webnovel

Surabaya is Home

Surabaya

Bunga POV

Iklan-iklan itu, foto-foto itu, seluruh tulisan yang aku baca itu tidak bohong.

Sebuah perasaan kurang nyaman menelisik benakku. Seperti ada seseorang yang diam-diam, mengikuti. Aku menghentikan langkah menapaki tiap undakan menuju titik yang aku tuju, tempat pertemuan itu.

Punggungku meremang. Seolah ada sepasang mata mengamatiku dari balik labirin yang rapat ini. Perasaan lama yang cukup aku kenal.

Aku berdiri tegak, dan memutar pandangan. "Fajar?" bisikku nyaris tak terdengar.

Tangga batu menyembulkan sosok itu.

Julian membalas dengan tarikan bibir yang aku hafal luar kepala. Sekejap senyum pria itu pun merekah tak kalah lebar. Kerlip kebahagiaan yang sekilas muncul di manik matanya, membuat lututku mendadak seperti semacam agar-agar.

"Dania..." suara berat Julian menyapa gendang telingaku, memaksaku tetap berdiri tegak dan mencoba sedapat mungkin terlihat baik-baik saja.

"Hai..." sahutku, tidak berhasil menyembunyikan suaraku yang gemetar. Aku sibuk memaki-maki diriku sendiir, yang grogi seperti anak bau kencur.

"Senang sekali kita bertemu lagi." Julian mengangkat satu alisnya.

"Senang sekali kita bertemu lagi." Nada membeo dengan suara parau. Kebahagiaan yang membanjir ke seluruh sel-sel tubuh, ternyata justru berdampak buruk pada kinerja otakku. Kemampuanku merangkai kata-kata menguap seperti embun bertemu sinar matahari. Dia hanya bisa malu-malu menatap balik pada pemuda jangkung di hadapanku.

Senang sekali kita bertemu lagi. Tepatnya, sungguh sangat senang sekali, kita bertemu lagi.

Detik berikutnya, kalimat itu menjelma jadi kebohongan terbesar dalam hidupku.

Dari belakang Julian, tangga batu kini menyembulkan sosok baru. Rambut kocekelatan yang meriap oleh angin, wajah tirus yang luar biasa memesona.

Dia melambaikan tangan padaku yang mematung.

"Halo..." sapanya ringan.

Berikutnya, semua bergerak lambat di mataku, seperti adegan slow motion dalam film.

Julian menoleh ke kanan. Dia tersenyum melihat siapa yang datang. Julian mengulurkan tangannya. Dia menarik wanita ini mendekat, dia memeluk bahunya dengan tangan kanan. Julian tersenyum sangat lebar.

"Dania, ini Bunga."

***

Bagaimana jika...

Bagaimana jika kau terbang melintasi benua demi seorang pria yang sepertinya menjadi milikku, namun ternyata kautemukan dia sudah bersama orang lain, dalam bentuk rupaku?

Aku ingin tenggelam ke dalam salah satu tempok bahi di belakangku, saat ini juga.

Tidak usah muncul-muncul kembali.

***

"Hi. I'm Bunga. Nice to meet you."

"Hi. Flora. Senang bertemu denganmu."

Kami bertukar senyum

Senyum indah ala diriku yang dulu terpatri indah dalam wajah wanita dihadapanku ini.

Senyum terpaksa bak orang sakit gigi ala diriku yang sekarang.

Susah payah aku menekan gemuruh di dalam dadaku. Berusaha bersikap sesantai mungkin.

Beruntung, mataku menemukan fokus lain untuk melarikan perhatian. Tiga ekor kucing, tengah bergelut di bawah matahari sore di salah satu undakan. Makhluk-makhluk lucu itu lumayan menghibur hatiku. Sekaligus mengisi kecanggungan yang tercipta.

"Flora?"

"Y...ya?" aku menoleh ragu-ragu pada Julian. Memastikan memang namaku yang dipanggil. Mataku menemukan wajah Julian yang tersenyum. Kami sepakat sejak di sekolahan bahwa mulai saat ini akan mulai memanggil nama masing-masing dengan sesuai dengan nama pertama kami, dalam rangka memulihkan ingatan Bunga, yang menurutku sangat tidak berguna karena dia bukan Bunga.

"Kamu tidak keberatan kan, kita ngobrol di kafe?" Akhirnya, setelah menit-menit penantian yang panjang. Julian tersenyum khusus padaku.

"Oh, Oke. Yuk. Aku ikut saja." aku menatap kedua manusia di hadapanku bergantian, dengan perasaan tak tentu.

"Oh, aku tidak bisa ikut," Flora mengulas senyum, menyadariku bergeming karena menunggunya. "Aku harus kembali ke rumah. I hope next time i could join. Maaf ya, aku membuat Julian terlambat dan kamu harus menunggu..."

"Oh? tidak apa-apa, Bunga..." Aku menyahut kalang kabut. Tapi, Flora sudah menoleh pada Julian.

"Oke, sampai nanti, dear..." ujarnya. Mereka berdua saling memeluk dan mengecup pipi.

Seluruh kegiatan yang sarat keakraban itu tak luput dari pengamatanku. Dan itu bodoh. Karena, ternyata potongan-potongan adegan itu melahirkan tusukan rasa sakit yang tak aku kenal. Merayap masuk menekan dada.

"See you around, Flora?" Flora menyodorkan pipinya.

Bingung apakah harus mengecup atau menempelkan pipi, aku menyambut dengan bahasa tubuh yang menunjukkan keakraban itu dengan pelukan canggung yang kaku.

"Bye!"

"Bye!"

Setelah tubuh Flora menghilang di balik tikungan, barulah aku memutar tubuh. Mataku menemukan Julian tengah mengamatiku dengan tatapan setengah geli.

Sorot mata yang sangat menggangguku.

"Apa?" bentakku tertahan.

Julian pura-pura ketakutan, melangkah mundur satu kali. Namun, mimik wajahnya tidak bisa berdusta. Sisa senyum geli itu masih di sana.

Seperti disengaja, dua detik bola mata Julian bergerak melihat tas yang aku bawa. Seakan berusaha mengukur, apakah benda itu cukup berbahaya seandainya nanti aku menggunakannya sebagai senjata.

Dengan dramatis, Julian mengembuskan napas lega.

Aku nyaris memutar bola mata. Aku paham betul makna seluruh gerakan Julian itu.

"Ayo, kita jadi pergi kan?" aku mendelik galak.

Julian mengerutkan dahi. Tapi, dia menolak terpancing ikut marah-marah.

"Jadi, shall we?" dengan anggun Julian mengulurkan lengannya siap menggandeng.

Sambil menyipitkan mata, aku melengos, membiarkan tangan itu menggantung di udara. Lalu cepat-cepat aku mengambil langkah.

"Flora!" Julian memanggilku. Aku menoleh sebal.

Tangannya menunjukkan arah jalan yang berlawanan.

"Bukan ke situ. Ke sini jalannya..."

***

Juna POV

Aku mengayuh sepeda yang aku sewa perlahan, hingga mencapai sebuah kolam dengan hamparan hijau rerumputan serupa permadani raksasa mengelilingku. Di tepian kolam aku berhenti. Aku memandang sekeliling. Menghirup udara segar sedalam-dalamnya, hingga paru-paruku terasa penuh. Ini pertama kali aku tempat ini. Namun, entah mengapa ada rasa nyaman, seolah aku terikat dengan tempat ini. Bagaimanapun, ada bagian kecil darah Surabaya yang diwariskan nenek mengalir dalam tubuhku.

Flora.

Nama itu mendadak menelusup dalam pikiranku, membuat jantungku berdenyut lebih cepat. Wanita itu yang membuatku mau menginjakkan kaki ke tanah ini. Kalau bukan karena Flora, sedikit pun aku tak punya keinginan merasakan berada di tempat lahir nenek ini. Flora juga yang telah menghancurkan harapanku. Semula aku menyimpan keinginan suatu hari akan mengajak Flora ke tempat ini, tapi Julian mendahuluiku. Seharusnya aku tahu, yang diharapkan Flora selama ini hanyalah Julian. Aku sudah siap dengan segala resiko itu. Aku hanya akan mengungkapkan perasaanku yang telah terpendam lama. Aku tidak ingat kapan tepatnya mulai jatuh hati pada Flora.

Aku mendongak, menatap pucuk-pucuk pohon yang terlihat olehku. Pandanganku menerawang.

"Surabaya," gumamku.

Aku tersenyum getir. Akhirnya pilihanku jatuh pada kota ini. Aku mengangguk mantap. Kota inilah tujuanku saat ini. Membawa serta hatiku yang terluka, akan aku basuh dengan perjuangan. Memulai lagi hidup dari nol di kota yang jauh lebih besar daripada Bandung. Pastinya tidak mudah, tapi aku butuh kesibukan menaklukkan kesulitan lain untuk melupakan sejenak rasa kecewaku. Aku akan menepati janjiku pada Ibunya Flora. Tak akan kembali sebelum luka di hati Flora sembuh.

Aku menghirup lagi dalam-dalam udara tropis yang sejuk ini. Aku mengangguk dan tersenyum, lalu mengayuh kembali sepedaku menuju pintu keluar dengan kecepatan penuh. 

To Be Continued