webnovel

Secret

Julian POV

Aku menelepon Ibu mertuaku, meminta maaf karena tidak jadi datang sehari sebelumnya. Dia mengomel karena sudah menunggu tanpa kejelasan, tapi aku menenangkannya dengan mengatakan bahwa kami akan datang bersama-sama secepat mungkin.

Setelah dia mandi, ia baru sadar untuk membeli peralatan dapur.

"Aku juga tidak punya uang," gerutunya. "Aku merasa seolah harus bergantung padamu sepenuhnya."

"Aku suka perasaan itu," kataku sambil tersenyum. "Kita memang perlu pergi ke toko karena kita tidak punya makanan di kulkas. Bagaimana kalau kita makan roti lapis di supermarket sekalian berbelanja di sana?"

Bunga setuju dan kami pun pergi sambil terus mengawasinya dengan saksama, nyaris bertingkah seperti pengawal pribadi. Aku masih mengkhawatirkan keadaan fisik dan emosinya. Secara fisik, dia tampak baik-baik saja. Tapi apakah keadaan mentalnya dalam keadaan baik? Aku tahu sedikit tentang amnesia. Salah satu rekanku dulu pernah menderita amnesia parah setelah terluka dalam sebuah serangan dan kemudian menyaksikannya hancur berkeping-keping secara mental. Aku tidak pernah bisa mengingat kejadian traumatis itu secara utuh.

Kami makan roti lapis dan berbelanja daging, sayuran, telur, dan roti. Bunga juga memasukkan susu dan soda ke dalam keranjang belanja kami. Saat tiba di area pakaian wanita, mukanya tertekuk.

"Lihat apa yang terpaksa kukenakan. Jelek-jelek semua! Ini pakaian yang mungkin dulu dipakai nenekku. Apa mereka cuma punya ini?"

Aku tertegun sejenak, sejak kapan Bunga punya kebiasan untuk secara tegas mengutarakan ketidaksukaannya terhadap sesuatu, biasanya dia orang yang paling tidak enak untuk mencela apapun, apalagi ini tentang pakaian, yang notabene dia tidak pernah mengikuti trend model fashion. Aku menahan diri agar tidak bertanya kemudian membayar belanjaan kami, kemudian masuk ke mobil. Setelah tiba di rumah dan menyimpan barang belanjaan, aku berkata, "Dengar. Hari ini kita santai dulu dan besok baru kita lanjutkan urusan ini."

Bunga menggeleng. "Aku tidak bisa hanya duduk-duduk di sini, Julian. Aku bisa gila."

"Dan kamu yakin tidak mau pergi ke dokter, sekadar untuk memastikan?" 

"Aku tidak apa-apa," ujarnya tegas.

"Yakin kamu tidak akan pingsan?"

"Yakin sekali," tegasnya penuh tekad.

"Kalau begitu," kataku, "Aku punya usul."

"Aku mendengarkan."

"Ayo kita pergi menemui ibumu di Surabaya."

Bunga mengerjap.

"Surabaya," ujarku. "Kita perlu menemukan titik yang pernah kamu datangi, bukan? Untuk memulihkan kembali ingatanmu"

Aku menangkap keraguan di wajahnya.

"Apa kamu takut?"

"Ya," jawabnya.

"Mine, kita tidak harus melakukannya hari ini. Kamu tahu aku lebih suka menundanya sampai besok, supaya kamu bisa cukup beristirahat."

Bunga menggoyangkan telunjuknya ke arahku. "Aku harus melakukan ini, Julian. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, aku tidak tahu bagaimana. Kita tidak boleh buang-buang waktu."

"Sebenarnya, kamu tidak perlu ke Surabaya, besok ibumu akan datang berkunjung" ucapku. "Kamu bisa mencoba mencari tahu sesuai melalui ibumu."

"Kurasa kamu benar," kata Bunga pelan

***

Surabaya

Bunga POV

Aku ingin mengingat hari itu. Aku ingin mengingat setiap detail kejadian saat itu. Karena sejak saat itu, aku merasa ada yang hilang dariku.

Kecelakaan yang sampai saat ini belum bisa kuingat itu bukan saja merenggut sebagian ingatanku tapi juga menghapus sesuatu yang penting bagi diriku. Sudah berulang kali aku berusaha memunculkan adegan kecelakaan itu, tapi yang kudapat hanyalah sakit kepala hebat.

Sudah hampir satu bulan berlalu, tapi aku sendiri tidak begitu yakin. Aku tidak pernah yakin lagi dengan waktu. Bagiku, waktu saat ini hanyalah sesuatu yang tak lagi penting, yang datang dan pergi tanpa kusadari. Waktu juga seperti memperburuk keadaan dengan menjadi hal yang membingungkan.

Aku sering merasa mama tidak ingin aku mengingat kecelakaan itu. Sudah berulang kali kuminta untuk menceritakannya, tapi mama selalu menolak.

"Untuk apa kamu ingin ingat hal yang mengertikan itu?" kata mama suatu kali, ketika aku bahkan sampai memohon kepadanya untuk menceritakan kecelakaanku.

"Aku hanya ingin tahu," jawabku beralasan.

"Kamu tidak perlu tahu," kata mama tegas. "Kamu Aerophopia. Mama takut dengan menceritakan kecelakaan itu akan memperburuk ingatanmu."

Mama selalu mengakhiri setiap pembicaraan kami dengan menyuruhku beristirahat.

Tahu kalau tidak bisa memaksa mama dan Jay untuk bercerita, aku berpindah kepada Yura. Tapi Yura seperti bersekongkol denngan mama, karena dia juga ikut-ikutan tutup mulut.

"Aku tidak bisa bicara apa-apa tentang kecelakaan itu, yas," kata Yura tidak enak. "Please… jangan paksa aku."

Tentu saja aku juga tiga tega untuk memaksa setelah dia mengatakan itu. Aku tahu Yura merasa bersalah karena harus menyembunyikan hal itu dan aku tidak ingin menambah beban perasaannya.

Aku harus bisa mengingatnya sendiri. Tapi saat ini ingatanku sama seperti air keruh. Aku tahu ada sesuatu di dalamnya, begitu mudah untuk kujangkau, tapi tidak bisa karena aku tidak benar-benar bisa melihatnya.

Aku jadi depresi. Ingin sekali aku menceburkan diriku ke air yang keruh itu dan memaksa apa pun yang ada di dalamnya untuk keluar. Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan ketidaktahuan ini.

Sejujurnya hal itu membuatku marah. Kecelakaan itu adalah bagian dari ingatanku. Tidak adil jika Julian, Mama dan Yura menyembunyikannya dariku. Aku berhak tahu. Lagi pula kenapa kecelakaan itu sampai harus ditutup-tutupi dariku? Toh hal itu sudah terjadi. Apakah memang tidak ada hal yang penting dalam kecelakaan itu, seperti kata Mama? Atau justru ada hal yang mengerikan yang tidak boleh kuketahui?

To Be Continued