webnovel

Orang Ketiga

Surabaya

Bunga POV

Aku naik becak untuk pergi ke toko mebel ibuku di Surabaya. Memang jalannya agak lambat dan berkesan santai. Tetapi justru karena itulah aku dapat melihat-lihat bagian kota yang kurang lebih tiga bulan ini tak ku kunjungi. Segera saja aku sudah dapat melihat pertokoan itu yang diberikan Mas Julian kepada ibuku setelah kami menikah.

Semula aku merasa ragu untuk masuk, khawatir aku masih rapuh karena belum seratus persen mempersiapkan mental untuk bertemu ibuku dengan kondisiku sekarang.

Tetapi tatkala mataku menangkap bayangan tubuh ibuku, keraguanku pun lenyap.

"Ma..." ucapku dalam hati.

Sambil mengusap airmataku dengan cepat, aku mulai memainkan peranku sebagai Flora.

"Bu Ira..." sapaku dengan gembira.

Mama, yang saat itu sedang memandori dua orang tukang yang sedang memasang sofa rakitan, menoleh. Demi melihat siapa yang baru datang, wajahnya menjadi cerah. Senyumnya amat lebar.

"Flora!" Sahutnya. Dipeluknya aku sesaat lamanya.

Pelukan ini. Pelukan ini yang aku butuhkan selama ini...

"Kangen sekali saya. Dua hari yang lalu, Nak Julian cerita katanya Flora sahabat kecilnya Bunga sedang di Surabaya. Wah, rasanya ingin sekali saya datang mengunjungi Nak Flora. Tetapi karena waktunya sempit, keinginan itu saya tekan dulu. Eh, malah Nak Flora yang datang kemari. Tahu toko ini dari mana nak?"

"Tadi saya sempat ke rumah, tapi tidak ada siapa-siapa. kata tetangga, kalau jam segini Bu Ira dan keluarga sedang di toko."

"Ya memang, seharian kami selalu di sini. Bahkan, keponakaan ibu juga sedang berkunjung dari luar negeri, mungkin sekarang dia sedang bermain dengan anaknnya di taman."

"Saya kagum sama Ibu Ira. Dari dulu tidak pernah berhenti berjualan dari kelontong kecil-kecilan sampai berjualan mebel bagus-bagus begini..." komentarku seraya melayangkan mataku ke seluruh ruang depan yang luas itu. "Tetapi eh... apakah kedatangan saya tidak mengganggu Ibu Ira?"

"Tidak nak, tidak merepotkan kok. Malah senang ibu, sungguh, rasanya seperti bertemu anak sendiri!" Sahut Mama sambil memberi isyarat kepada kedua tukang tadi untuk melanjutkan pekerjaan mereka. "Lalu mengenai berdagang begini, ini bukan dari usaha ibu jualan kelontong kecil-kecilan kami dulu. Ini hibah dari menantu saya, supaya saya lebih berkembang katanya dan tidak merindukan Bunga kalau dia sudah di Jakarta."

"Mas Julian?"

"Ya, Julian. Jangan memanggil dengan sebutan 'mas' ah, nak!"

"Lho, kenapa tidak boleh? Dia lebih tua umurnya dari saya."

"Risi telinga ibu, mendengar orang lain selain istrinya memanggil Nak Julian dengan sebutan 'mas'!" bantah Mama.

"Baiklah" senyumku terpaksa. Lalu lanjutnya kemudian sesudah menarik napas panjang beberapa kali, "Eh, Ibu Ira, sekarang ada di mana menantu ibu itu?"

"Sedang di dalam. Mari ibu antar ke sana," sahut Mama, "Pasti dia tidak menyangka kamu akan berkunjung sampai kemari!"

"Bunga di mana, Bu?"

"Oh, dia sedang ikut Suci ke taman, ibu suruh dia sekalian momong Bianca, biar sekalian belajar sebelum punya anak nanti."

"Oh begitu..." sahutku sambil mengekor di belakangnya. Kami masuk ke kantor yang terletak di bagian tengah. Ruangannya tidak besar, tetapi menyenangkan. Baik dari segi penataan dan pilihan perabotannya, maupun dari kenyamanan udara berkat alat pendingin ruangan. Ketika aku dan Mama masuk ke ruangan itu, Mas Julian sedang menelpon seseorang. Waktu melihat kami, mata itu bersinar gembira. Lalu dengan isyarat tangan ia menyuruhku duduk.

Aku langsung duduk di depan meja tulis besar yang ada di hadapannya saat itu.

"Wah, aku tak menyangka kamu mau kesini!" senyumnya sesudah meletakaan gagang telepon kembali.

"Aku kangen sama keluarga ini. Tadi aku ke rumah, tetapi kecewa. Tidak ada siapa-siapa disana."

"Naik apa tadi?" sela Mas Julian

"Naik becak."

"Sendiri?"

"Berdua dengan tukang becaknya"

Kami tertawa mendengar candaanku.

"Mau minum apa?" tanya Mas Julian kemudian.

"Apa sajalah..." sahutku, terhenti oleh suara Mama.

"Kenapa tidak kamu ajak minum di luar sana, Nak Julian? Kan ada es teler atau es buah. Atau mungkin mau es dawet kudus!" sela Mama. "Pokoknya yang di Jakarta atau di Bandung tidak ada."

"Es dawet kudus? Apa itu?" tanyaku pura-pura tidak tahu

"Ya lihat saja sendiri nanti. Pokoknya enak."

"Apa tidak mengganggu pekerjaanmu, Julian?"

"Inilah enaknya menjadi menantu merangkap tukang di perusahaan sendiri," senyum Julian. "Ayo, kita keluar dulu. Mama mau oleh-oleh makanan apa?"

"Apa sajalah. Ibu tadi juga sudah memesan soto, untuk makan siang," sahut Mama.

Julian menganggukkan kepala dnegan isyarat tangan menyilakanku berjalan duluan. Tetapi baru beberapa langkah dari pintu depan toko, masuk seorang wanita berwajah manis dan berambut panjang blonde dengan gerakan luwes. Senyumnya tampak menarik sekali tatkala ia berjalan ke arah Julian.

"Mas... belum makan siang, kan?" katanya begitu sampai di dekatku dan Mas Julian otomatis menghentikan langkah kaki kami begitu melihat wanita itu masuk.

"Belum. Kenapa?"

"Mau mengajakmu makan siang diluar. Kata Mbak Suci, aku harus banyak mencoba makanan khas Surabaya untuk membantu pemulihan amnesiaku" sahutnya.

"Oh ya? Ide bagus itu!" sambut Mas Julian dengan hangat. "Tetapi omong-omong, Flora datang berkunjung hari ini."

Flora mengalihkan perhatiannya kepadaku dan baru menyadari hadirnya aku di dekat mereka. Matanya yang lebar tampak agak terkejut karena melihat aku berada di toko yang aku tahu maksudnya, terlarang-untuk-orang-luar.

"Aku kenalkan lagi, ya, takut kamu belum familiar dengannya," kata Mas Julian lagi sambil mengenalkan kami. "Bunga, ini Flora, teman semasa kecil kita dulu."

Aku mengulurkan tangan ke arahnya sambil tersenyum.

"Sekarang, kamu tinggal di mana?" suara Flora yang manja merebut pikiranku yang sedang melayang-layang itu.

"Sebenarnya saya berdomisili di Bandung, tetapi sekarang ini saya akan tinggal di sini selama yang saya suka."

Aku tahu, jawaban itu pasti membuat Flora tertegun karena suatu sebab, sampai Flora mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana, Mas? Kita bisa makan siang di luar kan?" tanyanya.

"Boleh saja, karena kebetulan aku dan Flora ini baru saja mau keluar mencari makanan," sahut Julian. "Jadi kebetulan sekali. Kita bisa pergi bertiga."

Aku merasa tak enak. Aku yakin Flora tak suka pergi bersamaku, karena tujuan kedatangannya untuk mengajak Mas Julian makan siang. Tanpa kehadiranku.

"Julian, sebenarnya aku tidak lapar. Kalau haus sih iya. Tetapi juga tak terlalu mendesak. Jadi, maaf kalau tiba-tiba aku tidak ingin ikut kalian pergi makan. Karena ada hal lain yang lebih mendesak untuk kulakukan" kataku memberi alasan. "Tadinya aku lupa, saking senangnya berjumpa kembali dengan teman masa kecilku."

"Flo. makan bertiga pasti akan membangkitkan selera makanmu. Percayalah. Kau belum mencicipi ayam bakar disini, kan?" katanya, "Mau, ya?"

Aku tersenyum.

"Wah, aku ingin mencicipi ayam bakar yang kamu katakan itu, Julian!" sahutku kemudian. "Tetapi sekali lagi, maaf, aku punya pekerjaan yang harus kuselesaikan. Lain kali aku pasti mau ikut pergi bersama kalian berdua. Nah, sekarang pergilah kalian berdua. Aku masih ingin mengobrol dengan Ibu Ira sebentar, baru pergi!"

"Sudah, Mas, kalau Flora tidak bisa ikut kita, ya jangan dipaksa," sela Flora. "Ayo ah, sudah makin siang nih. Perutku sudah keroncongan."

"Silahkan, Julian. Kalau mau pergi, pergilah. Jangan sungkah" kataku ikut mendesak.

Julian menghela napas panjang dan menatap mataku sekali lagi. Ada semacam kekecewaan yang terbias dari sorot matanya. Aku langsung dapat menangkapnya. Sebab bukan saja karena aku sudah amat mengenali bahasa tubuh yang menyiratkan perasaan lelaki itu, tetapi juga karena aku merasakan hal yang serupa. Yaitu adanya jurang-jurang kecil yang muncul di antara kami berdua. Situasi, kondisi, dan mungkin juga bulan-bulan perpisahan yang terbengkalai di antara kami berdua, telah merenggangkan keakraban dan kedekatan kami. Dan meskipun aku menyadari bahwa hal semacam itu kadang-kadang memang tak terelakan, namun toh ada rasa nyeri juga di dalam batinku.

Untuk menetralisir perasaanku dan juga menawarkan perasaan Julian, aku tersenyum.

"Selamat makan siang untuk kelian berdua!" kataku kemudian.

"Terima kasih!" Flora yang menjawab kata-kataku, dan langsung menggenggam lengan Mas Julian dengan kedua tangannya. "Ayo, Mas!"

Sesudah Mas Julian dan Flora pergi, Mama menghampiriku.

"Kenapa tidak jadi keluar mencari sesuatu untuk memanjakan lidah, nak?" tanyanya sambil tersenyum. "Merasa sungkan, ya?"

Kata-kata Mama yang lugu dan langsung pada permasalahannya itu menyentuh perasaanku. Enak juga dapat berkata tanpa harus memakai filter yang kadang malah diinterpretasikan secara keliru.

"Tentu saja to, Bu Ira!" sahutku terus terang sambil tertawa. "Masa saya tidak berperasaan. Saya sendiri pun kalau ingin berduaan dan ada orang ketiga, kan ya tidak senang."

"Ya memang..."

"Kapan ya, kira-kira Bunga bisa sembuh dari amnesianya?"

"Tidak tahu, nak. Kalau ditanya mengenai hal itu, Bunga langsung pusing. Entah apa maunya sekarang. Sebagai ibunya, ibu ya hanya ingin melihat rumah tangga anak ibu baik-baik saja. Teman-temannya semua sudah mempunyai anak. Karena kecelakaan ini, siapa yang tidak jadi gelisah karenanya, bukan, Nak Flora? Bunga anak ibu satu-satunya, tidak ada lainnya..."

"Jangan terlalu khawatir, Bu Ira" hiburku. "Saya rasa, sebentar lagi amnesia Bunga akan sembuh, karena dia mempunya keluarga yang selalu mendukungnya untuk sembuh. Percayalah!"

"Ya, mudah-mudahan begitu ya, Nak Flora."

Demikianlah kami mengobrol ini dan itu, melepaskan kerinduanku sesudah sekian lama tidak berjumpa pasca kecelakaan. Ada-ada saja yang kami bicarakan. Namun meskipun sejauh itu kami mengobrol, aku selalu menjaga agar jangan sampai Mama menanyakan kehidupanku di Bandung. Sebab pasti hanya akan menambah daftar kebohonganku kepadanya, dan hanya akan merusak suasana saja. Padahal suasanya sedang menyenangkan.

***

Bukan untuk pertama kalinya aku memilih berada dalam foto pengantinku yang sekarang terpasang dalam bingkai foto di kamar hotelku. Meskipun aku bisa bergerak bebas, bahkan bisa keluar masuk lewat pintu-pintu, tidak seperti di Jepang. Sosokku yang serupa bayangan samar selalu memilih foto pengantin yang aku pinta kepada Mama saat di toko.

Dulu, saat di Jakarta, disaat seperti ini, aku selalu menunggu Mas Julian pulang. Betapa inginnya aku bisa melakukan rutinitas seperti dulu ketika diriku masih berada di dalam wajah itu. Saat sore menjelang aku sudah mandi dan berdandan rapi, cantik dan wangi, aku akan bersiap menyambut Mas Julian di balik pintu. Ketika mendengar deru mobil berhenti di garasi, buru-buru tanganku memutar kunci dan membuka pintu. Setengah berlari aku akan mencapai pintu pagar dan membukanya. Mas Julian selalu menungguku di depan dengan memberikan jas dan tas kantornya, tersenyum, dan menyapaku mesra, "Terima kasih, Sayang."

Bukan hanya ucapan mesra disertai tatapan penuh cinta, laki-laki yang sudah aku kenal sejak kecil itu sering kali tiba-tiba menarik tubuhku dan memberikan ciuman sekilas di pipi, bibir atau keningku. Ah, rasanya baru kemarin hal-hal manis dan membahagiakan itu kami alami bersama.

Namun saat aku masih koma, aku sering melihatnya berhenti sebentar untuk menatap fotoku di ponselnya, dan menyapa dengan penuh rasa cinta bercampur kesedihan, "Bunga, aku rindu..."

Kata-kata yang sering diikuti dengan butiran air mata yang mengalir perlahan di pipi Mas Julian saat awal-awal masa kritisku, selalu menimbulkan rasa sakit luar biasa dalam diriku. Aku saat itu rasanya ingin melayang turun dan memeluknya sambil membisikkan kata-kata penghiburan, tapi apa daya, rasa sakit yang dirasakannya membuatku tak bisa bergerak bebas seperti biasanya. Sungguh tersiksanya saat itu, berada di dunia yang berbeda dengan suamiku. Sosokku seolah ada dan tiada. Diriku terus berada di rumah sakit tapi keberadaanku tidak disadari dan tak dapat dilihat oleh Mas Julian maupun orang-orang yang kebetulan berada di rumah sakit itu.

Kala itu, terdengar suara kunci pintu diputar dan sosok yang sudah menggantikan posisiku sebagai istri Mas Julian membuka pintu. Biasanya Flora memandang Mas Julian sekilas sambil berjalan masuk melewatinya. Tapi kali ini, langkahnya terhenti dan memandangnya cukup lama.

Ada apa dengannya? Kenapa wajahnya tampak berbeda?

Aku menyambut gembira kesadaran Flora saat itu, meskipun dia amnesia. Suasana jadi lebih santai dan Mas Julian tidak lagi sering duduk di depan ruangannya, termenung sendiri dan menangisi diriku. Meskipun sebenarnya aku selalu duduk menemani di sampingnya, tapi laki-laki yang masih sangat aku cintai itu tidak pernah menyadari kehadiranku. Entah kenapa butiran-butiran air mata yang mengalir di pipi Mas Julian selalu menimbulkan rasa sakit dalam diriku. Sejak Flora sadar, Mas Julian sudah jarang merenung dan meneteskan air mata. Meskipun jelas laki-laki itu telah salah mencintai.

Flora masih terus memandang Mas Julian. Ada kesedihan menggurat raut wajahnya. Ah, Aku langsung ingin memeluknya. Tapi wanita itu sudah melangkah meninggalkan Mas Julian.

Ada apa dengannya?

Saat saling bertatapan seperti saat itu, meskipun Mas Julian tak pernah menyadarinya, aku bisa merasakan besarnya rasa cinta Mas Julian untukku. Begitu pun sebaliknya. Tak tega rasanya terus melihat laki-laki yang sangat aku cintai itu terus larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu, dalam rasa sakit yang terus mendera, aku selalu mengucapkan kata-kata penghiburan sekaligus permohonan atas keputus asaan tentang hidup atau mati.

"Jangan terus bersedih, Mas. Sudah ada yang menemani Mas Julian sekarang. Tolong ikhlaskan dan lepaskan aku..."

To Be Continued