webnovel

Kita Pulang

Tokyo

Flora's Room

Author POV

Begitu pintu terbuka, dia tertegun sesaat. Pemandangan yang dilihatnya terasa begitu familiar, seolah-olah dia pulang ke rumahnya sendiri. Pada saat yang sama, udara dari dalam rumah itu seperti menyapanya…

Dan hidungnya mencium aroma yang ganjil. Campuran antara bau apak dari ruangan yang sudah lama tidak dibuka dan dibersihkan dan bau hangus seperti daging terbakar…

Lalu tiba-tiba saja tirai gelap itu seperti tersingkap dengan sendirinya… dan mendadak semuanya menjadi jelas seperti buku yang terbuka…

***

Sambaran kilat yang putih menyilaukan menikam matanya. Begitu dekat di depan mata sehingga rasanya tak mungkin lagi dihindari.

Dia hanya mampu mengangkat lengan kanannya untuk menutupi wajah. Mencoba menghindari sambaran yang demikian menyilaukan. Mencoba menepis terjangan cahaya yang demikian mengerikan… yang terasa begitu dekat… membuat kegelapan yang pekat di luar sana seperti dikoyakkan sebilah pisau raksasa yang membelah langit…

Mendadak terdengar bunyi dentuman yang amat keras. Bunyi yang amat kuat meledakkan telinganya. Serentak telinganya berdenging nyaring.

Lalu kobaran api menyambar begitu saja, entah dari mana munculnya, mengadang ganas tanpa ampun di sekelilingnya. Sambaran hawa yang teramat panas tiba-tiba menyergap dirinya. Dia merasa seperti dijebloskan ke dalam kobaran api neraka yang menjilat habis seluruh tubuhnya. Sesaat dia merasa sangat kesakitan. Begitu sakitnya sampai dia menjerit tak tertahankan lagi. Dan lagi terus memekik meskipun merasa ada orang yang memegang lengannya. Mengguncang-guncang bahunya.

"Nona! Nona Flora! Bangun! Bangun! Nona Flora!"

Bunga membuka matanya dengan susah payah dan cepat-cepat memejamkannya kembali ketika merasa silau. Ada sinar yang sangat terang menyorot matanya.

Dia mencoba mengangkat tangannya. Berusaha menyingkirkan sinar itu.

Langit-langit putih membentang luas. Hanya warna putih yang dilihatnya saat sepasang kelopak mata itu terbuka. Bunga memandang lurus ke atas, langit-langit putih yang menyilaukan itu membuat perutnya mual. Tubuhnya serang melayang, ringan mengawang. Kedua bola matanya mulai bergerak, Bunga menyapukan pandangan ke segenap penjuru. Hanya ada dinding-dinding bercat putih yang begitu dingin dan hampa dengan sebuah lemari di salah satu sudutnya.

Kepalanya terasa berat, pandangannya berputar. Tubuhnya mencoba beradaptasi di dalam ruang yang berayun-ayun ini, Bagai berada di atas kapal yang terombang-ambing di tengah lautan berombak. Dengan gerakan teramat pelan Bunga berusaha bangkit. Dia duduk dia atas sebuah tempat tidur kecil beralas putih. Sekelumit perasaan aneh dan asing merambat, menyelusup ke hatinya. Seperti inikah perasaan seseorang yang bangkit dari kematian? Pikirnya. Putihnya ruangan seolah mengakhiri hitamnya kegelapan yang berkepanjangan.

Perlahan, ruangan mulai berhenti berayun-ayun. Rasa pusing di kepala yang membuat perutnya mual berangsur lenyap. Tiba-tiba tubuhnya terasa segar dan penglihatannya menjadi lebih terang. Dia kembali menyapukan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini berbentuk persegi empat dengan sebuah pintu dan satu jendela. Seberkas cahaya terang Bagai lampu sorot menerobos masuk melalui jendela kamar.

Dia di rumah sakit.

"Dia sudah sadar." Ada suara yang terdengar samar-samar di dekatnya. Suara siapa? Di mana dia berada? Apa yang terjadi? "Singkirkan senternya."

"Bangun, Nona," suara itu lagi. Suara yang mula-mula. Lalu dia merasa lengannya diguncang lebih keras. "Buka mata anda."

Dia mencoba membuka matanya lagi dan melihat dua orang perawat di dekatnya. Awalnya samar-samar. Makin lama makin jelas.

"Anda sudah sadar?" Perawat yang pertama menyunggingkan seuntai senyum ramah. "Saya balikkan bantalnya, ya? Supaya anda bisa istirahat dengan tenang dan tidak mengalami mimpi buruk."

Mereka membantu mengangkat kepalanya. Membalikkan bantalnya. Menyusut keringatnya. Memberinya minum. Lalu menepuk-nepuk lengannya dengan lembut.

"Sekarang anda bisa rebahan lagi, kepalanya sudah tidak pusing, kan? Saya akan panggilan dokter untuk memeriksa anda."

Bunga menggelengkan kepalanya. Dia tidak pusing. Tetapi dia tidak mau tidur lagi. Tidak mau memejamkan matanya. Dia takut mimpinya kembali lagi!

***

Lama Bunga menatap wajahnya dalam cermin yang diberikannya.

Wajah Flora dengan bekas jatihan operasi di rahang kanannya.

Mata yang sipit karena kelopak matanya turun dan bagian bawahnya yang sedikit berkantong. Hidung yang mancung sempurna. Bibir yang tidak terlalu tebal. Bentuk wajah yang oval dan memiliki dagu v-line yang tajam.

Bukan hanya wajahnya yang berubah. Tubuhnya juga.

Tubuh yang kurus. Tinggi. Memiliki bahu yang lebih besar dari pinggulnya seperti bentuk segitiga terbalik.

Saat memandang cermin dia selalu berbisik, tentu saja hanya dalam hati.

"Cermin, Cermin, apakah dengan wajah ini aku harus melanjutkan hidupku?"

Cermin memang tidak bersuara. Tapi bukan berarti tidak menjawab. Dan jawabannya itu-itu juga.

Dan cermin tak pernah berdusta.

***

Bunga POV

Aku berdiri dan melongok ke bawah ranjang, menahan napas karena takut mengeluarkan suara-suara yang tersekat jauh di tenggorokanku.

Aku takkan menangis.

Aku takkan menangis.

Aku berlutur perlahan-lahan, menyentuh bibir ranjang dan jemariku menyusuri gambar bintang-bintang putih yang tersebar di selimut berwarna dasar biru. Aku menatap bintang-bintang itu hingga gambarnya mengabur karena air mata membuat penglihatanku berkabut.

Aku memejam rapat-rapat dan membenamkan kepala di kasur sambil meremas selimut. Bahuku mulai berguncang ketika sedu sedang yang sejak tadi kutahan sekuat tenaga akhirnya pecah. Aku berdiri secepat kilat, menjerit dan merenggut selimut hingga tercabut dari ranjang dan melemparkannya ke seberang kamar.

Aku mengepal dan dengan liar memandang berkeliling, mencari sesuatu untuk kulempar. Aku menyambar bantal di ranjang satu per satu lalu melemparkannya pada sosok wanita yang terpantul di cermin, wanita yang tidak lagi kukenal. Aku mengawasi wanita di cermin yang balas menatapku sambil terisak pilu. Perasaan tidak berdaya yang terpancar dari tangisannya membuatku geram. Kami berlari saling mendatangi hingga tinju kami berada di kaca, membuat cermin hancur. Aku memperhatikan wanita di cermin berguguran ke karpet dalam keping-keping berkilauan.

Aku mencengkeram pinggiran meja rias lalu mendorongnya ke samping, sekali lagi menerikkaan jeritan yang terlalu lama terpendam. Setelah meja rias terguling, aku membuka lacinya satu per satu dan mencampakkan isinya ke seberang kamar, sambil berbalik, melempar, menendang semua yang menghalangi jalanku. Aku merenggut panel tirai biru tua, menyentak hingga relnya lepas dan gorden tercampak di sekelilingku. Aku mengulurkan tanagan ke kotak-kotak yang tertumpuk tinggi di sudut kamar lalu, tanpa tahu isinya, meraih kotak teratas dan melemparkannya ke dinding, mengerahkan segenap tenaga dari tubuhku yang berukuran 168 cm.

"Aku benci padamu!" seruku. "Aku benci padamu, aku benci padamu, aku benci padamu!"

Aku melempar semua benda di depanku ke semua benda mana pun di hadapanku. Tiap kali membuka mulut untuk menjerit, aku mencecap rasa asin air mata yang berlinang di pipi.

Tiba-tiba Juna merengkuhku dari belakang, memelukku erat-erat hingga aku tidak bisa bergerak. Aku meronta, mengempaskan tubuh, menjerit lagi hingga semua yang kulakukan tidak lagi melewati tahapan berpikir, melainkan reaksi semata.

"Hentikan," kata Juna tenang di telingaku, tanpa melepasku. Aku mendengar kata-katanya, tapi pura-pura tidak mendengar. Atau aku sekedar tidak peduli. Aku terus meronta di pelukan Juna dan itu membuatnya memperatkan pelukan.

"Jangan sentuh aku!" seruku sekuat tenaga, mencakar tangan Juna. Tindakanku tidak mengendurkan pelukannya.

"Jangan sentuh aku. Please, please, please."

Suara lirih itu menggema di pikrianku dan seketika membuatku melunglai di pelukan June. Perlawananku melemah seiring tangisku menghebat dan menggerogotiku. Sekarang aku seperti kelenjar air mata yang tidak berhenti meneteskan air.

Aku lemah dan aku membiarkan dia menang.

Juna mengendurkan pelukan lalu memegang bahuku, setelah itu membalik badanku supaya menghadapnya. Aku tidak mau menatapnya. Aku terkulai di dadanya karena kehabisan tenaga dan pasrah, sambil tersedu aku meremas kausnya, pipiku menekan dadanya. June membelai belakang kepalaku dan berbicara di telingaku.

"Bunga." Suara June mantap dan tetap tenang. "Kita harus pulang. Sekarang."

To Be Continued