webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
18 Chs

Chp2: Week 1

Kebohongan hanyalah kebohongan. Meskipun ada alasan di baliknya, itu tidak akan mengubah faktanya.

***

Apa kalian pernah mendengar tentang kekuatan supernatural, makhluk mitologi, alam gaib, dunia paralel, atau sihir? Aku yakin kalian pernah atau bahkan sering mendengarnya, entah dari mana pun itu.

Jika memang, apakah kalian mempercayai hal itu benar-benar ada di dunia modern dengan segala ilmu pengetahuannya ini? Jika kalian pernah melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri, maka kalian akan percaya, begitu juga sebaliknya. Aku cukup yakin akan hal itu.

Lalu bagaimana dengan aku sendiri?

Aku adalah orang yang hanya percaya dengan apa yang sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri, bahkan untuk eksistensi yang disebut Tuhan. Tapi hari itu aku menemukan Tuhanku sendiri—lebih tepatnya Dewaku sendiri—ketika keputusasaan menimpa.

Alih-alih diberikan hidayah, aku mendapatkan sebuah kutukan berupa kemampuan supernatural—yang membawaku ke dunia berbeda—yaitu mengetahui kebohongan dari kata-kata seseorang.

Kemampuan aneh yang seperti mengatakan padaku kalau seseorang sedang berbohong. Hanya melihat tingkah laku dan gerakan tubuh seperti mata, lengan, kaki, jari, bahkan dari nada suara. Dan ketika aku benar-benar fokus, aku bahkan bisa merasakan suhu tubuh, pernapasan, detakan jantung serta suara hati orang lain.

Konyol, 'kan? Tapi inilah kenyataannya.

Ketika nada bicara orang lain mendadak berubah, ketika mata orang lain mendadak mengubah pandangannya ketika berbicara, ketika tangan—organ tubuh—melakukan tindakan tertentu, ketika detak jantung orang lain berubah tak beraturan, saat itulah aku mengetahui kalau sebuah kebohongan terjadi.

Tapi itu hanyalah cangkang dari kemampuan ini. Mau bagaimana pun kemampuan ini hanyalah sebuah kemampuan supernatural, meski diteliti sejauh apa pun, sangat kecil kemungkinan membongkar misterinya.

***

"Jam pertama sampai jam ketiga hari ini adalah mengeksplorasi sekolah ini. Karena sekolah ini cukup luas, jadi tolong untuk memperhatikan sekitar agar tidak tersesat."

Di pagi hari yang cukup sejuk untuk pagi di bulan Juli, ibu Audy memberikan kami instruksi untuk menjelajah beberapa tempat di sekolah ini. Hari ini adalah hari kedua, beberapa kelompok sosial telah terbentuk di antara para murid kelas 10 IPA3, tapi tidak untukku.

3 Jam mata pelajaran, itu berarti kami memiliki waktu sampai istirahat kedua jam 1 siang. Waktu yang cukup untuk mengelilingi sekolah ini, tapi untukku waktu itu terlalu banyak. Di sekolah ini hanya ada lima tempat yang harus kuketahui, yaitu toilet, kantin, perpustakaan, ruang komputer, dan ruang guru.

Untuk toilet dan kantin aku sudah mengetahuinya kemarin, jadi tinggal perpustakaan, ruang komputer, dan ruang guru lagi. Jadi untuk sekarang, aku memutuskan mencari lokasi perpustakaan menggunakan peta digital khusus yang diberitahukan oleh ibu Audy barusan.

Menyusuri lorong melewati ruangan demi ruangan, sekitar 5 menit setelah itu aku berhenti di depan pintu dua daun bertuliskan [Perpustakaan] terpampang jelas. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung membuka pintu dan masuk ke ruangan dibaliknya.

Sangat sepi, hanya ada seorang guru pria yang berjaga di meja dekat pintu sembari matanya mengarah ke buku yang dipegangnya. Mungkin gara-gara mendengar suara pintu terbuka, matanya beralih ke arahku dan membuat tatapan kami bertemu. "Oh, apa kamu siswa baru? Saat ini jam eksplorasi ya."

"Ah, ba-baik pak."

Seorang guru yang cukup berusia, mungkin 45 tahun atau lebih. Dia memakai baju dinas dan kacamata yang bentuknya hampir mirip sepertiku.

Setelah mendapat izin dari penjaga perpustakaan, aku segera melihat beberapa judul buku yang cukup kukenal. Setelah mencari sekitar 3 menit aku tidak melihat buku yang cukup menarik, aku akhirnya memutuskan keluar dari perpustakaan dan melanjutkan ke tujuanku selanjutnya.

Ruang komputer. Menurut ibu Audy, kami akan diberikan 1 paket komputer saat masuk bulan September, tapi sebelum hari itu tiba, kami harus menggunakan komputer di ruangan itu jikalau ada keperluan. Meski sebenarnya aku ada sedikit alasan tersendiri untuk mengunjungi tempat itu. Seharusnya ruang komputer itu tidak terlalu jauh dari perpustakaan jika dilihat dari peta digital khusus.

"Aduh!" Selagi aku berjalan menuju ruangan komputer, di sebuah persimpangan aku malah menabrak seorang pria yang memakai emblem angkatan kedua. Seorang pria dengan tinggi 176 sentimeter yang aku sangat yakin dia kakak kelasku. "Kalau jalan liat-liat dong!" bentak pria itu.

"B*ngs*t! Almamater gua jadi basah 'kan!" lanjutnya. Bukan hanya menabrak saja, tapi aku juga membuat minuman kalengannya tumpah ke almamater miliknya.

"A-ah, maaf kak!" Aku membungkukkan badanku 70 derajat sebagai tanda permintaan maaf. Tapi sepertinya permintaan maafku tidak diterima semudah itu oleh kakak kelas di depanku ini, itu benar-benar terlihat dari raut wajahnya yang seperti menatap rendah aku.

Lalu tanpa kusadari, dari arah belakang kakak kelas itu datang kakak kelas lain. Seorang pria yang jauh lebih pendek dari yang sebelumnya, tapi dia lebih tegap dan terlihat membusungkan dadanya, dia terlihat angkuh. "Ada apa Angga?"

"Ah Andi! Liat nih almamater gua jadi basah gara-gara ini anak!"

"Hm?" kakak kelas bernama Andi yang terlihat angkuh itu melirik ke arahku yang masih membungkukkan badan. "Aku benar-benar minta maaf kak!" pintaku.

Kakak kelas bernama Angga yang tak sengaja kutabrak tadi langsung meraih kerah bajuku. "Ha? Apa dengan minta maaf bisa membersihkan almamater gua?!"

"E-eh? Ah i-itu kak..."

Melihatku yang panik, kakak yang dipanggil Andi tadi mendekatiku kemudian dia menyuruh Angga melepaskan kerah bajuku dengan gerakan tangannya lalu dia berkata, "Kau siswa baru kan?" Dengan sigap aku menjawabnya. "I-iya kak...."

Mendengar jawabanku, kakak Andi menyipitkan matanya sembari tersenyum licik. "Bagaimana dengan begini. Kami akan memaafkanmu dengan syarat beri kami 3 juta poin?"

"Ti-tiga juta poin...?" Itu berarti sama dengan 3 juta rupiah. Jika aku memberikan 3 juta poin kepada mereka, dengan kebutuhan hidup di tempat ini maka akan dipastikan 2 minggu nanti aku akan mati kelaparan. "A- aku tidak bisa melakukan itu kak."

"Ha?! Maksud kau, kau tidak ingin dimaafkan oleh kami, begitu?!" bentaknya. Dia mencengkeram kepalaku dan melanjutkan, "Kau mungkin belum tahu karena masih siswa baru, tapi asal kau tahu saja... aku cukup ditakuti oleh siswa angkatan kedua. Jika kau ingin selamat, berikan kami 3 juta poin."

"H-he? Bu-bukankah pemerasan seperti ini melanggar peraturan sekolah?" balasku.

"Apa, maksudmu "Sapta Rules" yang itu? Hahaha!" Kakak yang dipanggil Angga langsung mencela. "Nah kacamata sialan, biar gua bilang, peraturan itu cuma sebuah peraturan kosong! Itu cuma pajangan saja!" lanjutnya. Tidak ada kebohongan dalam kata-katanya, semua itu adalah fakta yang diketahui olehnya.

Ckrek!

Di tengah suasana yang buruk ini, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sedang memotret. "Eh?" Kedua kakak kelas yang juga mendengar suara itu langsung terkejut.

Dari arah suara itu berasal terdapat seorang remaja yang wajahnya kukenal. "Loh, sepertinya aku lupa mematikan suaranya." Yudha Satrio, orang pertama yang kutemui di sekolah ini.

"Y-yudha?"

"Halo, Faresta!" balasnya dengan tersenyum. Aku bagaikan melihat seorang malaikat laki-laki.

"Cih!" Mengetahui aku mengenal Yudha, kakak Andi segera melepaskan cengkeramannya pada kepalaku. "Angga, ayo pergi!" lanjutnya. Kak Angga yang mendapat perintah langsung mengikutinya. Dan dalam sekejap, bagaikan asap, mereka berdua menghilang tanpa jejak.

"Faresta, mau ke kantin bersamaku?" ajak Yudha yang melihatku masih memperhatikan kepergian kedua kakak kelas tadi.

"Eh? Ah, baiklah."

"Hoh, apa kamu tidak mau meminta penjelasan tentang apa yang terjadi?"

"Maksudnya penjelasan tentang alasan mereka langsung pergi? Aku pikir tidak usah, aku sudah mengerti mengapa mereka langsung pergi."

Sederhananya mereka takut akan dilaporkan kepada pihak sekolah karena melakukan pemaksaan. Mereka tidak takut melakukannya sebelumnya karena tidak ada CCTV yang mengawasi tempat ini. Sesederhana itu masalahnya, ya walaupun aku sedikit terkejut saat dia dengan beraninya mengatakan tujuannya dengan terang-terangan.

Untuk sekarang, lebih baik aku mengikuti Yudha ke kantin dari pada melanjutkan perjalananku ke ruang komputer. Mencari teman lebih penting untuk saat ini!