*Flashback on*
Si cantik tengah berdiri gelisah di balik balkon sebuah kamar. Menantikan benda pipih di tangan bernyanyi sebagai tanda pesannya terbalas. Membuang nafas berat saat tetap tak mendapat jawaban dari seseorang yang dihubunginya sejak 60 menit lalu.
Netra coklat madu itu ditaburi kegusaran. Alam pikirannya berkelana, menduga-duga kemana sosok prianya yang tak kunjung pulang hingga sang rembulan mulai meredupkan sinarnya. Apa yang sedang dilakukan olehnya, mengapa tak membalas pesannya, sesibuk apa hingga tak ada waktu untuk menerima panggilan darinya.
Terlalu asik tenggelam dalam pikiran sendiri, wanita yang tubuhnya berbalut floral midi dress itu tak menyadari jika seseorang tengah menyelinap masuk ke dalam kamar yang sama.
Langkah gontai membawa tubuh lelah itu mendekati wanitanya, sang pria membuat si wanita terkesiap saat tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkari perut rampingnya. Pundak mungil itu terasa berat bersamaan dengan bersandarnya sebuah dagu lancip di sana, sedetik kemudian bisikan lirih dengan suara serak khas pria itu menyapa rungunya.
"Sayang…"
Deg!
Entah mengapa dadanya berdesir mendengar kata itu. Bukan kata itu yang salah, namun ada yang tidak beres dari emosi yang tersampaikan lewat kata 'sayang' tersebut. Ia dapat merasakan jika terdapat amarah, kecewa, duka, serta luka di balik nada bicara si tampan yang sedang memeluknya dari belakang.
Wanita itu hendak berbalik badan, sebelum si pria mengeratkan pelukannya. Menahan si jelita agar tak berbalik menghadap ke arahnya. Mencoba mengerti, wanita itu balas menggenggam tangan kekar dipinggangnya, memberikan sentuhan hangat sebagai syarat akan penenang.
Beberapa sekon berlalu hingga wanita berperawakan langsing itu tak tahan dengan posisi mereka yang mesra namun terselip ketegangan di antara keduanya. Ia sedikit berontak dari peluk rancu itu, membawa tubuhnya berbalik sampai bertatap manik.
Si pria mundur dua langkah.
Benar dugaannya, sesuatu terjadi dengan sang kekasih tampan. Pakaian pria di hadapannya ini berantakan seperti rambut hitamnya yang juga kusut. Netranya menyiratkan luka, namun mimiknya mengatakan jika ia sedang berusaha meredam amarah.
Wajahnya memerah, tangannya terkepal, nafasnya sedikit memburu, pandangnya menatap datar namun terlihat seperti ingin membunuh seseorang.
Wanita itu merinding, bergidik ngeri melihat sang kekasih. Jantungnya juga berpacu kuat, khawatir dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Pria itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Ada apa sebenarnya?
Meraih jemari lentik itu lalu menyeretnya sedikit kasar, membawa tubuh keduanya menyingkir dari balkon dan masuk ke dalam kamar bernuansa white cozy.
"Sebenarnya ada apa deng-"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir ranum itu telah lebih dulu dibungkam oleh ciuman si pria yang terasa lapar, seolah menyampaikan kemarahan yang tengah pria itu rasakan.
"N-nell…" suaranya tertelan.
Semakin Jadira berusaha melepaskan tautan bibir mereka, maka Harnell akan semakin melumat kasar. Bungkam mulut Harnell semakin bergerak liar di mulutnya. Tak mengizinkan oksigen menganggu pergulatan bibir itu.
Mendorong dada bidang itu sekuat tenaga, "Ada apa denganmu?!" Wanita itu terengah setelah berhasil lepas dari serangan Harnell.
Nafas Harnell juga memburu, kilatan amarah tergores jelas di mata elangnya. Menatap menusuk pada Jadira yang menatapnya penuh tanya.
Harnell membawa tubuh Jadira, merapatkan tubuhnya pada dinding kamar dan membungkam kembali mulutnya dengan bibirnya.
Tidak seperti tadi, kali ini ciumannya selembut beludru. Tetapi entah mengapa dada Jadira sangat sesak menerima ciuman itu, seolah ikut merasakan kepiluan yang tengah dirasakan prianya. Harnell menyalurkan perasaannya dengan baik.
Wanita itu dapat merasakan pipinya basah, senyawa asin menjadi bintang tamu dalam acara dansa bibir mereka kali ini. Jadira membuka mata, mencuri pandang pada pujaan hati yang tengah menangis sepi dalam ciuman pilu tersebut. Itu bukan miliknya. Air mata itu milik Harnell. Sebenarnya ada apa ini? Ada apa dengan Harnellnya? Siapa yang membuat pria itu seperti ini?
Namun Jadira tersentak saat ciuman itu berubah menjadi ganas dan menuntut. Ini bukan ciuman cinta, bukan juga cium penuh gairah, ini adalah ciuman kemarahan. Harnell sedang marah, Jadira tahu itu.
Bukan lagi senyawa asin yang mampir pada ciuman mereka, kali ini giliran cairan kental nan pahit menyapa pengecap keduanya. Bukan milik Harnell, cairan pekat itu berasal dari sudut bibir Jadira yang digigit oleh Harnell.
Sengaja, Jadira tahu pria itu sengaja melakukannya, tetapi wanita itu tak tahu jika Harnell menggigit bibir kenyalnya untuk memastikan sesuatu. Pria itu memang ingin tahu seperti apa wujud darahmu, Jadira. Harnell ingin membuktikan secara langsung apakah Jadira adalah sosok penyihir seperti yang dikatakan Junius.
Junius bukan orang yang suka mengadukan atau menyebarkan rahasia temannya sendiri, tapi Junius dipaksa Harnell untuk bersaksi, karena pernah dua kali Harnell menyaksikan Jadira melakukan teleportasi secara diam-diam, sehingga Harnell berinisiatif untuk menanyakan hal tersebut pada Junius, satu-satunya teman yang sangat dekat dengan Jadira.
Seperti kodratnya, penyihir memiliki darah hitam yang pahit, bukan berwarna merah dan asin seperti darah manusia pada umumnya.
Harnell mengurai bibir mereka. Manik hitamnya memperhatikan Jadira yang tengah mengusap darah di sudut bibir wanita itu. Harnell benci itu, cairan kental pahit berwarna hitam pekat milik Jadira. Harnell benci fakta jika Jadiranya adalah seorang penyihir. Ia juga kecewa karena Jadiranya telah membohonginya, menutupi identitas aslinya dari Harnell.
Jadira melempar pandang tanya pada Harnell, namun pria itu memandangnya penuh intimidasi membuat nyalinya ciut. Harnell mendekat, membuang nafas berat, mimiknya tak bersahabat hingga Jadira tak sanggup menatap pupil legamnya yang tersulut amarah dan kecewa.
Kepalan tangan itu meninju dinding di belakang Jadira. Bukan tangannya yang terluka, tetapi dinding itu yang hancur.
Keringat dingin menghampiri si wanita. Jantungnya bertalu di atas rata-rata. Genggam tangannya dingin, wajahya yang berkulit putih susu terlihat pucat pasi. Jadira tidak tahu mengapa kekasihnya bertingkah seperti ini.
Harnell tidak bermaksud menakut-nakuti, Jadira hanya tidak tahu jika saat ini Harnell tengah berusaha meredam amarah agar tidak menyakiti Jadira karena dirinya yang lepas kontrol saat emosinya memuncak.
"Kenapa?" lirih pria itu. Si wanita mengernyit, seharusnya dialog itu miliknya. Seharusnya ia yang bertanya seperti itu pada Harnell. Bukan malah Harnell yang balik tanya.
Dengan keberanian yang dipaksakan, netra yang mampu membuat Harnell luluh itu membalas tatap si pria. Keduanya beradu tatap dalam bungkam. Jadira yang tak sanggup berucap dan Harnell yang tak mampu melanjutkan kalimat. Mereka berbicara lewat air mata yang sama-sama menggenang di pelupuk.
Harnell mengeratkan kepal tangannya. Matanya memejam. Wajangnya memerah. Rahangnya mengeras. Giginya saling beradu, bergelutuk.
Prank!! Brakk!
Jadira kembali tercengang melihat pintu kaca pembatas antara kamar dan balkon itu berserakan menjadi keping-keping kecil. Itu semua adalah peralihan kemarahan Harnell. Lelaki itu sangat marah pada kekasihnya, tapi bagaimana tega ia melampiaskan semua itu pada Jadiranya tersayang.
Jika Jadira mau tahu, bukan hanya hatinya yang saat ini sakit, tetapi seluruh tubuhnya juga sakit menahan emosinya sendiri. Menahan sekuat tenaga agar dapat mengendalikan diri.
Jadira mulai terisak. Ia benar-benar takut. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas bagai jelly yang tak mampu menopang bobotnya sendiri.
"Nell… sebenarnya ada apa?" cicitnya sambil menunduk, tak ada keberanian sedikitpun menatap sang kekasih.
"Kenapa?" tanya Harnell masih dengan dialog yang serupa.
"Kenapa tidak mengatakan dari awal?" tanyanya dingin.
Jadira terdiam, masih tidak mengerti.
"Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya jika dirimu adalah keturuan penyihir bangsa atas, Jadira Morai?! Kenapa?!!"
Deg! Darahnya berdesir, jantungnya berpacu, ia terperanjat. Jadira mendongak mendengarnya. Jadi Harnell marah karena dirinya adalah penyihir? Dari mana pria itu tahu?
"Memangnya kenapa? Memangnya kenapa kalau aku adalah seorang penyihir? Bukankah kita sama? Bukankah kau juga bagian dari mereka?"
"Jangan bertanya mengapa. Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita tetap bersama. Kau mempunyai Junius, si teman yang maha tahu itu, tak mungkin ia tak menjelaskan apapun padamu." Emosi Harnell kembali terpancing.
"Itulah sebabnya kau tak pernah menunjukkan sihirmu di hadapanku, karena kau tak mau aku tahu jika dirimu adalah penyihir. Terlebih kau dari keturunan Morai -penyihir terhebat nomor tiga setelah bangsaku, La Fen -manusia setengah penyihir dengan kekuatan maha dahsyat yang dapat dengan mudah menguasai juga menghancurkan dunia."
"Hanya saja aku tidak mau…" lirih Harnell.
"Aku juga tidak mau menjadi penyihir yang jahat, Harnell. Kita tak perlu melakukan hal yang tidak kita inginkan. Jalani saja hidup ini seperti yang kita mau."
"Tidak semudah itu, Jadira!!" wanita itu sedikit terlonjak karena bentakan Harnell.
"Kita tidak bisa mengendalikan semesta. Kita tak melakukannya, tapi alam tak akan tinggal diam." Lanjut pria itu.
"Aku tak mengerti sebenarnya apa yang kau takuti."
"Kau tahu apa yang akan terjadi kan jika kita terus bersama. Kau tau dampak buruk nya kan?"
"Aku tak tau, sungguh." Jadira memang tidak tahu, tidak seperti tuduhan Harnell, Junius tak pernah memberitahu dampak dari hubungan mereka atau mungkin Junius juga tak tahu perkara itu.
"Tak baik jika kita terus bersama…" membuang pandang entah kemana, Harnell berucap lirih.
"Kenapa?!!" Jadira tak terima.
"Kehamilanmu. Kehamilanmu bisa menghancurkan isi bumi manusia ini, juga negeri sihir itu."
Sepi.
Keduanya bungkam dengan pikiran kacau.
"Pernikahan dari manusia setengah penyihir dengan manusia, maka 90% akan menghasilkan seorang anak berwujud manusia murni. Sedangkan buah cinta dari manusia setengah penyihir dengan penyihir maka akan menghasilkan monster." Jelas Harnell.
"Bukan monster, tapi penyihir." Ralat Jadira, tak terima.
"Monster, jika orang tuanya adalah kita. Kita terlalu hebat jika disatukan, dan sialnya kekuatan jahatlah yang akan mendominasi anak kita nanti. Terlebih kita tak memiliki ikatan pernikahan, jika kau hamil maka itu adalah sebuah kutukan."
Jadira tertawa getir dan terheran, "Bahkan aku tidak sedang hamil, sayang."
"Jika kau hamil, Jadira. Jika kau hamil maka anak kita akan menjadi monster sepertiku."
"Tapi kau bukan monster, Harnell!!" Jadira sungguh geram dengan kekasihnya ini.
"Mungkin orang-orang iri dengan kekuatan hebat yang aku punya, namun aku sendiri menganggap itu adalah kutukan. Aku benci dengan diriku yang terlahir seperti ini. Aku tak mau keturunanku menjadi monster sepertiku, bahkan bisa lebih gila dan lebih kuat dariku."
"Kita memang sering melakukannya, tapi kau bisa lihat sendiri sampai detik ini aku tidak mengandung. Lalu masalahnya dimana?"
"Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan, sebelum hal tak diinginkan itu terjadi, mari akhiri segal-"
"TIDAK!" Jadira menolak solusi Harnell. "Bukan mengakhiri, tetapi membawa hubungan ini ke dalam pernikahan suci."
"Seandainya bisa seperti itu" lirih Harnell
"Kenapa tidak bisa?"
"Semua sudah terlambat. Kita sudah melakukan kesalahan fatal sejak awal. Kita sudah melanggar peraturan pertama, yaitu melangsungkan pernikahan untuk mengindari kutukan, dan kita tidak melakukannya." Harnell menatap Jadira lekat.
"Sekalipun saat ini juga kita menikah, itu tak ada guna, keturunan kita tetap mendapat kutukan karena dosa orang tuanya." Harnell kembali menjelaskan.
"Kau lihat aku, aku adalah seorang anak dari pasangan yang terikat pernikahan suci. Namun aku tetap terlahir sebagai monster, karena memang sesulit itu melawan semesta berikut takdirnya. Manusia titisan dewa dan penyihir murni dilarang menikah, karena dewa dan penyihir adalah dua makhluk yang sangat bertolak belakang." Ya, ayah Harnell adalah manusia titisan dewa sedangkan ibu Harnell adalah keturunan dari darah penyihir jahat dan terkuat di dunia.
"Tapi sejauh ini segalanya berjalan dengan baik, Harnell." Jadira kekeuh menyangkal segalanya.
"Belum, Jadira, semesta belum memberi kita pelajaran. Cepat atau lambat karma itu akan datang karena dosa yang kita buat. Tidak bisakah kau mengerti?
"Aku tak mau mengerti." wanita itu menggeleng dengan tatapan kosong.
"Sayang…" Harnell melembut.
"Jika itu masalah kehamilan, kita bisa mengaturnya. Kita bisa mencegah itu."
"Tidak bisa, sayang. Aku adalah contohnya, orang tuaku mengira mereka bisa mencegah kehamilan ibuku, nyatanya lahirlah aku dari pernikahan mereka. Dan aku tak mau ada Harnell kedua, ketiga, dan seterusnya."
Senyap.
Keduanya membisu hingga Harnell kembali membuka suara, "Kalau saja dari awal kau mengatakan siapa dirimu sebenarnya, mungkin tak akan seperti ini."
"Jadi kau menyalahkanku?" wanita itu tersinggung.
"Lalu siapa lagi? Sedari awal kau sudah mengetahui makhluk jenis apa aku sebenarnya." Sahut Harnell.
Respon Jadira hanya berpura-pura tak acuh, menggigit bibir bawahnya dan membuang pandang entah kemana.
"Di antara makhluk-makhluk aneh di dunia ini, hanya bangsa sihir yang dapat mendeteksi jenis-jenis itu. Hanya keturunan penyihir murni yang dapat tahu apakah itu sejenis vampire, mermaid, alien, malaikat, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya. Sedangkan selain bangsa penyihir murni, tidak dapat mendeteksi itu."
"Yang kami tahu semua adalah manusia, kecuali jika mereka saling menunjukkan kekuatan masing-masing, maka kami akan tahu makhluk jenis apa mereka sebenarnya. Kar-"
Harnell mendadak terdiam dan menatap Jadira tajam, ia teringat sesuatu.
"Oh… jadi benar. Kau sudah tau segalanya dan sengaja tidak pernah menggunakan kekuatanmu saat bersamaku, karena…" Pria itu mendekat pada Jadira yang mundur perlahan menghindari Harnell.
"Karena kau memang sudah tahu aku makhluk jenis apa dan kau memang berpura-pura menjadi manusia agar aku tidak meninggalkanmu."
"Tidak seperti itu, Harn-"
Braakkk!! Taarrr!! Krekk!
Jadira tak sanggup melanjutkan kalimatnya saat hunian mewah mereka benar-benar hancur berkeping karena ulah Harnell, bahkan pohon besar tak berdosa yang ada di halaman rumah gedong itu juga ikut tumbang akibat kemurkaan seorang Harnell.
Untung saja mereka penyihir, jadi dapat dengan refleks melindungi diri dari reruntuhan material rumah tersebut.
Wanita itu kembali menangis takut, sangat takut. Itu tak masalah jika Harnell melampiaskan segala amarahnya pada Jadira, tapi wanita itu takut bumi ini akan runtuh karena Harnell terus saja melampiaskan emosinya pada benda-benda tak berdosa.
"Jadi, kau memang sudah tahu tentang kutukan itu!" amarah pria itu kembali.
"Tidak, aku ti-"
"JANGAN BERBOHONG PADAKU LAGI, JADIRA!!"
"Aku tidak berbohong, aku memang tidak tahu perkara kutukan ataupun semacamnya."
"Cukup! Tak perlu kembali mengarang cerita. Dari awal memang semua sudah salah. Seharusnya hubungan ini tidak pernah ada."
"Harnell…"
"Mari kita akhiri semuanya."
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Kita tak punya pilihan lain."
"Tapi-"
Harnell kembali mendekat pada wanita itu. Menghapus air mata yang tak mau berhenti melewati pipi mulusnya. Menggenggam lembut jemarinya. Membagi kehangatan dari pelukan terakhirnya. Tak lupa meninggalkan kata-kata terakhirnya. Siapa yang sangka ini malam terakhirnya.
"Tak ada pertemuan yang abadi, sayang. Cepat atau lambat perpisahan akan menghampiri."
Wanita itu menggeleng kuat. "Tidak! Tak ada perpisahan bagi kita..."
Harnell tersenyum lembut, meyelipkan anak rambut Jadira ke belakang telinga wanita itu. "Kini telah tiba waktunya untuk kita. Hiduplah dengan baik, aku akan melakukan yang sama."
"Harnell jangan bercanda, ini sungguh tidak lucu." Air matanya tak berhenti mengalir meski jemari si pria terus mengusapnya.
"Satu hal yang kuharapkan, bila nanti saat kau bahagia lagi, jangan kembali meski di dalam mimpi."
Wanita itu menggeleng lemah "Harnell…" suara lirihnya tertelan angin.
Melepas genggam itu perlahan, sedikit mundur dan berbalik. Semakin cepat ia menghilang dari hadapan Jadira, maka akan semakin mudah emosinya teredam. Sebelum hatinya goyah dan ingin kembali, pria itu memilih untuk terburu meninggalkan sang mantan kekasih yang telah menaruh luka dan kecewa pada hatinya.
Melangkah perlahan meninggalkan Jadiranya bersama puing-puing kenangan yang telah lenyap.
Jadira masih tak bergeming di antara reruntuhan rumah mereka beserta segala cerita yang telah mereka ukir di dalamnya. Tubuh lemah itu merosot dan terduduk saat netranya menyaksikan tubuh tegap prianya menghilang di bawah sinar rembulan.
Jadira membenci sebuah fakta yang mengatakan, pertemuan akan selalu didampingi dengan perpisahan. Jika kau siap untuk mengawali sebuah pertemuan, maka siapkan juga dirimu untuk perpisahan yang telah menunggu diakhir.
Karena, datang akan pergi.
*Flashback off*
***
"Dari ceritaku, kau bisa menyimpulkan sendiri apa yang akan Harnell lakukan jika ia tahu siapa dirimu juga tujuanmu yang terus menerus memaksanya untuk menikahimu."
Xena terdiam, tak tahu harus merespon seperti apa. Kepalanya benar-benar tak bisa berpikir jernih. Ia hanya ingin untuk segera menyudahi hari ini. Xena tahu Jadira tidak sedang membual, karena Xena juga sangat tahu perkara kutukan sialan itu, tapi ia berharap semuanya hanyalah omong kosong.
"Harnell tidak akan setega itu untuk membiarkanku terus terbelenggu dalam kutukan sialan ini. Aku yakin Harnell tidak akan melepasku semudah ia melepasmu." Bahkan otak Xena menertawakan sebait ketidakmungkinan yang terlontar dari bibir tipisnya. Ya, Xena sendiri tidak yakin dengan apa yang ia katakan, wanita itu hanya berusaha untuk sedikit menenangkan dirinya sendiri.
Jadira tersenyum tipis mendengar sepenggal omong kosong dari Xena, "Jadi maksudmu, dulu Harnell meninggalkaku untuk menghindari sebuah kutukan dan sekarang ia tidak akan meninggalkanmu agar kau terbebas dari kutukan? Begitu?" Jadira menggeleng, menghina pemikiran Xena.
"Jika kau terbebas dari kutukan, itu berarti kau bisa kembali ke negeri sihir sialan itu, dan apa kau pikir Harnell mau ke sana? Kau kira ia akan dengan suka rela mendatangi negeri yang paling ia hindari hanya karena dirimu? Tolonglah, apa kau kira Harnell mencintaimu sedalam itu hingga rela berkorban untukmu?"
Skak mat! Itu yang tidak Xena miliki, cinta seorang Harnell. Bahkan Harnell dapat meninggalkan Jadira dengan mudah yang jelas-jelas sangat dicintai oleh pria itu. Bagaimana bisa Xena dapat percaya diri jika kekasihnya tak akan mencampakannya.
"Tunggu…" Xena menatap selidik pada Jadira, "Jika kau sudah tahu Harnell tak mau dengan penyihir, lalu untuk apa kau kembali dan ingin merebutnya dariku? Bukankah itu semua hanya membuang waktu karena sia-sia adalah jawabannya?"
Jadira cukup tersentak dengan pertanyaan nalar dari Xena. Xena dapat melihat jika wanita itu menjadi sedikit gugup, namun ia berusaha menutupinya.
"Menurutmu?" mencoba bersikap seperti biasa –menjengkelkan. Jadira balik bertanya, itu berarti ada sesuatu yang tengah ditutupinya.
Xena berpikir serius, kepalanya asik menganalisa. Wanita itu berdeham sebelum memulai kata, "Aku tahu, kau hanya menjadikan Harnell sebagai objek untuk balas dendam padaku, agar aku sakit hati saat ia meninggalkanku." sahut Xena
"Dan lagi… aku bukan orang bodoh, Jadira. Aku tak pernah medengar kutukan-kutukan sialan yang tadi kau ceritakan. Aku tahu itu semua hanya khayalanmu untuk menggertakku." Bohong Xena, berpura-pura tak tahu tentang kutukan itu.
Yang dituduh malah terbahak. Terkekeh geli mendengar opini saudari tirinya ini. "Aku tak menyangka kau lebih bodoh dari yang aku kira, Xena. Jika kau ingin tahu, alasanku kembali adalah untuk-"
"Untuk membuat aku tahu bahwa Xena sejenis dengan dirimu."
Deg!
Dua wanita cantik itu terperanjat, mereka saling tatap dan menoleh dengan kompak ke sumber suara. Sosok yang sedari tadi mereka bicarakan kini berada di hadapan mereka.
Sejak kapan? Sejak kapan pria itu berada di rooftop juga? Sejak kapan ia mendengar segala pembicaraan kekasih dan mantan kekasihnya itu?