webnovel

Masa Lalu

Flora POV

"Bunga?"

Suara Julian memecah tidurku dan membangunkanku. 

Aku mengangkat kepala yang bertumpu pada kedua lengan, lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Awalnya aku tidak tahu mengapa diriku sampai bisa tertidur di meja dapur, tapi kemudian aku ingat.

"Julian," katanya. Rasa nyeri mendera bahuku saat aku menegakkan badan.

"Kamu sedang apa di sini?" tanyanya.

"Aku terbangun saat tengah malam."

Julian duduk di hadapanku. "Lalu kamu kemari dan duduk di sini?"

Cahaya pagi masuk melalui jendela yang menghadap ke timur. 

Aku memandang keluar, tapi tidak ada apa-apa. Mungkin yang kulihat di sana tadi malam hanya ilusi, pikirku. Tapi mimpi buruku jelas bukan ilusi.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

"Sudah lebih baik."

Aku berdiri, meregangkan tubuh, dan melangkah pelan ke jendela. Sejenak aku memandanginya, lalu berbalik.

"Aku pergi ke suatu tempat," kataku pelan.

Julian mengerutkan dahi.

Jari-jariku menyisir rambut panjang hitamku. "Dan ada lagi yang kuingat."

"Ceritakan padaku."

"Yang kuingat, tempat itu gelap sekali," kataku dengan suara mengambang. "Aku tidak bisa pergi, dan ada seseorang yang bersamaku di sana..." 

Sebuah gambaran muncul sekelebat, tapi segera lenyap. Apa pun itu, ingatan itu menjalarkan rasa ngeri ke seluruh tulangku. 

Julian menaruh tangannya di bahuku.

Apakah itu semacam hantu?

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin semua ini gila. 

Ingin sekali aku memercayainya, tapi mungkin yang gila itulah yang sebenarnya terjadi.

Julian menatapku bingung, berusaha mencerna semuanya.

"Hanya itu," tukasku. "Hanya itu yang bisa kuingat. Kurasa itulah yang kualami."

Julian seperti berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Oke, baiklah," katanya. 

"Kamu berada dalam gelap. Bagaimana kamu bisa kabur dari sana?"

Aku berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. "Tidak tahu."

Julian memandang padang rumput di belakangku.

"Wanita itu..." bisikku tiba-tiba, lebih tampak seperti bicara pada diriku sendiri ketimbang pada Julian. "Ya Tuhan, Wanita ada di suatu tempat di luar sana dan dia masih hidup. Dia membutuhkanku, dia membutuhkan kita. Aku harus mencarinya."

Julian mendesah. "Bunga, sayang, sudah kubilang: Itu kecelakaan pesawat dan memang ada banyak penumpang yang menjadi korbannya memang bukan hanya kamu yang menjadi korbannya."

Aku mengalihkan pandangan. Pada dasarnya Julian bermaksud mengatakan bahwa aku baru saja mengalami sesuatu yang berat dan aku perlu menjernihkan pikiran. Namun ada fakta yang selalu ada bagaimanapun aku berusaha menjernihkan pikiran, Wanita itu benar-benar sudah meninggal.

Tidak, dia belum meninggal.

"Julian," kataku.

Aku duduk di dekat jendela. "Aku tidak ingat. Sungguh, aku tidak ingat."

"Ayolah, pasti ada yang bisa kamu ingat."

Aku beranjak dan mengusap pipi Julian sekilas. "Dari suaramu sepertinya tenggorokanmu kering. Mau kubuatkan teh?"

"Tidak usah, duduk saja. Biar aku yang buatkan."

Julian mengisi ketel dan menyalakan kompor. Sementara kami menunggu air matang. Aku berpikir keras. Pasti aku pernah mengatakan sesuatu pada Julian pada minggu-minggu terakhir itu. Tapi soal apa? Kemudian aku terpikir sesuatu yang mungkin akan dianggap konyol oleh Julian.

Air di ketel sudah mendidih. Julian menuangkannya ke dalam dua cangkir teh.

Tiba-tiba Julian mengatakan sesuatu. 

"Aku mencintaimu lebih dari yang kukira dan aku tersiksa sekali kalau kamu tidak percaya padaku. Kita mungkin tidak akan ada di sini kalau saja kamu bisa terbuka padaku sejak awal. Kalau saja kamu mengizinkanku untuk ikut bersamamu kesini, sebagaimana mestinya seorang suami, ini semua mungkin tidak akan terjadi. Kamu lupa betapa khawatirnya aku. Berapa sampai sekarang pun aku masih khawatir!"

"Julian…" suaraku terdengar serak.

"Apa lagi yang bisa kuperbuat untuk menyakinkanmu bahwa kamu segalanya bagiku, Mine? Bahwa aku mencintaimu dan menginginkan yang terbaik untukmu? Apa? Coba katakan padaku!" kata-katanya terucap cepat dan tulus.

Aku mulai terisak dan kemarahan Julian pun mereda.

"Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti ataupun mengesampingkanmu."

"Aku juga minta maaf. Aku lelah."

Aku masih tersedu. Baru sekarang aku sadar bagaimana perasaan Julian selama beberapa hari ini. Aku baru saja mengalami kecelakaan pesawat dan aku yang sempat menghilang tanpa jejak dan yang bisa lelaki itu lakukan hanyalah menunggu dan berdoa. Dan Julian benar bahwa diriku telah menjaga jarak dengannya.

Julian menginginkan cinta, bukan hanya tubuhku. Aku memahami itu, tapi aku tidak bisa memberikan apa yang paling diinginkannya untuk saat ini. Meskipun mau, tetap aku tidak bisa.

Aku menyeka air mata. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Julian merenungkannya. "Pertama-tama, kita berhenti membicarakan kecelakaan itu. Itu topik rawan, yang menyiksa kita berdua. Tapi bolehkah aku menyarankan sesuatu?"

"Silahkan."

"Apa tidak sebaiknya kamu pergi ke dokter? Maksudku, siapa tahu ada masalah lain, selain hilang ingatan."

"Ada benjolan di kepalaku dan sedikit lecet, hanya itu saja. Tidak terlalu parah."

"Kamu bukan dokter."

"Aku baik-baik saja. Aku hanya terbentur sedikit dan kelelahan."

"Kamu ini keras kepala sekali," ujar Julian. "Baiklah, aku akan membuat perjanjian denganmu. Kalau aku merasa perlu, aku akan membawamu ke dokter. Dan aku tidak mau dengar apa pun alasanmu."

"Oke, setuju."

"Orang bijak mana pun akan istirahat dulu beberapa hari setelah mengalami kejadian seperti yang kamu alami. Tapi kamu tidak."

"Memang tidak. Aku tidak seperti orang lain dan aku mungkin juga bukan orang bijak." Nada bicaraku berubah hangat dan penuh kasih. "Maafkan aku sudah menjaga jarak darimu. Dan tidak memperbolehkanmu tidur denganku. Aku tidak ingat apa yang kukatakan sebelum pergi, tapi aku sudah membuat kesalahan besar. Aku minta maaf. Sungguh."

Setelah diam sejenak, aku berkata, dengan nada resmi. "Aku pasti mengatakan sesuatu pada ibuku sebelum kejadian itu. Kita harus bicara dengannya."

"Ya," kata Julian. "Kurasa kamu benar. Dan ada hal lain lagi yang harus kita lakukan." Julian menatap mataku yang kebingungan. "Apa isi pesanmu?"

"Apa?"

"Kamu kehilangan ponsel," kata Julian. "Tapi komputermu pasti menerima surel, surat-surat, pesan-pesan di Instagram, hal-hal semacam itu. Bukankah kita bisa menemukan sesuatu yang menarik dari situ? Hal-hal yang mungkin bisa menghubungkan kita sebelumnya?"

To Be Continued