Nayna membuang rasa malunya sebagai tamu tak diundang. Kehadirannya di sini karena putrinya.
Arkan benar-benar membuatnya merasa asing. Lelaki itu hanya mengajak bicara putrinya, seolah yang diajak bicara paham.
Tepat pukul sepuluh malam, Ica mulai rewel karena mengantuk. Arkan bisa mengatasinya tanpa harus memanggil Nayna yang berdiri di ruang tengah lantai dua.
Pria itu benar-benar ingin bersama putrinya. Ia meninabobokan Ica sampai putrinya terlelap.
"Banyak kamar di sini, kamu bisa pilih yang kamu suka." Setelah mengatakan itu Arkan berbalik karena kalimat Nayna.
"Aku tidur di sini saja, biar dekat sama Ica."
Arkan melihat ambal yang terhampar di ruangan tersebut. Kemudian mengendikkan bahunya dan masuk ke kamar. Tidur dengan putrinya, sebelum Nayna membawa pergi darinya. Harga dirinya sebagai seorang ayah telah diinjak wanita tersebut. Perkara kepulangannya ke Jogja sama sekali tidak diberitahukan Nayna.
Seandainya ia mengulur waktu lebih tidak pulang, pasti dia tidak akan bertemu lagi dengan putrinya.
Dan, juga wanita itu.
Cukup lama pria itu larut dalam pikirannya. Ia memutuskan keluar. Matanya nyalang menatap Nayna yang tidur meringkuk di ambal. Wanita itu bahkan tidak menyetel suhu ruangan, sehingga tubuhnya yang hanya terbalut piyama kedinginan.
Wajah wanita tersebut terlihat pulas dengan ditutupi sedikit anak rambut. Kelopak matanya indah dengan bulu mata lentik, walaupun sedang tertutup. Dan, ada setetes air di sudut mata yang sudah terpejam itu.
Menggeliat dalam tidurnya, Nayna merasakan kenyamanan. Matanya enggan terbuka, kepalanya berada diposisi yang tepat.
Dan harum yang tercium pun sangat menggugah nikmatnya rasa kantuk.
Arkan yang sudah membuka mata, menunduk. Mengecup rambut yang berada dalam pelukannya. Tangannya memeluk dengan erat tubuh Nayna, semuanya terasa pas.
Tapi ...
"Bububu!!"
Ica sudah duduk, memukul pelan punggung ibunya.
"Cucucu!!"
"Iya sayang," kata Nayna enggan untuk bangun. Ia memeluk tubuh Arkan lebih erat, tentu saja tanpa disadarinya.
"Bbububu."
Kini Ica sudah menangis, dan mau tidak mau Nayna membuka matanya.
"Kagetnya nanti saja, sekarang lepaskan dulu tanganmu. Aku mau membuatkan susu untuk anakku."
Nayna tertegun, rasa terkejutnya kentara sekali.
Dia memeluk Arkan?
"Ica nangis, peluknya bisa nanti lagi."
Reflek Nayna bangun dan membuang wajahnya. Pikirannya belum terkumpul penuh namun tangannya dengan cekatan membawa Ica dalam pelukannya.
Nayna tidak melihat ke arah Arkan ketika pria itu bangun dan keluar dari kamar.
Perlahan, kesadaran Nayna terkumpul. Semalam ia tidur di luar, kenapa bisa berakhir di sini? Tidak mungkin dia sendiri yang masuk.
Atau bisa saja, ketika mendengar Ica menangis dan dengan setengah mengantuk ia masuk ke kamar Arkan. Arghh... Terlalu membingungkan.
"Ayah bawa susu, sini." Arkan duduk di samping Nayna.
Kontan Ica mengulurkan tangannya minta digendong.
"Habisin." kata Arkan mengusap sayang kepala Ica.
"Mandi dulu, handuknya ada di kamar mandi."
Nayna tidak menjawab, tapi ia menuruti perintah Arkan. Mandi untuk memulihkan kesadarannya kedengaran bagus.
Air dingin menyegarkan tubuh Nayna. Setengah jam, ia keluar dengan handuk membalut tubuhnya. "Aku tidak bawa pakaian."
Arkan menoleh, pemandangan di depannya sungguh indah. Ia meneguk susah ludahnya.
"Mas!"
Arkan berdeham, ia berdiri dan membuka lemarinya. "Cuma ada ini, pakai saja."
Nayna menerima kemeja abu pudar. Tanpa celana."Celananya?."
"Tidak ada."
Nayna kembali masuk ke kamar. Sedikit lama di dalam, sebelum ia keluar menenteng pakaian yang sudah dicuci.
"Jemur di mana?"
Arkan menoleh lagi, wanita itu sudah mengenakan kemejanya yang hampir selutut. Dan, terlihat seksi di mata Arkan. "Di balkon."
Nayna melangkah ke arah tunjuk Arkan. Ia menjemur pakaiannya dan pakaian dalam sekaligus.
Tidak langsung masuk, ia menikmati indahnya pemandangan pagi dari atas balkon. Serasa, ia sangat dekat dengan langit.
Ketika masuk, ia tidak mendapatkan Ica dan juga Arkan. Ia menelusuri lantai dua. Namun tetap nihil. Akhirnya ia memutuskan turun, mungkin mereka di bawah.
Benar saja, Arkan sedang memanggang roti dengan menggendong Ica. Dan, putrinya terlihat cantik dengan bando berwarna peach senada dengan dress.
"Ica sudah mandi?"
Arkan menoleh mendengar suara Nayna, matanya lagi-lagi salah fokus. Ibu anaknya tersebut tidak mengenakan bra. "Sudah." ludahnya terasa enggan tertelan.
Nayna menarik salah satu kursi dan merebahkan kepalanya di sana. Matanya melihat putrinya yang anteng dalam gendongan Arkan.
"Kapan kita pulang?"
Arkan membawa satu piring berisi lima roti panggang. Ia duduk berhadapan dengan mantan istrinya."Nanti aku antar kamu pulang."
Nayna mendengus. "Ica?"
"Denganku."
Mana bisa, ia tidak pernah berjauhan dengan putrinya.
"Aku ayahnya, kalau kamu lupa."
Nayna menopang dagunya. "Mas bisa ke rumah."
"Ini rumah Ica."
Nayna merasa terpancing.
"Setelah kamu menikah, Ica akan tinggal di sini."
Raut Nayna sudah mengeras, "Jangan kekanakan. Ica masih kecil. Lagian, aku nggak pernah larang Mas ketemu Ica."
Arkan terlihat tenang. Dia menyuil roti dan menyuapi putrinya.
"Mas Lio juga akan keberatan."
Arkan menepis kasar piring berisi roti yang baru tersentuh sedikit, sehingga isinya berserakan dan pecahan piring menggema di ruangan itu.
"Ica anakku!!" ultimatum yang sarat makna. "Cukup aku mendengarkanmu selama ini!." Setelah mengatakan itu, Arkan keluar. Meninggalkan Nayna dengan rasa terkejutnya.
Samar, Nayna mendengar deru mobil. Arkan pergi, meninggalkannya sendiri. Air mata mengalir dengan derasnya. Nayna memukul keras dadanya. Sesak, ia tidak mengerti sikap Arkan. Tapi melihat sikap Arkan yang seperi itu hatinya sakit.
Jam dua siang, Arkan kembali. Ia menemukan Nayna tertidur di ruang tamu. Meringkuk di sofa. Tidak berniat membangunkan, ia menidurkan Ica yang sudah terlelap di ruang tengah lantai satu. Kemudian beranjak ke dapur, menyiapkan makan siang yang baru saja dibeli.
Ia makan sendiri, dan menyisakan untuk Nayna. Setelah itu, duduk di samping putrinya memainkan ponsel. Banyak pesan masuk dari Laras, yang satupun tidak dibalasnya. Terakhir dari Lio, menanyakan keberadaan Nayna. Arkan kembali mematikan ponselnya.
"Dari mana?"
Kepala Arkan terangkat melihat ke sumber suara.
"Pergi dari pagi, Mas baru pulang sekarang?."
Arkan menatap datar sosok di depannya.
"Mas nggak lupa kan, Ica masih kecil? Mas bawa dia ke mana?."
Arkan bangun, ia mendekat ke arah Nayna. Otomatis, kaki wanita itu melangkah mundur.
"Pakai bra kamu, kamu tidak berniat menggodaku kan?."
Reflek, Nayna menyilangkan tangan di depan dadanya.
"Aku lupa ukurannya, kamu coba saja."
Nayna mengerang, pikiran mesum Arkan sudah membuatnya malu. "Mas cuma beli ini?"
Alis Arkan terangkat, "Apalagi?"
Nayna berdecak, masa iya dia harus memakai bra dan masih mengenakan kemeja laki-laki itu?
"Enggak ada daster yang lima puluhan?."
Senyum Arkan tercetak. "Kamu cantik pakai itu."
"Cantik apanya?"
"Masuk Nay, pakai pakaian dalammu. Aku tidak janji untuk tidak memakanmu sekarang."
Nayna berlari, naik ke atas dengan jantung berdegup. Ia tidak lupa bagaimana Arkan menatapnya.
***