webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
18 Chs

Chp2: Week 1 (3)

Pagi hari ketika aku sehabis mandi adalah saat paling tak kusukai. Menatap ke arah cermin di kamar mandi, terpampang jelas cerminan dari tubuh ideal kebanyakan remaja laki-laki pada umumnya.

Pada bagian kulit antara dada kiri dan tulang selangka terlihat sebuah pahatan tinta hitam membentuk angka [01] yang jelas. Melihat tubuh itu membuatku muak. Bentuk tubuh yang ideal namun penuh dengan kelemahan, tato berbentuk angka yang menjadi kutukan mental, semua itu membuatku muak. .

Tubuh penuh dengan kebencian, tubuh penuh dengan kedustaan, tubuh penuh dengan kebencian, tubuh penuh dengan kedengkian, tubuh penuh dengan kecemburuan, tubuh penuh dengan amarah, tubuh penuh dengan segala kemunafikan, tubuh penuh dengan kebohongan tak berujung. Jika bisa, aku sangat ingin menghancurkan tubuh menjijikkan itu.

**

[PoV3]

Rabu, jam 08:30 pagi. Ketika lonceng sekolah berbunyi, para murid mulai mengambil tempat duduk mereka masing-masing. Meletakan tas pada tempat yang seharusnya lalu mematikan suara ponsel mereka.

Selang beberapa menit muncullah seorang guru wanita memakai setelah serba abu-abu. Audy Varelisya, ia merupakan wali kelas dari kelas yang dimasukinya tersebut—kelas 10 IPA3.

Berdiri di depan kelas, memberi salam, dan terakhir mengabsen. Setelah semua itu, Audy mengambil spidol dan mulai menulis sesuatu di papan tulis. "Baiklah anak-anak, ini mungkin cukup mendadak, tapi ibu ada pengumuman sedikit untuk kalian," katanya.

[Lomba Tujuh Belasan] itulah yang ditulis oleh Audy di papan tulis. Berbalik ke arah anak muridnya lagi, Audy berkata, "Karena kalian masuk sekolah ini di pertengahan Juli, jadi perlombaan 17 Agustus akan dimulai tak sampai 4 minggu lagi. Untuk itu ibu memberitahukan pada kalian untuk segera menentukan perlombaan yang akan kalian ikuti dan melakukan pendaftaran. Karena ini mendadak, jadi kalian tidak perlu terburu-buru menentukannya. Batas akhir pendaftarannya sendiri masih 2 minggu lagi, jadi silakan diskusikan secara matang dengan teman sekelas kalian."

"Untuk detail lombanya bisa kalian lihat di website resmi sekolah. Terakhir, perlu diperhatikan kalau lomba ini mewakilkan setiap kelas, jadi tanpa persetujuan ketua kelas dan wali kelas kalian tidak dapat mengikuti lombanya."

Melihat anak muridnya yang sudah cukup mengerti maksud dari perkataannya, Audy merasa sedikit lega. "Sepertinya kalian sudah cukup mengerti. Tapi jika ada hal yang ingin kalian tanyakan, silakan tanya sekarang juga."

Mendengar itu seorang murid laki-laki mengangkat tangannya. Itu adalah Azraei Tio, ketua kelas 10 IPA3. "Ada apa, Tio?"

"Apakah setiap siswa dapat mengambil 2 lomba sekaligus, bu?"

"Itu diperbolehkan selama waktu berlangsungnya kedua lomba itu tidak bertabrakan. Tapi ibu tidak menyarankan hal itu."

"Kalau boleh, apa ada batasan jumlah lomba yang boleh diikuti?" cela seorang gadis. Itu adalah Amelia Maharani, seorang gadis berambut merah gelap yang pendek dan acak-acakan. Tinggi 170cm, kulit coklat, pupil mata berwarna kuning cerah. Dengan kancing seragam yang atasnya terbuka, bisa dikatakan kalau gadis itu sedikit tomboi.

"Amelia, sudah ibu katakan kalau ingin bertanya angkat tanganmu terlebih dahulu," kata Audy. "Untuk pertanyaanmu, sekolah sendiri tidak memberikan batas pada jumlah lomba yang bisa diikuti oleh siswa, tapi ibu menyarankan untuk tidak mengikuti lebih dari 3 lomba."

Kemudian seorang lelaki berambut hitam disisir rapi ke belakang mengangkat tangannya. "Ya, ada apa, Ilham?" Ilham Dira, tingginya 168cm, dagunya lancip, mengenakan kacamata D-frame, badan yang tegap, serta seragam yang sangat rapi.

"Jika boleh tahu, apa semua lombanya hanya lomba fisik seperti kebanyakan lomba tujuh belasan atau ada juga lomba akademisnya?"

Adalah hal wajar jika Ilham menanyakan itu. Hanya dengan sekali lihat dari penampilannya, setiap orang akan tahu jika dia merupakan orang yang unggul dalam bidang akademis dan bukan bidang olahraga fisik.

"Pertanyaan bagus. Pada dasarnya lomba ini diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, jadi sebenarnya hanya lomba seru-seruan saja. Tapi karena sistem sekolah ini dan persetujuan sejumlah orang membuat lombanya jadi ajang lomba yang cukup serius. Jadi 90 persen lomba yang diadakan adalah lomba yang biasa diolimpiadekan, entah itu olahraga fisik seperti sepak bola dan voli ataupun lomba kepintaran seperti cerdas cermat dan catur."

"Tapi mau bagaimanapun lomba ini bertujuan untuk seru-seruan memperingati Hari Kemerdekaan, jadi jangan terlalu dipikirkan mau kalian menang ataupun kalah," jelas Audy.

"Ada yang ingin kalian tanyakan lagi?" Menangkap semua penjelasan Audy, semua murid di kelas itu sudah mengerti hampir seluruh perkataannya. "Baiklah, sepertinya kalian sudah cukup mengerti."

"Hari ini kita masih belum memulai kegiatan belajar mengajar. Jadi untuk 5 jam ke depan kalian bebas mau ke mana pun asal tidak mengganggu orang lain. Mengerti?"

Meskipun sudah memasuki hari ketiga tahun ajaran baru, siswa angkatan pertama belum memulai kegiatan belajar mereka sama sekali. Alasannya cukup sederhana yaitu mereka masih berada di MPLS—Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, kegiatan yang dilakukan oleh siswa baru untuk lebih mengenal lingkungan sekolah baru mereka. Ini adalah pengganti kegiatan sebelumnya yang disebut Masa Orientasi Siswa— selama 5 hari atau 1 minggu pertama sekolah.

"Baiklah cukup sampai di sini. Ibu akan kembali ke sini setelah jam ke-5 selesai dan ibu harapkan kalian semua hadir pada jam tersebut."

"Baik Bu!"

**

[PoV1]

Jam 09:34 pagi. Sudah hampir 30 menit sejak ibu Audy keluar dari kelas 10 IPA3. Suasana kelas yang awalnya ramai akibat pengumuman dari ibu Audy juga sudah mulai sunyi dengan keluarnya satu-persatu siswa dari ruangan kelas menuju tempat lain di sekolah ini.

Setelah selesai membaca rincian lomba di website sekolah yang diberitahukan ibu Audy dengan saksama, aku juga ikut keluar menuju tempat yang dari kemarin ingin kukunjungi. Ruang Komputer, seharusnya aku mengunjungi tempat itu kemarin, tapi tidak jadi karena suatu masalah.

Sangat disayangkan, tapi beruntungnya hari ini aku masih memiliki kesempatan mengunjungi tempat itu.

Memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku dan mulai berdiri dari tempat dudukku. "Faresta!" Ketika aku mau melangkahkan kakiku menuju keluar kelas, terdengar suara memanggil namaku.

Aku segera menoleh ke arah suara itu dan mendapati Tio sedang berjalan mendekatiku. "A-ada apa, Tio?"

"Kamu mau ke mana?"

"Ke ruang komputer. A-ada apa memangnya?"

"Bolehkah aku ikut denganmu?"

T-tio mau ikut denganku ke ruang komputer? Ya ... aku tidak masalah. Sepertinya dia juga ada sesuatu yang ingin dikatakan padaku, itu terlihat dari wajahnya. "Y-yah ... i-itu terserahmu...."

"Oke!"

Dengan begitu aku dan Tio menuju ke ruang komputer. Menelusuri jalan yang kulewati kemarin ketika ke perpustakaan, kami membicarakan sejumlah hal.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu ke ruang komputer, Faresta?" celetuk Tio.

"Ti-tidak ada yang penting. Aku hanya berkunjung sebentar untuk melihat-lihat saja. Lagi pula aku sepertinya aku akan sering ke sini untuk beberapa urusan ke depannya."

"Hmm ... yah, aku juga cukup menyukai komputer dan sejenisnya."

"Hoh...."

Tanpa disadari kami sudah sampai di depan pintu ruang komputer selagi kami mengobrol. Tanpa berpikir panjang Tio dan aku langsung membuka pintu itu dan masuk ke ruangan tersebut.