webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Chp2: Week 1 (2)

"Jadi bagaimana menurutmu tentang sekolah ini, Faresta?" Yudha yang duduk di depanku menanyakan itu.

Saat ini kami sedang berada di kantin sekolah dengan segala keramaian dari para siswa tahun pertama hingga ketiga. Yudha menyantap semangkuk bola-bola daging yang diberi kuah bening, sedangkan aku menyantap sepiring mi dengan tambahan potongan daging ayam kecil yang dipotong dadu.

"Yah, aku pikir sekolah ini terlalu membuang banyak dana." Faktanya, jika setiap siswa mendapat 5 juta rupiah setiap bulan maka dengan jumlah siswa perangkatan 300, sekolah membutuhkan 1,5 miliar rupiah hanya untuk satu bulan.

"Kamu benar juga. 7 juta per bulan hanya untuk 1 siswa SMA itu terlalu banyak. Apa lagi semua hal pokok seperti makanan, internet, seragam, dan alat sekolah lainnya sudah disediakan."

"He?" Mendengar perkataan Yudha tersebut membuatku terkejut.

"Ada apa, Faresta?"

"T-tidak. E- Yudha, berapa poin yang kelas kalian dapatkan setiap bulannya?"

"7juta rupiah. Memangnya ada apa?"

"Se-sepertinya ada perbedaan pendapatan poin yang dibagikan pada setiap kelas. Aku berada di kelas IPA3 dan hanya mendapatkan 5 juta poin—sama dengan 5 juta rupiah. Yudha, kamu berada di kelas mana?"

"Ipwa duwa!" gumam Yudha sembari mengunyah bola daging di mulutnya. Setelah menelan makanannya. Yudha melanjutkan. "Aku berada di IPA2. Aku tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya, jadi aku cukup mengejutkan tentang perbedaan ini."

"Tapi ya Faresta, mungkin saja ini memang regulasi dari sekolah. Lagi pula sekolah ini tidak mungkin melakukan pilih kasih seperti itu, jadi kita cukup tunggu saja penjelasan dari pihak sekolah," lanjutnya lagi.

"Yah... se-sepertinya kamu benar, Yudha."

"Oh, Yudha!" Selagi aku dan Yudha sibuk mengobrol sambil menyantap makanan, terdengar suara seorang gadis memanggil nama Yudha.

Serentak aku dan Yudha menoleh ke arah suara itu berasal. Itu adalah dua orang gadis yang sedang berjalan mendekat dengan nampan makanan di tangan mereka. Yang memanggil nama Yudha adalah gadis dengan rambut sebahu yang ku temui pagi kemarin, Keysha. Yang satunya adalah gadis yang juga wajahnya tak asing lagi, Ayunda.

"Yo, Key! Ayunda!" balas Yudha dengan melambaikan tangannya.

Mereka semakin mendekat ke meja tempat kami menyantap makanan. "Oh kamu yang bersama Yudha kemarin. Halo... siapa? Maaf, aku lupa namamu," kata Keysha tepat setelah dia berdiri di samping Yudha.

"Fa-Faresta!"

"Oh iya! Faresta Haerz! Maaf sudah melupakan namamu." Keysha langsung duduk di tempat duduk di samping Yudha.

"Siang, Faresta!" Ayunda yang berada mengambil tempat duduk kosong di sampingku juga menyapa.

"Ah... s-selamat siang juga, Ayund—" Kalimat ku terputus. Kemudian aku membisikan ke telinga Ayunda, "A-apa aku benar boleh memanggilmu seperti itu?"

"Boleh kok, semua temanku juga memanggil namaku begitu." Ayunda menjawab dengan lantang.

"Heh? Ayunda, apa kau sudah kenal dengan Faresta?"

"Aku bertemu dengannya sore kemarin. Malahan aku kaget saat tahu kamu dan Yudha juga kenal dengan Faresta."

"Aku bertemu dengan Faresta saat di bus pagi kemarin."

"Kalau aku saat di depan gerbang sekolah tepat setelah kami turun dari bus kemarin. Jadi aku dan Yudha lebih duluan bertemu dengannya."

Membicarakan tentang pertemuan kami kemarin membuatku ingat akan alasan kenapa kami bisa saling kenal. "Key—ah, Yudha."

"Ada apa?"

"Ba-bagaimana dengan masalah buku milik Keysha kemarin?"

Menelan makanannya, Yudha menjawab, "Aku sudah menjelaskan semuanya pada Keysha saat jam istirahat kemarin. Jadi aku menemaninya ke kantor polisi yang dikatakan waktu itu. Ah! Ayunda juga ikut bersama kami karena dia berteman dengan Keysha, tapi saat di perjalanan dia malah menghilang."

"Ahaha, aku 'kan minta maaf soal itu!" Ayunda dengan wajah masamnya mengatakan itu.

"Yah meski begitu kami tetap tidak menemukan novel itu kemarin."

"Itu salahku karena lupa dengan waktunya. Seharusnya pagi hari baru ada," balas Yudha pada Keysha.

"Gak apa-apa sih. Lagi pula pagi ini aku sudah mendapatkan novelku lagi."

Aku sedikit melirik Ayunda karena memikirkan hal itu. Ayunda yang menyadari gerakan mataku dari samping langsung berkata, "Oh ya Faresta. Aku sebenarnya berada di kelas IPA2. Maaf kemarin aku sudah berbohong padamu."

"Aku juga sebenarnya tidak dikuntit kok. Untuk sembunyi dari cowok kelasku itu juga bohongan. Maaf ya!" Dengan lengan kanannya yang mulai memukul lemah bahuku, Ayunda meminta maaf karena kebohongan yang dibuatnya.

"Ba-baik..."

"Heh..." Mendapat balasan yang kurang ekspresi dariku sepertinya membuat raut wajah Ayunda sedikit berubah. Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya tapi aku tahu kalau dia telah memastikan sesuatu. "Faresta, apa kau tidak terkejut atau marah saat tahu orang lain berbohong padamu?" celetuk Ayunda.

Biasanya pertanyaan tak terduga seperti itu bisa membuatku panik seketika, tapi kali ini aku tahu kalau aku tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak perlu. "S-sama seperti orang lainnya, aku pasti sedikit terkejut atau marah saat tahu aku telah dibohongi oleh orang lain. Tapi aku pikir Ayunda pasti ada alasan tersendiri mengapa dia sampai harus berbohong seperti itu."

"Begitu ya...."

Yudha yang sudah selesai menghabiskan bola-bola dagingnya berdiri. "Sip, aku sudah makannya. Kamu juga sudah 'kan, Faresta? Ayo kita kembali ke kelas. Jam eksplorasi setelah ini juga habis dan kita harus kembali ke kelas."

"Ah, baiklah!"

"Sampai jumpa di kelas, Key, Ayunda!"

"Permisi Ayunda, Keysha."

"Okee!"

**

Aku dan Yudha sudah mengembalikan mangkuk serta piring yang kami gunakan. Tapi langkah kami terhenti karena sebuah kerumunan siswa-siswi yang ada di dekat pintu keluar kantin.

"Apa kau tidak tahu dengan siapa kau berbicara, sialan?!"

"Ha? Gua balikin pertanyaannya pada lu, apa lu gak kenal siapa gua?!"

"Siapa kau? Bagiku kau hanyalah seonggok sampah yang berlagak hebat karena badanmu lebih besar dan kau setahun lebih tua dariku!"

Di tengah-tengah kerumunan itu ada tiga orang saling beradu mulut. Ketiga orang itu semuanya pernah bertatap muka denganku dan entah bagaimana aku mengetahui nama mereka.

Fajar Dewantara. Pria yang bermasalah dengan Keysha kemarin. Kedua orang lainnya adalah kakak kelas yang sempat mengancamku beberapa saat lalu.

"Faresta, itu Fajar yang kemarin 'kan?" Yudha yang berdiri di sampingku menanyakan itu.

"Me-memang benar. Apa ada yang salah? Apa kamu mau ikut campur lagi?"

"Tidak. Untuk sekarang aku tidak akan berhubungan dengan kakak kelas itu dulu. Lagi pula sudah ada orang lain yang ikut campur masalah ini."

Benar kata Yudha, sudah ada seseorang yang akan ikut campur dalam masalah ini. Seorang yang juga kukenal, Tio. "Maaf kak, biasakah kalian sedikit lebih tenang? Sepertinya kalian sudah menarik perhatian setengah dari orang yang ada di kantin ini. Di sana ada CCTV, dengan itu pihak sekolah juga tidak akan tinggal diam dengan segala keributan seperti ini."

"Hah?! Siapa lu sok ngatur?!"

"Kamu juga siswa kelas satu 'kan? Biar ku katakan, sekolah ini hanyalah sekolah cacat dengan peraturan konyol dan tak berdasarnya saja!" Kakak kelas yang sedari tadi diam saja mulai berbicara.

Hanya dari pernyataan kakak kelas yang kalau tidak salah namanya Andi itu membuat spekulasi macam-macam dari para siswa angkatan pertama yang menyaksikan perkelahian mulut itu.

"Sepertinya percuma berbicara dengan kalian. Fajar, sebaiknya kamu pergi saja dari sini." Tio yang menyadari hal yang akan terjadi jika ini terus dilanjutkan dan diperbesar langsung mengambil langkah cepat.

Fajar yang juga menyadari maksud dari Tio langsung menurutinya. Baik Fajar ataupun Tio bukanlah orang idiot. Mereka masihlah memikirkan kemungkinan lain seperti kakak kelas itu berbohong, ya walaupun aku tahu kakak kelas itu tidak berbohong karena tidak ada tanda itu muncul.

Fajar dengan cepat pergi meninggalkan tempat itu, anehnya kedua kakak kelas itu langsung pergi dan menganggap kejadian itu tidak ada apa-apanya.

"Wah, sepertinya sekolah ini benar-benar cacat ya," gumam Yudha.

Aku sepemikiran dengan Yudha. Faktanya hanya dari tujuh peraturan utama saja sudah terlalu banyak lubang di mana-mana.

"Faresta, tidak ada gunanya juga kita di sini. Mau ke kelas bareng? Lagi pula ruang kelas kita tidak jauh kok. Atau kamu ada urusan lagi?"

Meski aku tidak dapat mengunjungi ruang komputer, aku sedikit bersyukur karena aku sudah mendapat beberapa informasi dari ini. Sebaiknya aku segera kembali ke kelas.