webnovel

13. Rose dan Jay

Bandung, 2027

Rose

Hari selasa sore aku dan Lisa, saudara sepupuku sedang menunggu waktu boarding penerbangan yang akan membawa aku ke Bali. Aku sibuk memastikan bahwa semua perlengkapanku sudah siap. Sedangkan Lisa sibuk menelpon orangtuanya. Setelah puas dengan segala urusanku, aku kembali duduk tegak dan mulai memperhatikan ruang tunggu bandara yang terbentang luas di hadapanku. Tanpa disangka-sangka aku melihat seseorang yang sudah sejak lama ingin kutemui.

"Jay," gumamku.

Saat itu Jay pun melihatku dan aku bisa melihat dia sama terkejutnya sepertiku.

Aku berdiri dari kursi karena kulihat Jay berjalan perlahan-lahan ke arahku.

"Rose," ucap Jay setelah dia berada beberapa Langkah di hadapanku. Dari nada suaranya, Jay seakan-akan menanyakannya padaku, tapi aku rasa dia hanya menggumamkan namaku pada dirinya sendiri.

Jay tidak banyak berubah, wajahnya yang dulu sangat mulus tanpa jerawat masih sama meskipun tubuhnya yang dulu tinggi besar kini terlihat lebih kekar. Satu-satunya perbedaan yang dapat kulihat adalah rambut yang dulu dibiarkan berantakan sekarang di sisir dengan rapi. Jay yang sedang berdiri kurang dari satu meter di hadapanku adalah Jay yang aku ingat dari delapan tahun yang lalu.

Tanpa bisa mengontrol diriku, tiba-tiba aku bergerak untuk memeluknya. Dan untuk pertama kali aku dapat merasakan sengatan listrik yang kurasakan ketika June yang menyentuhku, tapi dengan dosis yang lebih tinggi sehingga membuat lututku lemas. Aku dapat meraskaan bahwa seluruh tubuh Jay pun menegang. Tapi aku yakin bahwa itu bukan disebabkan oleh sengatan listrik yang kurasakan, tapi lebih karena kaget. Aku masih dapat mencium aroma Jay yang dulu, aromanya yang khas, yang merupakan paduan pewangi pakaian yang sedikit wangi parfum yang kini tidak bisa kutebak brand-nya. Setelah beberapa saat, aku dapat merasakan tubuh Jay mulai relaks dan membalas pelukanku, kemudian kami pun bergerak untuk memisahkan diri dari pelukan itu.

"Apa kabar?" Tanyaku dengan nada tenang yang dipaksakan. Jika Lisa ada bersamaku, dia pasti tahu bahwa meskipun nada suaraku itu terdengar ceria, tapi sebenarnya menyiratkan ketegangan di dalam hatiku.

Jay mencium pipiku dan aku membalasnya.

"Baik," jawabnya.

Aku hanya bisa tersenyum atas jawabannya. "Mau ke mana?" tanyaku setelah aku sadar kembali dari shock-ku.

"Oh, pulang ke Jakarta, baru ada urusan di sini untuk beberapa hari."

"Kerjaan?"

"Untuk saat ini bukan itu, tapi biasanya aku memang aku sering bolak-balik ke luar negeri, aku sekarang jadi salah satu duta Unicef."

"Oh pasti seru sekali yaa" setelah mengucapkan pernyataan itu aku rasanya mau menendang diriku sendiri.

Jay mengangguk dan menggerakkan tangan yang menandakan bahwa pekerjaan itu biasa saja. Ketika dia melakukannya aku melihat bahwa di jari manis tangan kanannya ada sebentuk cincin emas putih yang jelas-jelas terlihat seperti cincin nikah. Aku berusaha keras tidak memfokuskan tatapanku pada cincin itu, tapi ternyata tidak berhasil.

"Omong-omong, Theo cerita ketemu di bandara waktu itu," lanjut Jay.

"Iya. Selamat untuk tunangannya, aku juga bertemu Yasmine."

"Thanks. Dia juga cerita ketemu kamu."

"So, kapan D-day nya?" aku berusaha keras untuk tidak terdengar jealous, tapi tidak berhasil.

"Masih belum diputuskan, masih mikir-mikir." Ketika mendengar kata-kata itu, entah kenapa tapi hatiku terasa agak lega, karena sekarang aku bisa yakin bahwa mereka belum menikah.

Tiba-tiba ground crew mengumumkan bahwa pesawatku sudah siap boarding.

"Rose, boarding," panggil Lisa.

Aku mengangguk ke arah Lisa dan menghadap Kembali ke Jay. "I think that's my call."

Rupanya ketika aku sedang memandang Lisa, Jay mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. Ketika aku menghadap kembali kepadanya, dia menyodorkan kartu itu padaku. "Rose, ini kartu nama aku. Kita harus bicara lebih lama lagi next time. Telepon aku kapan-kapan, mungkin kita bisa pergi makan siang bersama."

Aku mengambil kartu namanya dan merogoh tasku, mencari kartu namaku. Setelah menemukannya, buru-buru kuberikan padanya.

"I'll call you," ucapku, kemudian melangkah untuk Jay. Bukan untuk menggodanya, tapi aku berushaa keras untuk mengenang detik-detik ini, karena aku tahu bahwa bisa jadi ini yang terakhir.

Jay bergerak untuk memelukku. Kekakuan yang terasa beberapa menit yang lalu kini sudah hilang dan aliran listrik yang kurasakan sebelumnya sudah agak berkurang. Setelah memberikan ciuman di pipi masing-masing untuk terakhir kalinya, aku pun beranjak masuk ke dalam menuju pesawatku. Lisa yang menungguku di samping pintu masuk hanya menatap bingung melihat wajahku yang pucat. Aku merasa limbung. Tapi aku memberikan tanda padanya untuk masuk ke pesawat secepat mungkin.

Aku berusaha keras untuk tidak berbalik melihat apakah Jay masih menungguku di luar. Alasan pertama adalah karena aku tidak mau melihatnya di sana, berdiri menunggu hingga aku hilang dari pandangannya dan yang kedua, aku takut bahwa aku tidak akan menemukannya di sana padahal dalam hati aku benar-benar berharap dia menungguku. I am so confused.

Beberapa menit setelah pesawat kami lepas landas, Lisa mencoba mencari tahu siapakah laki-laki yang tadi mengobrol denganku. Pertama-tama aku memutuskan untuk berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa, tapi akhirnya aku menyerah. Aku memang pernah bercerita kepada Lisa tentang Jay, tapi itu hanya sekilas. Ketika aku menyebut nama Jay kepadanya, mata Lisa langsung melebar. Untuk pertama kalinya aku bertanya-tanya apa Lisa tahu lebih banyak mengenai perasaanku terhadap Jay daripada yang kubiarkan dilihat semua orang di dunia ini.

Aku harus lebih berhati-hati lagi dengan Lisa, ucapku dalam hati. Kalau Lisa sampai tahu tentang perasaanku terhadap Jay, maka sudah pasti adikku pun tahu dan itu berarti aku akan diceramahi olehnya. Adikku--Addi adalah orang paling praktik yang kukenal, sehingga kalau menurutnya suatu hubungan tidak akan berakhir dengan baik, maka dia tidak akan melanjutkan hubungan itu. Kalau Addi tahu tentang Jay dan statusnya yang akan segera menikah, maka dia akan memintaku untuk melupakan Jay secepat mungkin. Sedangkan aku masih belum bisa melepaskan lelaki itu. Aku masih perlu waktu.

To Be Continued