"Kamu mau pulang ke Jogja, kapan Nay?."
Nayna menghentikan kegiatan melipat baju milik putrinya, ketika bu Wati menanyakan keberangkatannya.
Dua bulan yang lalu, wanita muda itu sudah membicarakan perihal rencana pernikahannya dengan Lio kepada mantan mertuanya. Walaupun tidak ada raut bahagia di sana, setidaknya bu Wati tidak menunjukkan ketidaksukaannya.
"Minggu depan, Bu."
"Sekalian Lio?"
Nayna menggeleng. "Mas Lio nganterin ke bandara."
Bu Wati menghela nafas lelah. Satu minggu ini Arkan jarang pulang, alasannya sibuk dengan kasus yang sedang ditanganinya.
Sebagai seorang ibu, ia tahu ada yang tidak beres dengan putranya. Arkan tidak pernah menceritakan permasalahannya. Tapi, nalurinya sebagai ibu yang menguatkan praduga itu.
"Ibu boleh ikut?"
Nayna tersenyum. Ia tahu bu Wati kesepian belakangan ini, karena Arkan sering mengirim pesan padanya untuk mengunjungi selagi ia di luar kota.
"Boleh Bu." Jawab Nayna.
Bu Wati mengangguk, tapi tidak ada senyuman di wajahnya. Terlalu berat masalah yang dihadapi putranya, dan dia pun ikut merasakannya.
Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, tapi Arkan memilih menyelesaikan sendiri. Dan, inilah akibatnya.
"Arkan kalau lagi sakit suka makan apa Nay?." Entah kenapa bu Wati bertanya seperti itu. Tatapannya sendu.
"Biasanya Nay buatin bubur ayam pakai telur rebus, nggak pakai bawang goreng dan daun seledri." Walau merasa bingung, Nayna tetap menjawab.
Pikirannya sempat tersita, memikirkan lelaki yang sudah tiga bulan ini jarang terlihat. Kepentingan Ica selalu diwakilkan pada bu Wati. Ia sendiri, hanya memaklumi. Arkan sudah memiliki kehidupannya yang baru, begitu juga dirinya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, ada secuil rindu yang ia simpan dengan baik.
Air mata bu Wati menyeruak dari sudut matanya. Baginya, Nayna menantu yang baik. Mereka menikah tanpa cinta tapi Nayna memperlakukan putranya begitu baik.
Ia ingin ke Jogja, mengenal lebih dekat keluarga wanita yang pernah menjadi menantunya. Wanita yang sudah disia-siakan putranya.
"Kenapa kalian mau menikah, kalau berakhir seperti ini?."
Nayna menunduk. Pertanyaan bu Wati secara tidak langsung mengingatkannya pada hubungan yang pernah dijalaninya bersama Arkan.
Ia ikut bersalah karena bagaimanapun juga sebelum perceraian itu terjadi, Nayna sempat memikirkan hal itu.
Meski tidak dipungkiri, ada rasa sekecil dzarrah dalam dirinya untuk ayah putrinya. Tapi kembali lagi pada Arkan yang mengagungkan cintanya pada sang tunangan.
"Maaf Bu." Nay tidak punya hak membeberkan kenyataan. Selain membuka kisah yang sudah usai, hal itu juga akan menyakiti perasaan bu Wati.
"Kamu tahu, Nay." bu Wati menatap mantan menantunya dalam. "Sebelum Ibu tahu kebenaran hubungan kalian, Ibu pernah menyuruh Arkan menikahimu."
Nayna terkejut, rasa bersalahnya semakin besar.
"Melihat bagaimana Ica dekat dengan Arkan, dan kehidupanmu nyaris tak bisa dipandang sebelah mata," lanjut bu Wati.
Air mata Nayna jatuh, ia menggigit bibir bawahnya. Terlalu banyak luka yang tertoreh, hingga wanita itu lupa di mana ia harus meraba luka yang paling dalam.
"Maaf, seharusnya Ibu tidak mengatakan apa-apa lagi. Kalian juga sudah bercerai." bu Wati mengusap air matanya.
Dulu, ia bisa melihat dan menemui Nayna kapan saja. Sekarang, semua tidak sama lagi. Setiap inci tubuh Nayna akan memiliki pemilik baru, dan izin suaminya lah yang bisa membuat Nayna bisa bertemu dengannya sesekali.
Sebelum ufuk merah semakin berani menunjukkan diri, bu Wati berpamitan. Karena, ia pulang sendiri jalan kaki melewati beberapa rumah tanpa dijemput Arkan.
Nayna merenungi kata-kata bu Wati. Semua sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali. Kalaupun ada, yang disesali Nayna adalah keputusan sepihak Arkan.
Wanita itu menggeleng, sekarang ia harus fokus pada pernikahannya dengan Lio. Bukan memikirkan orang penyesalan, sekalipun rasa itu menyelip dengan beraninya.
Usai maghrib, Nayna kedatangan tamu yang tak lain adalah mantan suaminya. Alasan klise, menjenguk Ica, putri mereka.
"Mas nggak ditawarin makan, Nay?"
Nayna merasa tidak enak, ia sungkan dan sedikit canggung. "Nay nggak masak banyak, cuma ada telur asin dan sayur lodeh. Mas, mau?"
Arkan mengangguk, ia memang lapar. Kerjaan yang tidak ada habisnya, juga masalah hatinya."Ica, biar sama aku."
Nayna menyerahkan Ica pada ayahnya, kemudian melenggang ke dapur.
"Kalau ada tempe, boleh Nay!." teriak Arkan dari ruang tamu.
Nayna tahu. Tanpa disuruh pun, dia akan menggoreng makanan berbahan kedelai tersebut. Setelah selesai, ia meletakkan di atas meja dan memanggil Arkan.
"Dapat nangka dari mana?."
"Beli."
Arkan mengangguk dan mulai makan. Sesekali ia menyuapi putrinya. Ica duduk anteng di pangkuan ayahnya.
Nayna memperhatikan cara Arkan makan yang sangat lahap. Bahkan, tanpa tau malu pria itu menambahkan nasinya. "Enak, Nay."
Tanpa sadar Nayna tersenyum, dari dulu Arkan tidak pernah tidak memuji masakannya. Bukan hanya sekedar memuji, lidah lelaki itu membuktikannya dengan cara menikmati masakan ibu anaknya.
"Mas Lio pasti senang bisa makan masakan kamu setiap hari," kata Arkan setelah menelan makanannya.
Nayna mengalihkan perhatiannya, tirai ruang tengah sepertinya enak dipandang.
"Ibu tadi ke sini." Nayna berkata tanpa melihat respons Arkan. "Katanya, Mas jarang pulang."
"Aku sibuk."
Nayna tidak tahu, apakah laki-laki itu benaran sibuk.
"Mas tidur di mana?"
"Kantor. Di sana ada ruangan khusus."
Nayna menghela nafas, dan disadari Arkan. Kernyitan di kening Arkan terlihat samar.
"Ibu ngomong apa?"
"Ibu kesepian. Sering ke sini. Jalan kaki sendirian."
Giliran Arkan yang menghela nafas berat.
"Ibu juga minta ikut ke Jogja."
Arkan terkejut mendengar kabar ini. "Jogja?."
Nayna mengangguk. "Aku akan menikah, dan minggu depan aku pulang."
Arkan bangun, dia menggendong Ica. Rautnya tidak tertebak.
"Mau bawa Ica ke mana?"
"Bukankah kamu mau pulang? Aku ingin mengajak anakku menghabiskan waktu bersamanya sebelum kau menjauhkannya."
Nayna terkesiap mendengar nada sinis dan tatapan menusuk Arkan. "Tapi ini sudah malam."
"Aku bawa mobil, bukan naik ojek."
Nayna mendesah, ia tahu Arkan marah. Tapi untuk apa?. "Jangan begini Mas, Ica butuh istirahat."
Arkan bergeming, ia sudah berada di pintu utama rumah Nayna.
"Mas!!"
"Aku ingin dengan anakku, apa salah?." tatapan pria itu sungguh tajam. "Dua tahun, aku hanya melihat. Sekarang aku baru bisa menggendongnya, kamu mau melarang?"
Nayna tercekat mendengar ucapan Arkan. Pria tersebut sangat marah. "Besok aku janji, Mas boleh bawa dia."
"Aku mau malam ini." suara Arkan berdesis tajam dan membuat bulu kuduk Nayna meremang.
Sementara otak Nayna sedang loading, Arkan sudah membuka pintu dan keluar dari rumah Nayna.
"Aku ikut!."Nayna tidak bisa membiarkan Ica berada di luar malam-malam begini tanpa dirinya. Kadang, Ica bangun tengah malam dan memanggilnya
Arkan tidak menjawab, ia masuk ke mobil dan diikuti Nayna dari belakang.
Mobil membelah keramaian kota Jambi, masih banyak tenda dan warung makan yang terbuka.
Arkan menghentikan mobilnya di salah satu swalayan. Ia keluar menggendong Ica, sementara Nayna mengekor di belakang.
Arkan mengambil Popok, susu, dan botol susu. Seperangkat alat mandi dan beberapa pakaian anak-anak. Setelah itu mereka kembali ke mobil. Tak ada yang berbicara sampai mobil kembali melaju.
Nayna tidak tahu apa kesalahan yang sudah diperbuatnya, tapi tidak juga berkomentar atas sikap Arkan.
Dua jam perjalanan, mobil Arkan masuk ke sebuah komplek perumahan. Dan memarkirkan mobil di depan rumah minimalis berlantai dua.
***