webnovel

Teman Baru

Jakarta

Flora POV

Sungguh senang rasanya bisa kembali ke taman ini. Aku berjalan perlahan ke bangku yang dua hari lalu kududuki bersama Juna. Dari sana, aku menikmati pemandangan di depanku.

Aku bersandar ke bangku, merasa sangat mengantuk. Hampir dua malam ini aku tidak bisa tidur memikirkan orang yang sudah kulupakan. Kepalaku juga jadi sakit. Aku harap taman ini bisa membuatku rileks meski hanya sebentar.

"Ternyata kita memang benar-benar jodoh." Mendadak aku mendengar suara Juna di belakangku. Aku menoleh dan melihat Juna berdiri di belakangku dengan senyum manis di wajahnya.

"Juna!" seruku senang, dan setelah itu aku jadi malu. Aku terdengar terlalu bersemangat karena bisa bertemu dengannya lagi.

Juna duduk di sebelahku.

"Jadi kamu memang suka datang ke taman ini, ya?" tanyanya.

"Hmm," sahutku. "Aku suka suasananya."

"Aku juga," kata Juna. "Rasanya tempat ini begitu tenang."

"Ngomong-ngomong soal kecelakaanmu," kata Juna, "bagaimana dengan ingatanmu?"

"Masih belum ada kemajuan," kataku sedih. "Tapi temanku memberi tahu kalau aku tidak sendiri saat kecelakaan."

"Dan kamu masih belum bisa mengingatnya?" tanyanya.

Aku menggeleng sedih. "Aku berusaha untuk bisa mengingatnya. Tapi aku tidak bisa ingat apa pun."

"Tenang saja," kata Juna. "Cepat atau lambat kamu pasti bisa mengingatnya."

"Kuharap begitu," desahku. Ketika aku ingin meneruskan kata-kataku, mendadak saja perutku berbunyi.

Aku merasa malu sekali dan yakin wajahku saat ini pasti memerah. Aku baru ingat kalau belum makan siang. Tapi kenapa perutku harus berbunyi sekeras itu?

Wajah Juna tampak geli. "Kalau kamu mau makan, ada cafe di dekat sini. Kamu pasti suka makanan di sana."

"Aku tidak lapar," dustaku, untuk menutupi rasa malu.

"Tapi sepertinya perutmu lapar," goda Juna.

Aku tidak bisa berkelit lagi. Akhirnya aku menurut saja ketika Juna membawaku ke cafe yang dimaksudnya. Ketika menginjakkan kaki di cafe itu, aku langsung merasa kalau pernah ke tempat itu sebelumnya. Aku pun mengatakan hal itu pada Juna.

"Cafe ini kan dekat dengan taman, jadi mungkin kamu memang sudah pernah ke sini," kata Juna menanggapi.

Kami memilih duduk di meja yang paling ujung. Aku memesan nasi goreng, tapi Juna tidak memesan apa pun.

"Kamu tidak mau makan?" tanyaku.

"Aku sudah makan tadi," jawab Juna. "Jadi aku temenin kamu makan saja. Aku bisa kenyang hanya dengan melihat kamu makan."

Makananku datang tidak lama kemudian, dan aku langsung melahapnya. Juna terus mengamatiku selama makan, membuatku jadi grogi.

"Jadi kamu ini masih kuliah atau sudah kerja?" tanyaku basa-basi, supaya Juna memiliki kegiatan lain selain menontonku makan.

"Aku sudah kerja," jawab Juna.

"Oh ya? Dimana?" tanyaku lagi.

"Bandung," jawab Juna singkat.

"Senangnya bisa bekerja," kataku.

"Berarti kegiatanmu selama ini hanya berkisar antara rumah dan taman?"

"Iya," kataku. "Membosankan sekali, kan?"

"Sangat membosankan," kata Juna setuju. "Bagaimana kalau kapan-kapan kita jalan-jalan?"

"Maksudmu jalan-jalan di taman?"

Juna tergelak. "Tentu saja bukan. Kita jalan-jalan di tempat lain. Tapi itu juga kalau kamu mau."

Aku menatap Juna, merasa ragu untuk menjawab. Biar bagaimanapun baiknya dia, tapi kan tetap saja kami belum lama kenal.

Sepertinya Juna bisa membaca keraguanku.

"Kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa." katanya. "Aku bisa mengerti."

"Bukannya aku tidak mau," kataku cepat-cepat. "Hanya saja, aku merasa aneh."

Juna mengernyit. "Merasa aneh, kenapa?" tanyanya tidak mengerti.

"Aku merasa, aku ini orang yang susah bergaul," kataku jujur. "Dan terus terang aku tidak suka bertemu dengan orang asing. Hanya saja kamu ini sepertinya pengecualian untukku."

"Mungkin itu karena aku orang yang supel," kata Juna, sepertinya merasa bangga dengan kelebihannya itu. "Banyak orang yang dengan mudah merasa dekat denganku. Mungkin hal itu juga berlaku untukmu. Terus terang, aku memang tertarik untuk jadi temanmu."

"Kenapa?" tanyaku ingin tahu.

"Karena sepertinya kamu menyenangkan," kata Juna.

Aku jadi merasa tersanjung mendengarnya. Aku tidak pernah menganggap diriku sebagai sosok yang menyenangkan. Tapi sepertinya Juna memang tulus ingin menjadi temanku.

"Kalau begitu, mungkin kapan-kapan aku mau pergi denganmu," kataku akhirnya, membuat Juna langsung tersenyum lebar.

Aku masih berusaha untuk menghabiskan nasi gorengku ketika tiba-tiba sesuatu memasuki pikiranku. Semua yang ada di sekitarku menjadi kabur, dan ketika segalanya tampak jelas kembali, aku masih berada di cafe itu. Hanya saja, kali ini bukan Juna yang duduk di hadapanku.

Aku melihat seorang laki-laki yang wajahnya tampak buram di mataku. Laki-laki itu duduk di hadapanku, tampak sedang berbicara denganku, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya.

Namun aku bisa merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat bersamanya. Hatiku terasa hangat. Dan saat laki-laki itu menggenggam tanganku, aku merasakan sebuah debaran yang aneh.

Kilatan ingatan itu perlahan meninggalkan pikiranku, dan aku pun kembali dunia nyata. Aku bernapas dengan terengah-engah, dan bisa kurasakan keringat mengalir di tubuhku. Aku memegang kepalaku yang berdenyut menyakitkan, berusaha menghilangkan rasa sakitnya.

To Be Continued