Yang dituduh malah terbahak. Terkekeh geli mendengar opini si saudari tiri. "Aku tak menyangka kau lebih bodoh dari yang aku kira, Xena. Jika kau ingin tahu, alasanku kembali adalah untuk-"
"Untuk membuat aku tahu bahwa Xena sejenis dengan dirimu."
Deg!
Dua empuan itu terperanjat, saling tatap dan menoleh kompak ke sumber suara. Sosok yang sedari tadi dibicarakan kini berada di hadapan mereka.
Sejak kapan? Sejak kapan pria itu berada di rooftop juga? Sejak kapan ia mendengar segala pembicaraan kekasih dan mantan kekasihnya itu?
Sekedar informasi untuk Xena dan Jadira, Harnell sudah lebih dulu berdiam diri di rooftop bahkan saat kalian masih berdrama di toilet. Bermaksud ingin menenangkan pikiran sejenak, namun malah semakin kusut saat si nona-nona manis berperang dingin di kulminasi kantor ini. Jadi, dapat disimpulkan jika tak ada sedetikpun percakapan kalian yang terlewati oleh Harnell.
Bahasa tubuh pria itu sangat santai, namun mimiknya terlalu dingin. Xena mati-matian menenangkan jantungnya yang seperti genderang mau perang. Bertolak belakang dengan Jadira yang hanya membatu, menunggu salah satu di antara mereka membuka suara.
Tatap tajam yang sedari tadi dijatuhkan pada Xena, kiri beralih ke Jadira, "Dan aku bukan suatu objek yang bisa kau manfaatkan untuk sebuah balas dendam dari luka masa lalu." Seruan dingin pria itu membuat Jadira mengernyit heran.
Hey! Hey! Apa-apaan ini? Kenapa dirinya juga kena? Kenapa Harnell jadi termakan tuduhan Xena padanya? Jadira tidak tuna rungu untuk mendengar nada bicara yang berbeda dari pria itu. Kenapa si tuan terlihat lebih marah padanya?
Jadira tidak terima, seharusnya saat ini hanya Xena yang mendapat amukan dari Harnell. Namun mengapa pria itu terlihat lebih ingin membunuhnya? Jelas-jelas Xena yang sudah membohonginya. Bahkan Xena dengan sengaja ingin memanfaatkan Harnell demi kembali ke negeri sihir.
Jangan mendadak idiot nona Morai, kau lupa dengan sebuah pepatah yang mengatakan, 'Yang paling kita cintai justru yang paling sering menyakiti.'
Coba kembali direnungkan, apakah kau pernah merasa sakit hati begitu dalam pada orang yang baru kau kenal beberapa jam? Dibanding dengan orang yang benar-benar kau cintai, pernahkah kau terluka saat kau bersama orang yang hanya sekedar teman? Pasti tidak, kan?
Begitu pula dengan Harnell, dibanding mengetahui fakta bahwa Xena adalah seorang penyihir, ia lebih kecewa saat tahu kau hanya memanfaatkannya. Rasa sakit itu bisa muncul karena pengharapan yang terlalu tinggi. Memangnya apa yang kau harapkan dari kembalinya Jadira, tuan?
Jika sedang tidak kalut, seharusnya saat ini Jadira tengah berbangga hati, karena itu berarti Xena tak mampu menggeser kedudukannya dalam sanubari seorang Harnell. Benarkah begitu tuan Harnell? Benarkah Jadira masih merajai peringkat satu? Atau bahkan satu-satunya.
"Aku mengerti kenapa mereka mengutuk kalian, karena memang sudah sepatutnya begitu, karena itulah yang pantas kalian dapatkan." Diselingi tawa getir, "Penyihir penipu bersaudari. Aku tak menyangka takdirku seburuk itu. Selain terlahir sebagai makhluk aneh, ternyata aku masih harus berpartisipasi dalam sandiwara kehidupan kalian. Nasibku benar-benar seperti lelucon." Senyum sinis ia suguhkan untuk dirinya sendiri.
"Harnell, ini tak seperti yang kau pikirkan. Ak-"
"Aku tak memintamu untuk berargumen, Xena."
"Tapi kau butuh sebuah penjelasan dar-"
"Aku tak butuh itu. Aku tak akan percaya penjelasan apapun dari penipu ulung seperti kalian."
Mata Xena telah berkaca-kaca. Overthinking kembali menggerogoti kewarasannya. Ia takut Harnell akan meninggalkannya. Itu tak boleh terjadi. Bukan sekedar sarana pembebas kutukan, tapi Xena juga mencintai pria itu dengan tulus, sungguh. Meski cinta sepihak sangat menyakitkan, tapi wanita itu tak rela untuk kehilangan Harnell.
Sedangkan Jadira masih betah mematung. Mencoba menahan diri agar tak salah bicara. Ia tak mau menyulut emosi Harnell. Wanita itu khawatir kejadian beberapa tahun silam terulang, jangan sampai kantor ini menjadi rata seperti hunian mereka dulu.
Namun sejauh yang Jadira lihat, pria itu tetap bersikap tenang. Hanya saja netranya memang tak dapat menutupi amarah dan kecewa, tetapi Jadira tahu jika Harnell masih bisa mengendalikannya. Reaksi Harnell saat ini sangat berbeda dengan dulu yang penuh emosi.
Harnel tidak semarah itu karena ia tak sekecewa itu. Si tampan Harnell tak menggantungkan masa depannya pada Xena. Tidak seperti Jadira yang Harnell harapkan bisa menua bersama. Jadira was everything to Harnell, she was his life.
"Tanpa perlu kuperjelas kau pasti sudah tahu jika aku tak bisa melanjutkan hubungan ini, Xena."
"Tapi Harnell-"
"Tidak perlu ada 'tapi'. Kita memiliki takdir yang tak bisa dinegosiasi."
"Bisa! Aku keturunan penyihir dari kasta menengah. Aku tak sehebat dirinya, mungkin saja jika kita bersatu tak akan-"
"Tapi tetap saja kau adalah seorang penyihir murni. Jangan memaksakan kehendak hanya untuk kepentingan pribadimu, Xena. Jangan egois. Kau bisa mencari pria lain yang dapat membantumu. Bukan hanya aku manusia setengah penyihir yang ada di bumi ini, dan itu tidak akan menjadi masalah jika kau menikah dengan mereka yang murni memiliki campuran darah manusia dan penyihir, tidak ada campuran darah makhluk lain seperti aku. Salah satu diantara mereka pasti bisa membantumu untuk terbebas dari kutukan itu." Terdapat jeda di sana.
"Maaf aku tak bisa menikahimu. Aku tak mau menerima risikonya." Lanjut pria itu.
"Dengan kata lain, seandainya tak ada risiko yang mengancam, maka kau bersedia menikah denganku?" Senyum miring terukir samar di bibirnya setelah kalimat itu terlontar.
Senyap.
Bukan hanya Harnell yang terperangah mendengar pertanyaan nyeleneh itu, tapi Jadira juga. Bukan hanya Xena yang penasaran dengan jawaban dari pria itu, tapi Jadira juga. Dan bedebahnya mengapa jantung Jadira berpacu lebih cepat dari detak milik Xena. Wanita itu penasaran juga was-was dengan jawaban apa yang akan Harnell berikan.
Jika jawaban 'Iya, aku bersedia', maka hal itu akan menghancurkan Jadira saat ini juga, karena itu berarti Xena telah berhasil menjajah hati Harnell. Mata cantiknya menatap Harnell dan Xena secara bergantian. Sedang Harnell menunduk dan Xena membuang pandang entah kemana.
"If I had no risk, we would never have met, Xena…" Harnell menatap Xena lekat.
Dua pasang mata nona-nona manis itu menoleh pada Harnell secara harmonis. Tanda tanya besar menggantung di kepala cantik mereka. Apa maksud pria ini?
"Because I should have lived happily with her." Mata elang itu melirik sang mantan kekasih.
Jahanam!
Sungguh keparat kau Harnell La Fen! Tidak adakah jawaban lain yang lebih enak didengar? Tidak adakah jawaban lain yang tidak terlalu menjatuhkan Xena seperti ini?
Tidak bisakah Harnell berpura-pura sedikit saja dan cukup menjawab 'Ya, aku bersedia menikah denganmu jika tak ada risiko itu'. Namun jika kau khawatir kalimat tersebut akan menyakiti Jadiramu, setidaknya kau bisa berkilah dengan dialog lain, seperti 'Jangan berandai-andai, Xena, karena kutukan dan risiko tersebut adalah takdir yang tak dapat diubah'. Jika begitu, maka akan terdengar lebih manis.
Benar, terkadang kejujuran lebih menyakiti secara langsung daripada kebohongan manis yang akan menusukmu dari belakang secara perlahan.
Xena merutuki kebodohannya sendiri yang telah terlalu kreatif membuat pertanyaan boomerang untuk Harnell. Seharusnya Xena tidak lupa dengan cerita Jadira beberapa menit yang lalu. Tentu saja jika tak ada petaka yang mengancam, Harnell telah menikahi Jadira sedari dulu, dan benar kata Harnell, mereka tidak akan pernah bertemu. Xena yang malang.
Seperti Harnell yang tak pandai berbohong, begitupun dengan air matanya yang tak mau bersembunyi. Ingin menunjukkan pada dunia jika hatinya meringis, menahan nyeri mendengar pernyataan tersirat Harnell, jika pria itu masih mengharapkan Jadira menjadi wanita satu-satunya di hidupnya.
Daripada sepasang mantan kekasih itu membunuhnya secara perlahan seperti ini, lebih baik mereka langsung saja merenggut nyawanya, tak perlu menyiksanya terlebih dahulu.
Xena tersenyum getir mengasihani diri. Seharusnya bukan Harnell yang menyesal karena telah terlibat dalam urusan Xena dan Jadira, tetapi Xena lah yang menyesal karena telah berpartisipasi dalam kisah cinta Harnell dan Jadira, dimana dirinya hanyalah sebagai figuran semata agar membuat cerita semakin berwarna. Ya, warna biru sangat mewakili sosoknya.
Jika Xena mengira detik ini juga Jadira tengah berbangga hati dan merasa menang atas Xena, maka wanita itu salah besar. Tentu saja separuh sanubarinya bersorak atas kalimat Harnell barusan, namun separuhnya yang lain tak tenang. Dirinya berspekulasi jika Harnell berkata demikian hanya untuk membuat Xena mudah lepas dari pria itu.
Marvelous! Si brengsek Harnell memanfaatkan Jadira untuk membuat Xena sakit hati. Nyatanya bukan Jadira yang menggunakan Harnell sebagai alat untuk ajang balas dendam, tetapi malah pria durjana itu yang membawa-bawa Jadira agar Xena menderita lalu mau berpisah dengannya dan kemudian membenci Jadira. Dasar pria terkutuk! Umpat Jadira dalam hati.
"Kau cantik, Xena, pria manapun pasti mudah untuk jatuh cinta padamu. Tak ada yang perlu kau khawatirkan." Dasar pembual, Harnell bilang 'pria manapun', lalu bagaimana dengan dirinya yang sampai detik ini masih belum mengerti bentuk perasaannya kepada Xena.
"Tapi aku hanya ingin dirimu, Harnell."
Dan aku hanya ingin dirinya.
"Ku harap kau dapat mengerti, Xena, terkadang kita memang telah dikodratkan untuk tidak melawan takdir."
Xena menggeleng lemah, tak terima namun harus terima.
Tak berniat melanjutkan percakapan tersebut, kaki panjang itu melangkah pasti meninggalkan dua wanita berbeda watak yang melihat kepergian pria itu dengan tatapan yang berbeda pula, pun menahan kepergian pria itu dengan cara yang berbeda. Xena mengejar pria itu, menahan lengannya namun segera ditepis oleh Harnell.
"Aku tak peduli kau akan percaya atau tidak, namun aku harus memberitahumu yang sebenarnya."
Berhasil. Perkataan Jadira berhasil menghentikan langkah kaki si pria.
"Tidak seperti tuduhan wanita sialan ini." Jadira menunjuk Xena, "Aku tak pernah memanfaatkanmu sebagai sarana untuk balas dendam."
Harnell menghembuskan nafas berat sebelum berbalik menghadap Jadira.
"Jad-"
"Aku tak peduli jika malah kau yang berbalik menggunakanku sebagai alat untuk lepas darinya, tapi kau harus tahu jika aku kembali bukan untuk memanfaatkanmu."
"Cukup, Jadira!! Tolonglah mengerti, aku sudah muak dengan semuanya."
Jadira mengangguk paham, "Aku hanya memberi tahu, percaya atau tidak itu adalah hak mu." Ujarnya santai.
Harnel menatap Jadira dan Xena bergantian "Baiklah untuk kalian berdua, aku harap ini terakhir kalinya aku berurusan dengan kalian." Oh tentu tak semudah itu Harnell sayang.
"Tid-"
Zlimb! Biarkanlah untuk kali ini Harnell menggunakan kekuatannya, pria itu benar-benar lelah.
"Sialan! Ini semua karenamu!"
Dakk! Tubuh Jadira berciuman dengan tembok pembatas di rooftop itu. Ya, Xena mengeluarkan sihirnya untuk menyerang Jadira. Wanita manis itu benar-benar kalut. Semuanya berantakan karena Jadira. Bahkan waktu yang ia miliki hanya tersisa 75 hari lagi. Jika Xena gagal, maka ia pastikan Jadira harus mati membusuk juga sepertinya.
"Maaf Xena, aku sedang tidak selera untuk bertarung."
Zlimb! Jadira angkat kaki dengan perasaan campur aduk. Xena salah jika berpikir hanya rencananya yang berantakan. Rencana Jadira jauh lebih berantakan karena tuduhan Xena terhadapnya membuat Harnell semakin membencinya.
Sebenarnya Jadira bisa saja meladeni perang sihir yang tadi dimulai oleh Xena untuk melampiaskan perasaannya saat ini, namun menurut Jadira itu tak akan mengubah apapun. Terlebih kekuatannya tak sebanding dengan Xena yang semakin melemah. Itu hanya membuang waktu Jadira. Masih banyak hal lain yang harus wanita itu lakukan.
"Persetaaann!!!" Tinggal lah Xena seorang diri di puncak gedung itu. Melampiaskan kekesalannya pada angin. Meratapi nasib buruk yang harus dijalaninya. Kenapa dunia sangat kejam pada makhluk lemah sepertinya.
Tak ada makhluk terkuat ataupun makhluk yang benar-benar lemah di dunia ini, semua sama. Setiap insan mempunyai masalah sesuai dengan porsinya masing-masing. Hanya saja cara menyikapinya yang membuat mereka terlihat berbeda.
***
"Kau dari mana saja?" tanya Junius saat Jadira masuk ke mobil. Sedari tadi pria itu setia menunggunya di dalam mobil yang terparkir rapi di halaman kantor tersebut.
Bisa Junius lihat jika wanita itu sedang kusut. Nafas berat yang terhembus dan umpatan-umpatan kecil dari bibir manisnya memperjelas kondisi wanita itu saat ini.
"Ck, kali ini apa lagi?" pria itu memutar mata malas.
"Wanita kurang ajar itu sudah berani bermain-main denganku."
"Dia mulai memberikan reaksi berlebih?"
"Hmm" Jadira mengangguk. "Dan karenanya Harnell jadi semakin membenciku. Akh sial! Ini akan mepersulit segalanya." Wanita itu mengusap wajahnya frustasi.
Ttok! Ttok! Ttok! Seseorang mengetuk kaca mobil itu. Jadira menurunkan jendelanya.
"Bisa kita bicara?" tanya Harnell, orang yang mengetuk kaca mobil.
Jadira mengangguk lalu menutup kembali jendela itu, melihat ke arah Junius yang menatapnya penuh tanya.
"Kau punya banyak urusan hari ini, jadi pulang duluan saja." Junius tak menjawab, namun ekspresinya berkata 'bagaimana denganmu?'.
Menggenggam tangan pria itu, meyakinkan "Tenang saja. Aku akan baik-baik saja, ia tak akan menyakitiku." Yang Jadira maksud adalah menyakiti dalam hal fisik. Lalu bagaimana dengan hatimu, nona? Hati Jadira sudah sekuat baja, hatinya sudah terlatih disakiti sejak dini.
Junius hanya mengangguk, "Baiklah, aku duluan."
Jadira tersenyum, "Ya, hati-hati."
***
Cuaca hari ini cukup sejuk. Taman kantor yang didominasi rumput hijau itu dihiasi oleh warna-warni bunga. Semakin membuat nyaman siapapun yang singgah.
Wanita itu hanya menatap lurus ke depan, sedang si pria sibuk curi-curi pandang padanya.
Angin sepoi menerbangkan helaian rambut si jelita, kembali menampakkan bercak merah milik si tersangka yang kini dengan jelas melihatnya.
Sexy. Otak kotornya malah salah fokus. Ya, saking indahnya karyamu itu, membuat Xena kelabakan. Tidak kah kau merasa bersalah, tuan?
Ia menggelengkan kepalanya cepat, terbangun dari lamunan. Sadar akan sesuatu, tujuan Harnell memanggilnya karena ada yang ingin ia sampaikan, bukan untuk terlena akan parasnya yang semakin menawan.
"Berhentilah." Satu kata dari Harnell yang membuat Jadira menatapnya sekilas.
"Hanya itu?" Ia balik bertanya, namun tak mendapat respon dari yang ditanyai.
"Jika hanya itu, maka aku akan pergi sekarang. Aku tak mau bernegosiasi, karena aku tak mau berhenti." Tegas wanita itu, bergegas undur diri namun pergelangannya ditahan oleh Harnell.
"Berhentilah, karena kau tak akan menang, Jadira. Apapun yang terjadi, apapun yang kau lakukan, tak akan bisa membuat keadaan kembali seperti dulu. Aku dan kau sudah tak bisa menjadi kita. Musim kita telah berlalu. Sebuah kisah yang ditinggalkan oleh pemerannya, berarti telah usai."
Sedikit tertohok mendengar kalimat pria itu, namun senyum miring terukir tipis di wajahnya.
"Kau pernah mendapati perubahan watak pada tokoh cerita?" Bertanya santai dan menaikkan salah satu alisnya, "Terkadang tokoh yang selalu disakiti akan berubah menjadi penuh ambisi saat ia harus memperjuangkan hasratnya. Ada juga tokoh jahat yang bertaubat karena menyadari perbuatan kejinya. Jangan lupakan sebuah stereotype si pemeran utama akan selalu bangkit dan berakhir menang."
"Dari semuanya, aku akan menjadi pahlawan untuk diriku di dalam kisahku. Sehebat apapun sang tuan puteri di dalam sebuah cerita, tetap saja ia membutuhkan pangeran untuk melindunginya. Aku tak mau berlakon sendiri, jadi aku akan kembali membawamu bermain peran dalam kisah kita hingga berakhir bahagia seperti kisah klasik dalam negeri dongeng."
"Kau melupakan kemungkinan lain. Tak semua kisah akan berakhir bahagia. Begitu pula dengan milik kita." Kalimat yang dilontarkannya memang sengaja untuk mematahkan angan si jelita.
"I hope our ending won't be that sad." Lirih si puan menggambarkan asa nya yang pupus.
"I wish we'd never met in the past, I wish we'd never talked. I wish I'd never laughed to our lame jokes." Tertawa getir sebelum melanjutkan kalimatnya.
"But, I couldn't. I really couldn't..." bisiknya hampir tak terdengar.
"I wish we'd met in the right place, and right time. Might be we could be together… might be we could…" Suara si tuan sangat lirih.
Setiap kata yang pria itu keluarkan, berhasil menjelma menjadi jarum-jarum yang menusuk hati keduanya. Jadira benci menangis di hadapan orang lain, ia tak mau terlihat lemah. Namun air matanya meleleh begitu saja, tak mau mengalah pada gengsinya.
"Need a hug?" merentangkan tangannya, menunggu si cantik menubruk tubuh tingginya.
Benar saja, di detik ketiga mereka sudah berbagai kehangatan dan persakitan. Harnel memang pandai bermain peran. Sebenarnya pria itulah yang tengah membutuhkan pelukan, namun ia merangkai kata seolah Jadira lah yang butuh.
Bukan karena tak tega melihat wanita itu menangis, namun Harnell hanya mencari tempat bersembunyi saat air matanya berjatuhan. Di balik punggung si puan, ia menangis dalam tenang. Menggigit bibir bawahnya kuat, menghalau isakan agar tak lolos dari mulutnya.
Sialan! Kenapa rasa sakitnya masih sama? Bahkan mereka telah berpisah empat tahun yan lalu. Harnell bersumpah bahwa ia tak lagi memiliki perasaan pada Jadira, tapi mengapa ia harus merasakan sakit itu lagi. Mungkin saja selama ini kau hanya berbohong pada diri sendiri, tuan.
"Apa kau benar-benar sudah menghapusku dari hidupmu?" Oh, damn. Kenapa tiba-tiba Jadira bertanya seperti itu?
Jadira merasakan Harnell mengangguk di balik peluknya.
"Apa kau benar-benar sudah tak mencintaiku lagi?" masih bertanya dibalik dada bidang si pria
Anggukan pasti kembali ia rasakan, sebagai jawaban 'ya, aku tak lagi mencintaimu'.
"Lalu kenapa kau memelukku seperti ini?" jangan terlalu menunjukkan kau sangat berharap, Jadira.
"Agar aku tak melihat air matamu. Kau tak suka ada orang yang melihatmu menangis, kan? Aku hargai itu." Luar biasa! Lidahmu memang sangat terampil menyusun kata, Harnell.
Sepasang mata yang sedari tadi menatap pilu di balik pintu biru itu hanya bisa mengutuk sang waktu. Bisakah ia kembali ke masa lalu? Mengulang semuanya agar saat ini tak ada persakitan yang ia rasakan.
Meskipun tak tahu-menahu apa yang dibicarakan dua insan itu, namun sang kalbu tetap sayu, karena pria itu lebih dulu menemui si jelita dari masa lalu dari pada dirinya yang juga butuh pelukan itu.