webnovel

Sekolah Bunga

Surabaya

Bunga POV

Julian membukakan pintu mobil untukku. Aku tersenyum sumringah kepadanya.

"Sekolah ini kelihatan sepi," komentarku ketika kami menuju pintu depan. Pandanganku menjelajahi ke segara arah yang dapat aku jangkau. Aku perhatikan taman depan skeolah yang tertata apik berpadu dengan eksterior sekolah yang didominasi warna putih gading.

"Iya," tanggapnya sambil membuka pintu depan. "Sedang liburan akhir semester. Hanya ada OB. Itu juga kalau aku panggil, kalau tidak ya kosong melompong seperti hari ini."

"Sekolah yang unik, Fajar. Bunga yang desain sendiri?" ucapku berkelit.

Julian tertawa, "Masih konsep dasar, aku dan Bunga yang rancang. Sisanya aku minta bantuan teman-teman arsitek."

Aku berhenti, "Tapi, sayang sekali ya, kalian tidak tinggal disini lagi untuk membangun sekolah ini." aku menatapnya sungguh-sungguh.

"Our dream not here," ucapnya pelan. "Tapi, nanti setelah pergantian semester, muridnya akan bertambah banyak kok..."

Aku mengangguk, mengerti. "Jelas lah... Eh, tapi Bunga akhirnya jadi harus meninggalkan kerjaannya sebagai guru disini, tapi tinggal sama kamu di Jakarta, ya?"

"Sebelum kecelakaan itu, aku sudah mencarikan kesibukan baru untuknya di sana. Sebenarnya, dia belum resmi pindah ke Jakarta. Karena kelihatannya, dia masih berat meninggalkan kariernya di sini."

"Kariernya itu kan yang membuatnya bahagia, Fajar. Wajar kalau dia keberatan."

"Seharusnya, dia punya proritas antara pekerjaan dan keluarga."

"Dia perempuan hebat, Fajar. Kenapa kamu harus menahannya untuk terbang dengan saling mengikat, kalau melihatnya terbang saja sudah membuatmu bahagia?"

"Kamu salah. Aku ingin dia ada di sisiku," kilah Julian sambil mematri pandangannya pada taman yang terletak di satu sisi halaman.

"Membiarkannya terbang, bukan berarti hatinya tidak di sisimu." Aku berdiri sejajar dengannya, mencoba mengarahkan tatapanku ke titik yang sama.

Dengusan napas panjanganya kembali terdengar. Ada yang berat bergelut di benaknya. Sesak rasanya jika pikiranku dibawa dalam kalutnya masalah ini.

***

Author POV

Begitu taksi yang membawanya dari Bandara meluncur memasuki jalan kecil yang menuju rumah orang tuanya Bunga, Flora merasa dadanya berdebar hangat. Tidak sadar dia mengulurkan tangannya mencekal lengan Julian.

Julian menoleh. Saat melihat cahaya di wajah istrinya, dia tersenyum. Itulah pertama kali dia melihat wajah Bunga bersinar cerah. Biasanya wajah itu selalu diliputi kecemasan, keresahan, kadang-kadang malah ketakutan.

"Rumah masa kecilmu," katanya sambil menepuk tangan istrinya dengan lembut. "Ada yang sudah kamu ingat kembali?"

Memang belum secepat itu. Belum ada yang diingatnya kembali. Tetapi paling tidak, ada secercah perasaan yang sulit dijelaskan membelai hatinya. Perasaan seperti mengenali sesuatu dari masa lalunya... perasaan yang hangat. Akrab.

Dan perasaan itu tambah bergelora ketika taksi mereka berhenti di depan sebuah rumah tua. Lebih-lebih ketika burung-burung merpati di atas bubungan sana mengepakkan sayap sambil berdesah seperti menyambut kedatangannya. Suara burung-burung itu ibarat sebuah simfoni klasik yang menitikkan perasaan baru.

Sesudah membayar ongkos taksi, Julian menjinjing koper Bunga dan membimbing istrinya memasuki halaman luas yang tidak memiliki pintu pagar itu.

Sebuah bangunan kuno peninggalan zaman Belanda seperti muncul begitu saja di antara kerimbunan pepohonan yang telah berumur puluhan tahun. Temboknya yang tua seakan-akan tidak tersentuh modernisasi. Tetap menjulang kokoh dan agun meskipun warnanya telah pudah dimakan usia dan diselimuti lumut. Tiang-tiangnya yang besar tetap tegak dengan tegarnya mewakili zamannya. Tidak peduli seandainya hanya tinggal mereka yang masih terpancang menjadi saksi bisu.

Di kanan-kiri jalan setapak yang menuju pintu rumah, rumput dan alang-alang tumbuh liar seperti pengawal setia yang tak lekang oleh waktu. Sementara bau tanah basah laksana aroma sedap yang sudah sekian lama tak pernah lagi menyapa penciuman Flora.

Aroma yang mengembalikan ingatannya ke suatu masa yang sudah lama ditinggalkannya... Samar-samar ingatan itu mulai singgah di otaknya... Dia seperti melihat dua anak perempuan berlarian dengan riangnya di bawah jambu di sudut sana...

Mereka menghampiri pintu kayu yang setengah bagian atasnya terbuat dari kaca lebar. Julian memasukkan kunci pintu ke lubangnya, memutarnya, lalu membuka pintu.

Derit suara pintu yang berat itu seperti mengembalikan ingatan Flora ke suatu masa dalam hidupnya. Masa yang sudah lama dilupakannya. Masa yang dengan susah payah dicoba untuk diingatnya kembali tapi sia-sia.

Yang tersisa dalam hati kecilnya hanya sekerat rasa pedih dan ngilu. Yang membuat matanya terasa panas menahan haru.

Begitu pintu terbuka, sejumput udara berbau tidak sedap menerkam hidung mereka. Membuat Julian terbatuk sedikit. Sementara suster yang berdiri agak jauh di belakang menggigil ketakutan.

Ibu benar-benar sakit, pikirnya ngeri. Mau apa dia tinggal di rumah hantu yang begini seram? Punya rumah bagus di Jakarta, kenapa memilih tinggal di rumah tua seperti ini?

"Ayo masuk, sus!" Tegus Julian ketika dia menoleh ke belakang dan melihat suster masih tertegun bengong menjinjing koper. "Kenapa kamu bengong di situ terus?"

Tertatih-tatih suster menjinjing kopernya masuk ke dalam rumah. Dan saat melihat rumah tua yang sudah lama dibiarkan kosong itu, dia jadi bertambah takut.

"Apa rumah ini tidak ada setannya, Nyonya?" gumamnya lirih.

Flora juga tidak tahu. Tetapi dia tidak peduli. Ada setannya atau tidak, kalau rumah ini dapat mengembalikan memorinya, dia tidak keberatan tinggal di sini. Dia lebih takut kehilangan ingatan daripada bertemu dengan setan.

Baru masuk saja, Flora sudah merasa akrab dengan suasana di rumah ini. Pintu yang terbuat dari kayu jati tua dengan handel bulat terbuat dari marmer putih itu serasa sudah sangat dikenalnya. Tangannya serasa sudah gatal hendak menyentuh hendel itu. Siapa tahu ada seberkas kenangan yang dipancarkan ke dalam benaknya.

 To Be Continued