Kalau kamu?"

"Aku baru pulang dari berbelanja bahan makanan."

"Oh, kamu bisa memasak, Faresta?"

"Ya-yah... begitulah."

Aku menyeruput kopi kapucino panasku sembari menerima tatapan aneh dari Ayunda yang membuatku salah tingkah. Lagi pula, kenapa aku memesan kopi panas saat matahari sedang terik-teriknya?

Ah... sepertinya aku telah membuat kesalahan. Panasnya sang surya ini sepertinya sudah membakar otak bagian kiriku.

"Nah Faresta, mau mendengar dongeng?" cetus Ayunda dengan sangat mendadak.

Apa yang ada di pikiran gadis ini? Apakah otaknya juga terbakar karena panasnya hari? Mana ada orang yang mau mendengar dongeng di waktu seperti ini. Apa yang harus ku jawab? Tidak baik menolak tawaran orang lain, tapi bukan berarti aku mau mendengar cerita darinya....

"Dahulu-dahulu sekali, hiduplah sebuah biji kopi pada kota kecil di barat daya." Tanpa mendengar persetujuan dariku, Ayunda langsung memulai ceritanya.

"Kopi itu dibenci, dijauhi, dikucilkan, dan dianggap tak berguna. Itu semua karena dia memiliki warna hitam dan juga pahit. Si Kopi sangat sedih dan karena merasa tak berguna, dia pun memohon pada Tuhan untuk membuat dirinya tak pernah ada. Tapi sayangnya Tuhan tak mengabulkan permohonannya yang itu, melainkan Tuhan mengabulkan permohonannya yang lain... permohonan dari lubuk hatinya yang terdalam. Apa kamu tahu apa permohonannya, Faresta?"

Ayunda menatapku, membuat mata kami bertemu. "Kopi ingin dia diterima oleh yang lain dan berguna."

"Oh, tepat sekali. Tuhan pun mempertemukannya dengan Gula yang manis. Gula dan Kopi mulai berteman dengan baik, perlahan orang-orang lain tahu kalau ternyata si Kopi bisa menjadi manis ketika bertemu dengan Gula. Waktu berlalu... Kopi sekarang memiliki banyak teman, dari susu, krim, coklat, dan lainnya. Bahkan teh yang jadi musuh bebuyutannya menjadi temannya. Tamat~"

Jadi, pada akhirnya apa yang ingin dikatakan oleh gadis ini? Apa dia hanya menceritakan omong kosong saja? Aku bahkan tak menangkap pesan moral apa pun dalam dongeng tersebut.

"Bagaimana, menarik bukan?"

"Hahaha...." Aku tidak boleh bilang tidak.

Kopi kapucino-ku sudah habis, begitu juga milik Ayunda. Sekarang sudah lewat pukul setengah 3, sebaiknya aku segera pulang dan meletakan belanjaanku.

"Ah-mau pu—"

"Oh iya Faresta, kamu dapat dari mana kemeja itu?" tanya Ayunda memotong kalimatku.

"Ah ini, ini kemeja yang sepertinya disiapkan sekolah, soalnya dari hari pertama sekolah aku sudah menemukan kemeja ini bersama seragam sekolah lainnya di lemari kamar asramaku."

"Sudah kuduga. Pantas saja desainnya terlalu sederhana, bagiku itu kurang cocok untukmu."

Padahal bagiku ini sudah lebih dari cukup. Kemeja hitam polos dengan lengan panjang, bukankah tak ada yang salah dengan hal itu?

"Mumpung masih belum sore, mau pergi berbelanja pakaian bareng?" cetus Ayunda dengan senyuman.