webnovel

Kencan

Surabaya

Bunga POV

Setelah beberapa hari menetap di hotel, ibunya Flora menelfonku dan meminta untuk tinggal di vila sepupunya Flora, Naila.

Dan disinilah, aku sekarang. Pada sore hari, tatkala aku baru selesai mandi dan sedang merencanakan untuk pergi melihat-lihat keramaian kota dengan mengajak Naila, ART-nya mengetuk pintu kamarku.

"Ada tamu, Nona Flora" katanya sambil tertawa.

"Tamu? Siapa?" Aku merasa heran karena kedatanganku kesini secara diam-diam.

"Tuan Julian"

Aku tersenyum, mulai mengerti kenapa Mbok tadi tertawa ketika memberitahu lelaki itu datang mencariku. Dia melanjutkan bicaranya.

"Soalnya sore ini dia kelihatan luar biasa, Nona. Pakaiannya bagus dan sepatunya mengkilat. Rambutnya rapi, mungkin baru disisiri oleh orang salon"

Aku tersenyum lagi.

"Mungkin dia mau pergi dan mampir kemari dulu untuk pamer kegagahannya!" kataku kemudian.

Tetapi entah mau apapun, aku harus menemui dia. Sebab yang dicarinya memang aku, mustahil dia mencari Naila.

"Dia ada di teras samping, Non!" kata Mbok ketika aku meninggalkan kamar.

"Ya, aku akan ke sana" sahutku. Di dalam hati aku menghargai caranya bergaul dan memakai sopan santunnya. Meskipun ia sudah menjadi orang hebat dan telah berhasil dalam segala usahanya, tetapi hatinya tak pernah berubah.

Persis seperti yang dikatakan oleh Mbok, sore itu aku melihat Julian tampak berbeda dari biasanya. Pakaiannya rapi, berkemeja lengan panjang dan bersepatu kulit. Sedang rambutnya tersisir rapi. Panjangnya mencapai kuduk. Lelaki itu sedang menatap rerumputan di mukanya, nyaris tak berkedip. Ia tidak melihat kedatanganku.

"Hai" sapaku agar lelaki itu tahu kehadiranku.

"Oh, hai!" Julian menoleh ke arah ambang pintu tempatku sedang berdiri. "Selamat sore."

"Selamat sore," tawaku. "Eh, formal sekali. Terutama penampilanmu sore ini. Mau ke mana?"

"Mau mengajakmu makan malam. Sebagai pengganti yang gagal tempo hari"

"Jadi ajakan ini semacam penebusan rasa bersalahmu, ya?" tawaku lagi. "Jangan terlalu dipikirkan. Siang itu aku memang tak terlalu ingin keluar makan. Lebih enak mengobrol"

"Dan aku akan mengajakmu mengobrol, malah pergi"

"Aku maklum. Percayalah bahwa aku pun akan meninggalkan tamuku kalau suamiku datang berkunjung dan ingin menggunakan saat istirahat itu bersama-sama. Kamu tidak perlu harus menebus kesalahan karena memang tidak ada yang salah dalam hal ini. Oke?"

"Oke! Tetapi, Flo, alasanku mengajak makan malam bukan hanya itu saja." kata Julian. "Aku mendapat undangan makan malam untuk dua orang di rumah makan terbesar dan paling terkenal di kota ini. Mau, ya?"

"Acara apa?"

"Ulang tahun pernikahan seorang teman"

"Seharusnya kamu bukan mengajakku ke sana, Juliaan. Tetapi mengajak Bunga. Apa nanti katanya atau kata keluarganya kalau tahu, kamu pergi bersama perempuan lain?"

"Bunga akan memahaminya, Flo. Sudah sewajarnya kalau aku menemanimu selama tinggal di kota ini. Kamu adalah tamu kota ini"

"Sungguh?"

"Sungguh!"

Aku tahu betul siapa Julian hingga aku percaya apa yang dikatakannya. Oleh sebab itu segera masuk ke kamar untuk menukar gaunku, mengimbangi penampilan Julian yang rapi senja itu.

"Wah, kamu tampak cantik sekali, Flora!" komentar Julian ketika aku keluar lagi. "Aku harus ekstra hati-hati mejagamu, jangan sampai aku di damprat calon kekasih atau calon suamimu seandainya ada yang menjailimu"

Aku tidak memberi komentar apapun sehingga Julian menatapku dengan pandangan heran. 

"Marah karena aku puji blak-blakkan ya, Flo?" tanyanya kemudian. "Karena kita sekarang sudah sama-sama dewasa dan bukan remaja lagi?"

"Bukan karena itu!" sahutku cepat. "Aku tak pernah berubah. Kecuali pada hal-hal yang bersifat lahiriah, aku ini masih temanmu yang dulu. Percayalah"

"Syukurlah kalau begitu. Tetapi terus terang saja, Flo, entah apa, aku menangkap sesuatu yang berbeda pada dirimu. Rasa-rasanya kamu tidak lagi seterbuka dulu. Ini membuatku merasa ada jurang-jurang kecil di antara kita berdua..."

"Kuakui itu. Tetapi ada alasannya. Nanti akan kuceritakan!"

"Sudah dua kali kamu berjanji padaku untuk menceritakan sesuatu, Flo. Ada apa sebenarnya?"

"Nanti sajalah kalau waktunya lebih tepat. Aku di sini akan lama" sahutku sambil membetulkan letak rambut. "Ayo kita berangkat sekarang saja."

"Kita pamit dulu sama Mbak Naila"

"Baik"

Sesudah pamit dan kami berdua berjalan menyebrangi halaman rumah menuju pintu pagar, Julian berkata lagi, "Kita naik gerobak ya, Flo"

"Gerobak apa?"

"Naik pick up yang bak belakangnya terbuka. Mobilku masih di bengkel. Kendaraanku ya tersisa itu saja. Untuk mengangkat barang di toko"

"Itu sudah bagus sekali," tawaku yang di Bandung sudah terbiasa naik mobil tetapi yang tak pernah menolak naik kendaraan umum, apapun itu.

"Oh, itu..." Julian berkata pelan. "Aku hanya sedang teringat kembali masa-masa remaja kita dulu. Coba kita sadari, berapa banyak pengalaman yang pahit dan manis yang telah kita alami bersama."

"Memang begitu"

"Hanya saja kamu ini berdarah ningrat sedangkan aku berdarah...."

"Merah!" potongku gesit. "Sama dengan darahku dan darah orang-orang yang berlalu-lalang di jalan itu"

"Tidak, pasti ada bedanya! bandingkan dengan perempuan itu misalnya." Sambil berkata seperti itu, Julian membuka pintu mobilnya dan membantuku naik. Karena kendaraan itu agak tinggi, Julian membantuku naik dengan cara mencekal lenganku kuat-kuat. Kedekatan di antara kami menimbulkan kesan rindu bagiku. Entah apa itu, tetapi yang jelas aku menangkap aroma maskulin menguar dari tubuh lelaki itu. Entah dari mana asalnya, mungkin dari pakaiannya, mungkin dari rambutnya, dan entah mungkin juga dari bagian dalam pangkal lengannya. Atau mungkin juga dari lehernya.

"Aku sungguh tak menyangka masih sekolot itu pikiranmu. Kulihat orang itu nyaris sempurna" sahutku sesudah memperhatikan perempuan yang di maksud oleh Julian tadi. Ia sedang melangkah pergi sesudah membayar taksi yang ditumpanginya. "Pakaiannya bagus, wajahnya cantik."

"Mungkin. Tetapi aku tidak melihat keanggunan sebagaimana yang kamu miliki"

"Kamu terlalu berlebihan menilai, Julian. Jangan begitu, tidak adil penilaianmu."

"Bisa jadi. Tetapi tadi waktu aku melihat ia meludah, penilaianku yang memang tidak tinggi menjadi semakin merosot. Pengalamanku bergaul mengajari diriku bahwa meludah di tempat umum secara sembarangan itu tidak pantas. Aku belum pernah melihatmu meludah di tempat umum. Bahkan di halaman rumah sendiri pun tidak."

Aku tertawa.

"Kurasa kamu memang terlalu berlebihan, menilai orang" kataku kemudian. "Percayalah padaku, Kamu harus mengubah cara berpikirmu."

"Tetapi sulit sekali melepaskan pengaruh itu. Apalagi kalau aku melihat pedagang kaya-raya itu. Di pasar saja pakaiannya penuh gebyar. Perhiasannya memenuhi leher, telinga, pergelangan tangan dan jari-jarinya, juga penitinya."

Aku tertawa lagi.

"Sudah ah, aku tidak mau bicara mengenai hal-hal semacam itu lagi. Lebih baik bicara tentang hal-hal lain. Aku belum menceritakan bahwa siang tadi aku mengobrol lama dengan ibu mertuamu."

"Wah, apa saja yang kalian obrolkan?"

"Banyak. Antara lain membicarakan Bunga dan dirimu"

"Kenapa membicarakan aku juga? Seperti tidak ada pembicaraan lain yang lebih baik saja." tawa Julian.

"Masalahnya karena Ibu Ira itu mengkhawatirkan kalian."

"Kenapa? Karena Bunga sekarang berubah atau karena dia amnesia?"

"Nah, kamu sudah tahu itu!"

"Tentu saja aku tahu. Mama selalu menyinggung hal itu di setiap kesempatan."

"Semua ibu wajar khawatir dan berpendapat demikian. Aku rasa, itu ada kaitannya dengan keturunan. Mereka ingin melihat cucu-cucu mereka. Dan khusus bagi Ibu Ira, itu bisa dimengerti. Bunga adalah anak satu-satunya."

"Memangnya mempunyai anak itu mudah? Tanggung jawabnya kan besar. Apalagi di zaman sekarang yang segalanya serba antre, serba berebut, di sekolah, di tempat-tempat pelayanan umum, di kendaraan-kendaraan, bahkan di rumah-rumah sakit sekalipun. Belum lagi berebut menempati lowongan pekerjaan"

"Aku hanya mau mengingatkanmu mengenai kekhawatiran Ibu Ira terhadap kesantaian kalian menghadapi hari esok dalam urusan berumah tangga." kataku kemudian.

"Nah, sekarang ganti membicarakan diriku. Sejak kedatanganmu, aku masih belum tahu betul bagaimana keadaanmu selama ini dan setelah kecelakaan itu? Apa pekerjaanmu, tinggal di mana kamu selama ini, dan apa kesibukan sehari-harimu belum kamu ceritakan kepadaku. Padahal sudah sepuluh tahun lebih kita tidak berjumpa. Ingin sekali aku mengetahui keadaanmu, Flo. Tentu boleh aku mengetahuinya?"

"Kenapa tidak?" sahutku dengan suara lirih. "Hanya saja, aku tak yakin apakah cerita tentang diriku itu cukup menarik untuk didengarkan."

"Tentu saja menarik, karena aku sungguh-sungguh ingin mengetahuinya. Bukan sekedar basa-basi percakapan"

"Tetapi ceritanya panjang sekali. Apakah tempat yang kita tuju masih jauh dari sini?"

"Sekitar delapan atau sembilan menit lagi"

"Kalau begitu, ceritanya nanti saja"

Julian menurut. Memang tidak enak bercerita dalam suasana yang kurang tepat. Apalagi perhatian kami bisa terpecah karena memikirkan waktu yang sempit dan tujuan memenuhi undangan. Jadi akhirnya kami mengobrol tentang hal-hal yang ringan hingga sampai ke tujuan.

To Be Continued