webnovel

Dia Ada Disini

Tokyo

Rose POV

Dia di sini.

Sejak tadi aku berkeliaran di kamar kosong rumah sakit di bangsal bersalin, ingin berada sejauh mungkin dari kerabat-kerabatku, bahkan menjauh dari ICU dan perawat tadi, atau lebih tepatnya menjauh dari kata-kata yang diucapkan perawat itu, yang kumengerti sekarang. Aku perlu berada di tempat orang-orang tidak akan bersedih, dan suasananya berbau kehidupan, bukan kematian. 

Maka aku datang ke sini, negeri bayi yang menangis. Sebenarnya, lolongan bayi yang baru lahir sangat menenangkan. Belum apa-apa mereka sudah memiliki semangat hidup tinggi.

Tapi sekarang ruangan ini hening. Jadi aku duduk di ambang jendela, menatap malam di luar. 

Ada mobil berdecit mengerem di tempat parkir, membuatku terjaga dari lamunan. Aku mengintip ke bawah tepat waktu untuk melihat sekelebat lampu belakang mobil pink lenyap ke dalam kegelapan. 

Aku menahan napas, menunggu Jay muncul dari lorong. Kemudian dia di sana, melangkah di jalur melandai, memeluk jaket melawan udara malam musim dingin. Dia berhenti dan berbalik untuk bicara pada seseorang di belakangnya. Aku melihat sosok perempuan muncul dari balik bayangan. Mulanya, aku mengira itu Yuju. Tapi kemudian aku melihat rambutnya.

Aku berharap bisa memeluknya. Untuk berterima kasih karena dia selalu satu langkah lebih maju daripada yang kubutuhkan.

Tentu saja itu Rose dalam bentuk wajahku bersama dengan Jay, Aku tahu ini kedengaran konyol, tapi aku lega karena Jay tidak harus melihat sosokku yang terbaring dalam sana. Kurasa aku takkan mampu. Untuk situasi ini, aku bersyukur wajahku tertukar dengan Rose.

Dan sekarang, berkatnya, akhirnya Jay ada di sini.

Sepanjang hari, aku membayangkan kedatangannya, dan dalam fantasiku, aku berlari menyambutnya, meski dia tidak bisa melihatku dan meski, sejauh yang kuketahui, ini sama sekali tidak seperti film Ghost: kau bisa melangkah menembus orang-orang yang kusayangi sehingga mereka bisa merasakan keberadaanmu.

Tapi sekarang setelah Jay ada di sini, aku membeku. Aku takut bertemu dengannya. Melihat wajahnya. Aku pernah melihat dia menangis dua kali. Ketika kami menonton film mellow drama. Lalu waktu kami berada di stasiun kereta dan melihat seorang ibu meneriaki serta memukuli putranya yang menderita Down syndrome. Dia langsung jadi pendiam dan ketika kami melangkah pergi, barulah aku melihat air mata mengalir di pipinya. Dan hal itu nyaris membuat hatiku tercabik-cabik. Jika dia tahu bahwa yang terbaring di ICU itu adalah istirnya dia benar-benar akan menangis sekarang, itu akan membunuhku. Lupakan saja bahwa ini semua soal pilihanku. Hal itu saja akan membuat jantungku berhenti.

Aku memang pengecut.

Aku menyaksikan Jay menuju pintu masuk utama rumah sakit, Rose mengikuti. Persis sebelum tiba di pintu otomatis, Adam menengadah ke langit. Dia menunggu Rose, tapi aku ingin berpikir dia mencariku. Wajahnya, tertimpa cahaya, tampak kosong, seakan ada orang yang menyedot semua karakternya, hanya meninggalkan topeng. 

Jay tidak tampak seperti dirinya. Tapi setidaknya dia tak menangis.

Itu memberiku keberanian untuk menghampirinya sekarang. Atau dia yang menghampiriku, ke ICU, waktu berhenti seperti biasanya. Salah satu ahli bedah yang menanganiku tadi siang— yang banyak berkeringat dan, ketika tiba gilirannya memilih music sambil memeriksaku.

Lampu dinyalakan redup dan terasa artifisial serta dijaga agar berada dalam level yang sama setiap saat, namun music tidak mampu dilawan dan keheningan malam hari menyelimuti tempat itu. Suasana tidak sesibuk siang hari, seakan para perawat serta mesin-mesin mulai letih dan berada dalam kondisi hemat energi.

Maka ketika suara Jay bergema dari lorong di luar ICU, semua orang tersentak.

"Apa maksudmu aku tidak boleh masuk?" suaranya membahana.

Aku menyeberangi ICU, berdiri persis di sisi lain pintu otomatis. Aku mendengar petugas di luar menjelaskan pada Jay bahwa dia tidak diizinkan masuk ke bagian rumah sakit yang ini.

"Omong kosong!" Jay berteriak.

Di dalam bangsal, semua perawat melihat ke arah pintu, mata mereka waspada. Aku cukup yakin apa yang mereka pikirkan: Kami sudah punya cukup banyak kesibukan tanpa perlu menenangkan orang gila di luar. Aku ingin menjelaskan bahwa Jay tidak gila. Bahwa dia tidak pernah berteriak, kecuali dalam situasi-situasi tertentu.

Si perawat paruh baya dengan rambut kelabu yang tidak merawat pasien tapi hanya duduk dan mengamati komputer serta menangani telepon, mengangguk kecil dan berdiri seolah akan menerima nominasi. Dia merapikan celana panjang putihnya yang kusut dan melangkah ke pintu. 

Dia bukan orang yang tepat untuk bicara pada Jay. Aku berharap bisa memperingatkan mereka untuk mengirimkan Perawat yang lain saja, yang tadi menenangkan para orangtua. Dia akan mampu menenangkan Jay juga. Tapi perawat yang ini hanya akan membuat masalah tambah buruk. Aku mengikutinya melalui pintu ganda tempat Jay dan Rose berdebat dengan petugas. Petugas itu menatap si perawat. "Aku sudah bilang mereka tidak diizinkan berada di sini," lelaki itu menjelaskan. Si perawat menyuruhnya pergi dengan lambaian tangan.

"Bisa kubantu, anak muda?" dia bertanya pada Jay. Suaranya kedengaran kesal dan tidak sabaran.

Jay berdeham, berusaha menenangkan diri. "Aku ingin mengunjungi pasien," katanya, menunjuk ke pintu yang menghalanginya dari ruang ICU.

"Sayangnya tidak bisa," jawab si perawat.

"Tapi temanku, Rose, dia—" 

"Dia ditangani dengan baik sekali," potong si perawat. Dia kedengaran letih, terlalu letih untuk bersimpati.

"Aku mengerti. Dan aku sangat berterima kasih," kata Jay. Dia berusaha sekuat tenaga mengikuti permainan si perawat, untuk terdengar dewasa, tapi aku mendengar suaranya tersekat ketika berkata, "Aku perlu melihatnya."

"Maaf, anak muda, tapi kunjungan hanya dibatasi untuk keluarga inti."

Aku mendengar napas Jay tersentak. Keluarga inti. Si perawat tidak bermaksud jahat. Dia hanya tidak tahu, tapi Jay tak menyadarinya. Aku merasa perlu melindunginya dan melindungi si perawat dari apa yang mungkin akan dilakukan Jaehyun terhadapnya. Aku meraihnya, secara insting, meski aku tidak bisa benar-benar menyentuhnya. Tapi dia memunggungiku sekarang. Bahunya turun, kedua kakinya mulai gemetar.

Rose, yang berdiri dekat dinding, tiba-tiba berada di sisi Jay, kedua lengannya menangkap tubuhnya yang mulai lemas. Dengan kedua lengan menahan pinggang Jay, Rose menoleh ke arah si perawat, matanya menyala-nyala karena marah. "Kalian tidak mengerti!" dia berseru.

"Apakah aku perlu memanggil sekuriti?" tanya si perawat.

Jay mengibaskan tangan, menyerah pada si perawat, pada Rose. "Jangan," bisiknya pada Rose.

Jadi Rose tidak melakukan apa-apa. Tanpa berkata-kata lagi, Rose menghela lengan Jay ke bahunya dan menopangnya. Jaehyun setengah meter lebih tinggi dan dua puluh kilo lebih berat daripada Rose, tapi setelah terhuyung sejenak, Rose menyeimbangkan beban ekstra itu. Dia menanggungnya.

ICU, tempat yang kutahu ingin ditujunya. Sekarang dia ada di sini untukku, walaupun kita tidak bisa bertemu. Aku sudah memutuskan.

To Be Continued