webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Chp3: First Weekend (2)

"Bagaimana menurutmu?"

"Memalukan...."

Memakai baju tradisional Jepang bernama kimono, berwarna biru gelap dengan corak awan berwarna putih. Baju yang unik dan keren, tapi jika dipakai di tempat dan waktu yang kurang tepat rasanya sedikit memalukan.

Saat ini aku sedang menuruti perintah dari Ayunda untuk mencoba beberapa jenis baju yang disediakan di mal ini. Memalukan, meski bajunya cocok dengan postur tubuhku, tapi entah kenapa aku tak bisa menahan perasaan aneh ini.

"Baiklah, kita beli yang ini!" celetuk Ayunda.

"Eh?"

"Dari semua yang sudah kamu coba, sepertinya baju ini yang paling cocok, Faresta."

Sebelumnya aku sudah mencoba berbagai jenis baju yang unik serta aneh, memakai 1 dari mereka saja sudah membuat wajahku kecut. Itu karena tak ada yang cocok dengan tubuh serta wajah kelamku ini, tapi bukan berarti hanya karena kimono ini cocok dengan tubuhku, aku bisa membelinya.

"T-tidak! Aku cuma akan membeli kemeja dan baju kaus saja," tolakku. Aku masuk lagi ke tempat ganti pakaian, melepas kimono biru ini dari badanku dan kembali menggantinya dengan kemeja membosankan yang kupakai sebelumnya.

"Tidak, kita akan membeli yang ini." Ayunda masih bersikeras ingin membeli kimono memalukan itu.

"A-aku tidak akan membelinya!" tegasku. Aku mengambil 1 kemeja dan 2 kaus yang tergeletak di samping kantung belanjaanku kemudian melanjutkan, "La-lagi pula poinku sudah tinggal 4 juta lagi."

"Kalau begitu aku yang beli, bagaimana?" tawar Ayunda. Dengan senyum liciknya yang sudah beberapa kali ku lihat seminggu ini, dia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan jumlah poinnya. 5 juta 200 ribu, jumlah poinnya bahkan lebih banyak dari pada poin milikku seminggu yang lalu.

Aku harus menolaknya. Meskipun dia mempunya poin yang banyak itu, harga baju kimono itu sendiri seharga lebih dari 500 ribu poin. Aku harus menolaknya bagaimanapun caranya, tidak baik membuang uang berupa poin itu untuk hal yang tidak berguna seperti ini.

"I-itu... tidak baik menggunakan poin sebanyak itu hanya untuk baju yang belum tentu akan berguna...." Aku membuat wajah yang rumit, bisa kurasakan sudut bibirku melengkung dengan paksa, dan juga kedua alisku bertemu.

Bukan hanya merasa tidak enak membuat Ayunda menggunakan poinnya untuk hal ini, tapi juga aku merasakan firasat buruk dengan kehadiran baju kimono itu.

"Yah, apa boleh buat. Mari beli kemeja dan baju kaus saja." Ayunda memasang wajah menyerah.

Baguslah kalau begitu. Aku memang tak mau membuatnya membeli baju ini, ataupun aku membeli dengan poinku sendiri, tapi bukan berarti aku mau menolak tawarannya... lagi pula Ayunda sudah mau mengajakku keliling berbelanja.

"Ba-baguslah. Kalau begitu aku akan pergi ke kasi—"

"Lho, Ayunda? Faresta juga?" Kalimatku terputus karena suara yang muncul tiba-tiba. Aku dan Ayunda menoleh serentak, mendapati wajah yang tak asing lagi.

"K-key?" ujar Ayunda kaget.

"Halo, Ayunda, Faresta juga."

Itu adalah Keysha yang mengenakan pakaian kasualnya. Selain dia ada lagi seorang gadis di belakangnya, gadis berambut hitam yang di kucir kuda, dengan mata biru dan kulit sawo matang.

"Apa kalian sedang kencan?" tanya Keysha.

"Ke-kencan?! Ti-tidak, ini bukan...." Menangkap pertanyaan dari Keysha langsung membuatku tergagap. Bukan karena malu atau apa, tapi aku merasa kalau hal seperti itu bisa saja mengganggu Ayunda.

"Tidak kok. Aku hanya menemani Faresta memilih beberapa baju untuk dia sehari-hari." Ayunda menjelaskan dengan senyum rajanya.

Aku tahu... ada yang aneh, Ayunda berbohong, tapi kenapa? Dalam kalimatnya terdapat kebohongan yang rumit, sesuatu yang tak akan diketahui bahkan oleh dirinya sendiri... tapi apa?

"Oh, begitu ya, mencurigakan sekali Yah, mau apa pun itu tidak masalah sih." Keysha sedikit menelusur tubuhku dan Ayunda dengan matanya. Kemudian dia menyadari sesuatu. "Oh iya, ini kenalkan temanku dari kelas IPA 1, meski begitu aku baru kenal dia 3 hari yang lalu."

"Veronika Amelia, kelas 10 IPA1. Salam kenal." Dia mengangkat lengannya dan membentuk jari jemarinya jadi huruf V.

"Salam kenal, aku Ayunda Anastasia dari kelas yang sama dengan Keysha."

"Ah-itu. Faresta Haerz, dari IPA3." Untuk yang ke sekian kalinya ucapanku terpatah-patah karena terlalu gugup.

Tapi hanya dari sepatah kalimat dariku, ekspresi dari Veronika yang berada di depanku ini mendadak berkilauan. "Eh? IPA3? Apa kamu kenal dengan Azraei Tio? Atau kamu temannya? Boleh kenalkan aku ke dia enggak?"

"Eh-eh? Itu... Tio? Tio yang itu?" Hanya ada satu Tio yang kukenal, hanya Azraei Tio yang itu. Tapi kenapa gadis ini begitu gembira, apakah dia penggemar atau semacamnya dari Tio? Yah... itu wajar, pasalnya Tio itu mencolok serta unggul dalam berbagai bisang.

"Haha, aku baru ingat kalau aku mengenal Veronika karena dia melihatku berbicara dengan Tio hari Selasa kemarin."

"Apa dia yang kamu ceritakan kemarin, Key?"

"Iya, dia lah orang yang mau mendekati Tio." Keysha mengangkat tangannya sebatas dada dan mengarahkannya ke Veronika yang berada di sampingnya.

"Hei, apa dia cowok yang kamu bilang temannya Tio?" tanya Veronika pada Keysha.

"Iya loh. Bukankah temannya juga tak tampan?" canda Keysha.

Veronika mendekatiku dan berkata, "Hei, Senin, bisakah kamu mengenalkan aku pada Tio?"

Bagaimana aku menjawabnya? Aku tidak sanggup menolaknya, tapi aku juga tak boleh asal memutuskan sesuatu yang menyangkut orang lain. Bisa saja Tio tidak menyukainya dan malah marah kepadaku karena bertindak seenaknya.

Itu adalah skenario yang tidak boleh terjadi, aku tidak bisa membuang pertemananku dengan Tio yang hanya satu-satunya orang yang dapat ku ajak bicara di kelas. Lagi pula Tio bisa saja membantuku untuk bergerak di masa depan, jadi kehilangan kepercayaan darinya bisa merugikanku.

"Ke-kenapa tidak minta tolong pada Keysha saja? Bukankah Keysha dan Ayunda juga dekat dengan Tio?"

"Selain karena masalah di hari pertama dan sering makan bersama di kantin, aku tidak terlalu dekat dengan Tio," jawab Keysha.

"Aku juga. Malahan, antara aku, kamu, Keysha, Yudha, dan Fajar, mungkin aku yang paling jarang bicara dengannya," jawab Ayunda dengan sedikit mengingat-ingat beberapa hal dalam kepalanya.

"Ka-kalau begitu aku juga! Jumlah aku bicara dengannya dikelas saja bisa dihitung dengan jari, kami hanya berbicara saat pergi ke sekolah di pagi hari dan di kantin saja."

Aku mengatakan faktanya. Di kelas, aku hanya pernah bicara dengan Tio 4 kali saja. Selain itu kami hanya bicara saat perjalanan dari asrama ke gedung sekolah dan saat di kantin saja, selebihnya kami sangat jarang berinteraksi satu sama lain. Bahkan ID Line miliknya saja baru kudapatkan kamis kemarin.

"Tuh 'kan. Dari kita berlima kamu yang paling dekat dengannya, Faresta."

"Jadi, namamu Faresta 'kan? Senin, mohon bantuannya."