webnovel

Hubungan Gelap

Surabaya

Bunga POV

Di dalam perjalanan pulang kembali ke rumah, aku mengucapkan terima kasih atas ajakannya ke undangan makan malam itu.

"Makannya luar biasa enak" kataku kemudian. "Aku jadi merasa tak enak sebab mestinya bukan aku yang menemanimu tadi. Tetapi Bunga. Ada beberapa sorot mata spekulatif dari teman-temanmu tadi ketika menatapku. Aku merasa risi karenanya."

"Ah, jangan dihiruakna," sahut Julian, sama seperti yang aku katakan kepada hatiku sendiri. "Itu kan hal yang wajar. Mereka baru melihatmu, sedangkan kamu malam ini memang tampak memukau."

"Ngawur aja!"

"Tidak, aku tidak ngawur. Kamu memang mengagumkan, Flo."

"Ah, aku tak merasa begitu. Tetapi yang penting aku ingin mengingatkanmu satu hal yang harus kamu garisbawahi." sahutku serius. "Khususnya di masa mendatang."

"Tentang?"

"Tentang caramu memperlakukanku. Seperti memujiku terang-terangan dan tentang hal-hal semacam itu. Sekarang semua itu harus kita pikirkan akibatnya bagi orang lain. Dalam hal ini adalah perasaan Bunga. Aku tak mengatakan keadaan di antara kita yang akrab ini akan mendatangkan rasa cemburu kepadanya. Tetapi kalau perasaan tak enak, itu pasti. Sebab seandainya kekasihku masih tetap akrab dengan bekas teman masa kecilnya dan bahkan tak ada basa-basi di antara mereka, aku pasti bukan saja akan merasa tak enak, tetapi juga merasa cemburu."

"Kamu terlalu berpikiran jauh, Flo."

"Ah, kamu tahu apa mengenai hati perempuan" gerutuku. "Jangan meremehkan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa berakibat besar."

"Aku tak mau bicara hal-hal seperti itu. Sekarang aku hanya ingin bicara mengenai dirimu saja. Kamu sudah berjanji akan menceritakan tentang dirimu sejak kita berpisah sampai sekarang ini. Tahun-tahun itu adalah hubungan yang hilang di antara kita. Aku ingin menguntainya kembali. Kehidupanmu amat penting bagiku untuk kuketahui."

Wajar sekali kata-kata Julian itu. Tetapi bagiku, maknaya terasa seperti aku membiarkan suamiku memiliki hubungan gelap dengan wanita lain.

 "Sebelum kumulai, aku ingin tahu apakah nanti sesudah mengantarkan aku pulang kau akan mengembalikan mobilmu ke toko?"

"Ya, tentu saja. Gerobakku ini kan tak mungkin masuk lewat gang kecil vila sepupumu." Julian tersenyum. "Kenapa kamu tanyakan itu?"

"Aku tidak ingin merepotkanmu. Sesudah mengantarku pulang, kau harus kembali ke toko dulu untuk menyimpan mobilmu, dan kemudian balik lagi ke rumahmu. Kan tidak praktis"

"Memang. Tetapi selain terpaksa kulakukan sebagai risiko tinggal di gang kecil, hal itu juga sudah sering kulakukan kalau aku dan Mama Ira bepergian sesudah toko tutup. Jadi, bukan hal yang berat bagiku."

"Tetapi untuk kali ini biar saja mobilmu diparkir di halaman vila Mbak Naila. Nanti aku yang memintakan izin. Percayalah, Mbak Naila tidak akan keberatan. Halaman seluas itu apa artinya jika ditempati mobil selama satu malam saja. Jadi, kau tidak usah bolak-balik"

"Kalau kamu anggap itu baik, ya terima kasih atas saranmu itu."

"Kenpa kamu tidak pindah dari rumah itu, dan beli rumah sendiri untuk keluarga kecilmu?" pancingku

"Hal itu tak pernah terpikirkan olehku. Rumah itu mengandung banyak kenangan bagi Bunga. Dia tinggal di sana sudah puluhan tahun. Dan di rumah itu pula keluarga mereka kelimpahan rezeki dari Tuhan. Lebih-lebih lagi Bunga tidak ingin berpisah dengan para tetangga yang sudah begitu akrab dengan keluarganya. Di tempat lain aku yakin Bunga merasa kedamaian dan kebersamaan sebagaimana yang dia rasakan selama tinggal di tempat itu, tapi tak akan seindah ini."

"Nah, ayo kita mulai cerita tentang dirimu, Flo. Dari tadi setiap mau bercerita kamu selalu mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal lain."

"Masa sih?"

"Ya, aku merasakannya. Bahkan sudah sejak awal. Kenapa? Apakah aku sudah kau anggap orang lain yang tak masuk hitungan untuk boleh mengetahui keadaanmu?"

"Bukan begitu. Jangan ngawur." sahutku cepat. "Sebenarnya aku enggan menceritakan keadaan diriku. Sungguh-sungguh tak ada yang menarik untuk diceritakan."

"Aku ingin mendengar ceritamu bukan dengan tujuan mencari sesuatu yang menarik." seringai Julian.

"Baiklah kalau begitu," senyumku. Senyumku tawar dan berkembang tanpa disertai perasaan. "Tetapi tunggu sampai kita tiba di vila. Kita nanti bicara di teras depan."

"Oke. Aku setuju."