webnovel

Keputusan

Tokyo

Rose's Room

-Yasmine POV-

Aku agak ketakutan sekarang. Mereka pergi beberapa waktu lalu, tapi aku tetap di ICU. Aku duduk di salah satu kursi, mengingat kembali pembicaraan tadi, yang sangat menyenangkan, normal, dan tidak menggusarkan. Sampai mereka pergi. Ketika mereka keluar dari ICU, aku mengikuti mereka dan berkata, 

"Apakah menurutmu dia memutuskan?"

"Memutuskan apa?"

Ayah tampak tidak nyaman. Dia menggerak-gerakkan kaki. "Kamu tahu. Memutuskan," bisiknya.

"Apa maksudmu?" Ibu kedengaran frustrasi sekaligus lembut.

"Aku tidak tahu apa yang kumaksud. Kamulah yang percaya pada malaikat."

"Apa hubungannya dengan Rose?" tanya Ibu.

"Jika dia sudah meninggal, tapi masih ada di sini, seperti yang kamu percayai, bagaimana jika dia ingin dia bergabung dengan mereka? Bagaimana kalau dia ingin bergabung?"

"Bukan seperti itu caranya," balas Ibu.

"Oh," hanya itu yang diucapkan Ayah. Dan percakapan itu selesai.

Setelah mereka pergi, aku berpikir bahwa suatu hari nanti mungkin aku akan berkata pada merekabahwa aku tidak pernah memercayai teorinya bahwa burung dan hewan-hewan lain bisa saja merupakan malaikat pelindung manusia. Dan sekarang aku jadi semakin yakin bahwa hal itu tidak benar.

Orangtuaku yang sebenarnya tidak ada di sini. Mereka tak menggenggam tanganku, atau menyemangatiku. Aku cukup mengenal mereka sehingga tahu bahwa jika bisa, mereka akan melakukannya. Mungkin tidak keduanya sekaligus. Mungkin ibuku akan bersama ayahku dan mengawasiku. Tapi keduanya tidak ada di sini sekarang.

Dan sementara merenungkan ini, aku memikirkan apa yang diucapkan si perawat. Dialah yang menentukan. Dan mendadak saja aku memahami apa sesungguhnya yang ditanyakan orangtua Rose. Ayahnya juga mendengarkan perawat itu. Dia memahaminya sebelum aku.

Apakah aku tinggal. Apakah aku hidup. Itu tergantung pada diriku.

Segala urusan tentang koma medis ini hanya omongan dokter. Ini semua bukan tergantung pada dokter. Ini semua bukan tergantung pada malaikat-malaikat yang tidak hadir. Semua ini tergantung padaku.

Bagaimana aku bisa memutuskan? Bagaimana mungkin aku hidup tanpa kedua orangtua kandungku? 

Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan Surabaya? Atau Jay? Ini membingungkan. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana prosesnya, mengapa aku ada di sini dalam keadaan begini atau bagaimana keluar dari situasi ini jika aku mau. Jika aku ingin tinggal, aku ingin bangun, bukankah seharusnya aku sudah sadar sekarang? Aku sudah mencoba menggerakkan kaki untuk mencari Jay tapi tidak berhasil. Ini kelihatan lebih rumit daripada perkiraanku.

Meski demikian, aku percaya inilah kebenarannya. Aku mendengar kata-kata perawat itu lagi. 

Akulah yang menentukan. Semua orang menungguku.

Aku yang memutuskan. Aku tahu ini sekarang.

Dan ini membuatku lebih ketakutan daripada apa pun yang terjadi hari ini.

Jay kamu dimana?

To Be Continued