webnovel

12. Flashback SMA (2)

Mendekati hari ulang tahun sekolah merupakan saat-saat gedung ini tampak menyerupai pusat grosir. Para panitia penyelenggara kelihatan seperti serdadu pulang baris yang berseragam. Para siswa yang menjadi panitia berhamburan dengan tanggung jawab masing-masing menggantung di lehernya.

Bermacam-macam lomba dan acara diselenggarakan oleh setiap tim ekskul. Kelompok ilmiah remaja, ekskul yang kuterjuni di sekolah, juga mengadakan lomba debat kimia. Selaku wakil Jay sebagai ketua, aku disibukkan dengan dengan berbagai tanggung jawab.

Saat aku tengah khidmat menyusun laporan kegiatan di lab kimia, sebuah suara mengusik kesibukanku.

"Rose!"

Suara itu.. khas, renyah dan bergetar lembut. Itu adalah suara Jay. Aku menoleh.

"Ya?"

Jay menghampiriku. Jantungku berdegub kencang. Urat nadiku berdenyut merdu. Kurasakan dadaku kembang kempis tak karuan.

"Sudah tahu kabar?" tanya Jay.

"Tentang?"

"Kandidat lomba pemilihan putri sekolah."

"Lalu?"

"Kamu dan Yasmine diminta mewakili kelas 2-1"

Langit runtuh! Apalagi ini? bukankah setahuku setiap kelas hanya boleh mengirimkan satu kontestan? Aku bergumam pelan dalam hati.

"Hah?"

"Ya begitulah keputusannya. Kamu bersedia?"

"Tapi, kenapa harus dua orang?" tanyaku heran

Jay membetulkan letak kacamatanya.

"Hasil voting kamu dan Yasmine seimbang. Jadi teman-teman sepakat mengirim kalian berdua. Tenang saja, sudah disetujui oleh wali kelas dan ketua. Mereka bilang, sekalian mau melihat mana yang lebih unggul antara kamu dan Yasmine," ujar Jay.

Ya, sekalian mau melihat mana yang lebih unggul antara kamu dan Yasmine. kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku. Seketika adrenalinku bangkit. Gairahku untuk bersaing dengan gadis itu langsung membuncah-buncah. Kobaran semangatku yang begitu membara langsung menyala, ambisiku adalah untuk mengalahkannya.

"Oh, why not?" jawabku antusias.

"Baguslah. Selamat berjuang ya," sahutnya.

Jay mengirim senyum menggodanya dan kemudian berlalu pergi. Namun, detak jantungku masih belum juga stabil.

Aku kembali membaur dengan laporan-laporan yang menunggu. Tapi tidak lama kemudian..

"Rose…"

Kembali sebuah suara mengusik kekhusyukanku. Aku terdiam sebentar, mencoba mengenali suara itu. aku menoleh pada sumber suara, seketika aku tersenyum dalam hati. Seperti yang aku duga, suara itu adalah milik Yasmine.

"Ada apa?" aku bertanya datar.

"Sudah tahu kabar?" Yasmine bertanya sembari melipat tangan di dada.

"Tentang kandidat kelas 2-1 untuk pemilihan putri sekolah?" tanyaku balik

"Ya."

"Ya, aku sudah tahu, kenapa? Ada masalah?"

"Kamu tidak mau mengalah?"

Aku terkejut mendengar kalimat yang diluncurkan Yasmine barusan. Sel-sel kelabu di kepalaku berusaha mencerna definisi kata demi kata yang di mataku berarti negatif tsb.

"Mengalah dalam hal ini, maksudnya?"

Yasmine menarik napas pendek. Dia hening sebentar, tampak memutar otaknya. Aku dapat menangkap kabar tidak sedap dari gerak-geriknya.

"Apa kamu bersedia kalau aku yang mewakili kelas kita untuk pemilihan putri sekolah?"

Kali ini aku yang diam.

"Aku dengar kamu pernah menang putri pelajar dan pernah menjadi juara pemilihan kontes model. Apa kamu tidak berpikir bahwa kamu sudah berdedikasi untuk ikut kontes-kontes seperti itu? rasanya tidak akan mengurangi nilai eksistensimu di depan teman-teman kalau untuk lomba ini kamu mengalah. Lagipula, ini kan hanya tingkat sekolah," lanjutnya terperinci.

"Tidak! Aku sudah menunggu ikut lomba ini. Ini adalah satu-satunya kesempatanku, Aku tidak mau mundur. Kita maju bersama-sama, bersaing dengan sehat," jawabku tegas.

Aku memasang raut geram dan sinis sekaligus. Kurasakan Yasmine menyadari ambisiku yang menyala-nyala. Saat itu juga tercipta kesenjangan di antara kami.

"Maaf, Rose. Aku tidak bermaksud memaksa, dan ini juga bukan berarti aku takut bersaing denganmu. Tapi, menurut pendapatku, tanpa ikut lomba macam ini pun, seluruh warga sekolah sudah tahu siapa kamu," ujarnya.

Yasmine mulai memasang wajah batu. Pernyataannya barusan terdengar begitu berani di telingaku.

"Aku tidak akan berubah pikiran. Kenapa aku harus mundur? Biarlah kita semua bersaing. Kita tunjukkan siapa yang memang paling pantas untuk menjadi putri sekolah."

Dari mataku yang terus-terusan menatap jengkel padanya, kutunjukkan betapa aku tidak menyukai gadis itu. Yasmine pun tak gentar menantang kedua bola mataku yang berpijar-pijar penuh kebencian. Tak sedikit pun rasa takut yang dapat kuraba dari wajahnya.

"Ya, biarlah. Aku hanya ingin menyampaikan gerutuan dan komentar teman-teman menentang keikutsertaanmu dalam lomba ini," sahutnya.

Tak kutanggapi kalimatnya itu. sambil terus memasang wajah yang tak kalah sinis, Yasmine membalikkan tubuhnya, segera beranjak dari suaasana panas tsb.

***

Lima hari kemudian.

Lomba pemilihan putri sekolah tidak terasa telah tiba. Jam pun telah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Sekujur tubuhku panas dingin memandangi jarum detik yang terus bergerak tanpa ampun mengejar menit demi menit berikutnya.

Akhirnya, semua siswa duduk dengan tenang di kursi penonton. Pembawa acara, Ina dan Kevin, telah mulai mengiring acara ke detik-detik menegangkan. Pertama-tama acara dimulai sambutan dan perkenalan juri-juri. Tidak lama kemudian, babak pertama pun dimulai.

Pada babak pertama ini, satu demi satu kontestan menampakkan diri berkeliling panggung. Kemudian diminta untuk memperkenalkan diri dengan singkat, serta menyampaikan visi dan misi bila terpilih menjadi putri sekolah. Baru setelah itu, diambil lima kontestan terbaik untuk kembali bertanding di semi final. Konon katanya, penilaian utama dalam babak ini adalah kepandaian berjalan di atas panggung dan tingkat percaya diri.

Nomor urut pertama dipanggil oleh Ina. Jessie, si ratu modis yang cantik menawan maju dan melenggak-lenggok di atas panggung. Tepuk tangan dan siulan begitu semarak mengiringi langkahnya.

Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup. Sesekali aku melirik Yasmine yang duduk tiga kursi setelahku. Dia pun terlihat jelas tak kalah tegang. Sepertinya gadis itu juga sangat khawatir kalau-kalau aku jatuh sebagai pemenangnya.

Tidak terasa waktu begitu cepat berganti. Putaran demi putaran, akhirnya giliranku pun tiba.

***

Lomba pemilihan putri sekolah telah mendekati puncaknya. Kini hanya tersisa tiga kontestan yang akan bersaing untuk meraih gelar putri: aku, Jessie dan Yasmine.

Rasa gugup dan takut telah berhenti kulempar jauh. Denyut nadiku sudah mulai stabil, keringat dingin pun sudah berhenti menghujani tubuhku. Rasa percaya diriku sudah timbul sejak dinyatakan masuk final. Terlebih-lebih ketika aku dinyatakan masuk babak terakhir, yaitu babak penentuan.

Babak ini adalah yang tersulit, setiap kontestan akan diminta memamerkan salah satu kelebihan mereka. Karena aku adalah gemar dan pandai menari, aku memilih untuk memperlihatkan kelihaianku membawakan tarian ballet.

Sepuluh menit lagi lomba akan kembali dilanjutkan. Mumpung waktu istirahat belum habis, aku buru-buru beranjak dari kursi untuk mengambil jatah makan siang. Ketika tengah berlari kecil menuju ruang konsumsi, aku melihat pemandangan yang benar-benar tak ingin kulihat. Yasmine berduaan dengan Jay. Kucoba untuk tidak ambil pusing, aku memalingkan wajah untuk menghalau rasa cemburu. Segera kulanjutkan langkahku menuju ruang konsumsi.

Begitu sampai, kuteguk segelas air putih dengan beringasnya. Aku mencoba menikmati aliran air dingin yang memijat lembut tenggorokanku. Desahan napasku masih menderu cepat. Aku melihat nasi kotak jatahku di atas meja. Kucoba untuk melahapnya guna memulihkan tenaga yang telah hilang. Namun,baru lima sendok aku sudah kenyang.

Ya Tuhan. aku takut kalau Jay menyukai Yasmine. sudah lama aku menyukai lelaki itu, jeritku dalam hati.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah. Aku menengok, ada Yasmine di ambang pintu.

Sejenak mata kami bertemu. Dan segera kami sama-sama memalingkan muka. Memang, sejak kejadian di lab kimia kemarin, kami tidak pernah bertegur sapa. Aku malas menegurnya lebih dulu. Yasmine pun terlihat enggan melakukannya.

Acuh tak acuh Yasmine masuk dan mengambil segelas air putih. Kemudian, gadis itu mengambil cermin dari tasnya dan membetulkan makeupnya yang mulai memudar. Setelah puas merapikan penampilannya, dia bersiap-siap beranjak.

"Yasmine!"

Aku menahannya. Yasmine membalikkan tubuhnya dan kemudian melipat tangannya di dada dengan angkuh.

"Ada apa?" sahutnya dengan nada fals

"Kau menyukai Jay, ya?" tembakku langsung.

Berani sekali memang. Tetapi kalimat itu meluncur Cuma-Cuma, aku tidak tahan membendungnya.

Gadis itu tidak langsung menjawab.

"Kalau iya, kenapa?"

"Hanya bertanya."

"Ya, aku menyukainya, kamu juga, kan?" katanya dengan sinis.

Rasanya tidak perlu kujawab, Yasmine pasti sudah tahu jawabannya.

"Wah, kebetulan sekali."

Aku menangkap sinyal tidak nyaman dari kalimat sumbangnya tadi. bahkan, Yasmine terus-terusan melempar seringaian janggal dari bibir tipisnya. Aku tidak akan mau kalah. Kedua bola mataku senantiasa menjamahnya seperti kompetitif.

"Bagaimana kalau terus terang saja kita tentukan pemenangnya?"

Akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulutnya. aku sudah menunggu dia mengatakannya lebih dahulu.

"Baiklah," jawabku pasti.

Nuansa persaingan semakin kental terasa.

"Siapa yang kalah, mau tidak mau harus mundur untuk mendekati Jay. Bagaimana?"

"Boleh juga, siapa takut?" sahutku penuh ambisi.

Seringaian licik. Yasmine terus menghiasi wajahnya. Ketika di ambang pintu, gadis itu berkata.

"Lihat saja, Rose. Aku pasti akan menang."

Aku tidak mengacaukan kalimat itu. yang kupikirkan adalah bagaimana cara agar aku dapat menang. Kepalaku berpikir keras, aku resah dan gelisah. Aku sangat takut kalau Yasmine berhasil. Gadis itu adalah rivalku yang paling tangguh dan berbahaya.

Kalau aku kalah, bukan hanya Jay yang hilang, tetapi juga reputasiku. Aku sudah beberapa kali menjadi juara dalam kontes macam ini. apa kata teman-teman bila kali ini aku dikalahkan Yasmine? namaku akan meredup seketika. Aku bukan lagi bintang utama. Mereka akan menganggap Yasmine yang terhebat.

Di tengah kekalutan itu tiba-tiba kurasakan ada perubahan pada diriku. Mendadak aku merasa pusing. Kepalaku berputar-putar hebat.

***

Akhirnya lomba pemilihan putri sekolah telah menemui puncaknya. Setelah istirahat lima menit, pengumuman pemenang dikumandangkan oleh pembawa acara.

"Berdasarkan hasil penilaian juri. Gelar putri sekolah tahun 2014 jatuh kepada…" Kevin memulai.

Semua orang tegang.

"Kandidat dari kelas 2-1, Lady Rose Arlette!!" Ina menyebut namaku.

Sorak-sorai berhamburan. Tepuk tangan membahana hebat. Terlebih-lebih ketika kepala sekolah meletakkan mahkota berwarna keperakan di atas kepalaku.

Tidak lama kemudian, semua teman-teman berlari ke panggung menghampiriku. Mereka memeluk dan memberiku selamat. Kulihat wajah Yasmine sekilas di kerumunan. Kecewa dan sedih.

Mrs. Jessica, sang juri naik ke panggung untuk memberiku selamat.

"Selamat nak, kau memang hebat," ujar beliau seraya menjabat tanganku ramah.

"Terima kasih, Miss," balasku tersenyum hangat.

***

Seketika aku merasa begitu lemas. Seluruh organ tubuhku sudah selemas ubur-ubur. Tidak ada kata yang paling tepat untuk menggambarkan diriku selain seorang pembohong. Yasmine, gelar putri sekolah itu bukan milikku. Andai saja kau tahu, aku menyuap sang juri Mr. Paul adalah sepupu ayahku. Beliau juga guru menariku. Setelah tampil, beliau memberi sinyal padaku untuk bertemu di kamar mandi terdekat. Mr. Paul mengatakan bahwa penampilanku cukup buruk dibandikan dengan Yasmine. kemungkinan aku kalah dan kau adalah pemenangnya. Dan, secara diplomatis beliau menyatakan tidak keberatan disuap. Aku berjanji membayarnya mahal jika aku menang dalam kontes ini. Yasmine! aku adalah pembohong!

Bahkan aku menipu orang yang kusayangi, Jay. Maafkan aku, Jay. Aku bukan Rose yang kau kira. Aku tidak lebih dari seorang koruptor. Padahal semua orang menyanjungku, mereka percaya padaku. Maafkan aku teman-teman.

Sekarang aku sadar, sebenarnya aku sangat iri pada Yasmine. akan tetapi, aku tidak pernah mau mengakuinya. Aku seorang pembohong, bahkan aku membohongi diriku sendiri. Aku selalu merasa hebat, aku merasa jauh lebih unggul daripada Yasmine. seketika ini juga, aku mendapati diriku sebagai seorang pengecut.

***

Yasmine

Sejak pertama kali masuk sekolah ini. Rose yang paling menarik perhatianku. Dia adalah seorang gadis cantik dengan mata yang berbicara. Alisnya tebal, membentuk kurva tipis yang saling bertaut pada pangkal hidung bertulang tinggi. Bibirnya merah menawan bak delima merekah. Bentuk tubuhnya melekuk dengan begitu pas dan sempurna. intinya dia sangatlah cantik.

Ternyata tidak hanya cantik. Sosok berparas teduh itu menyandang predikat kapten basket, wakil ketua ekskul karya ilmiah, selalu rangking satu, si suara emas, berlidah perah, kamus berjalan, ratu rumus dll. Sungguh pemandangan yang jarang, bukan? Itulah kenapa dia selalu di istimewakan. Di sekolah ini memang banyak sekali yang cantik, begitu juga yang pintar.

Namun, hanya Rose yang menyandang keduanya. Hanya Rose yang multitalenta. Semua orang mengatakan Rose sempurna. dia pintar dalam segala hal.

Dan tanpa dapat kucegah, rasa kagum itu berlanjur menjadi iri.

***

Rose

Padahal sudah jelas Yasmine adalah gadis yang manis. Tidah heran banyak yang menyanjungnya. Dia adalah makhluk Tuhan yang sangat elok. Tetapi aku tidak pernah mau mengakuinya. Itu karena aku egois, aku tidak mau kalah. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada yang lebih hebat dariku.

Sekarang aku menyerah. Aku kalah telak oleh Yasmine. aku bukan saingannya, dia terlalu hebat dan suci untukku. Aku hanya orang picik dengan akhlak yang kerdil.

Rose yang gila hormat kini mengakui, kaulah putri yang sesungguhnya di sekolah ini, Yasmine. aku berkata dalam hati.

***

Yasmine

Maafkan aku, Rose. Semenjak aku menyadari bahwa aku tidak menyukaimu Aku membuat tekad yang hina. Aku bermaksud melumpuhkan jalanmu dengan perlahan, pertama-tama, menghancurkan hatimu. Itulah kenapa aku mendekati Jay. Aku selalu berusaha membuatku sakit hati. Jadi, sebelum tes kimia dimulai aku sengaja membuatmu cemburu. Dengan harapan, akan berakibat buruk pada hasil tesmu. Begitu juga dalam lomba ini, Rose! Aku mencampurkan sedikit obat penimbul rasa pusing pada makan siangmu, aku bertujuan mengalahkanmu dengan cara licik!

Tapi ternyata aku salah besar, kamu begitu kuat, Rose. Kamu memang seorang pemenang. Kamu tetap dapat tampil sempurna, bahkan menang, dalam kondisi pusing akibat obat itu. dan sekarang terbukti, kamu jauh lebih unggul atasku.

Begitu konyol niatku berharap untuk mengalahkan posisimu di sekolah ini. jelas-jelas kamu adalah seorang bintang. Rose, kamulah putri yang sesungguhnya.

To Be Continued

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

JaneJenacreators' thoughts